Opini: 1001 Macam Masalah Pilkada Serentak
Masykurudin Hafidz*
Hormati Pemilih, Dukungan Parpol Menjadi Baris Kedua
Tidak mudah bagi siapapun untuk maju melalui jalur perseorangan. Dukungan partisipatif masyarakat lebih sering jatuh kepada praktik mobilisasi pemilih. Hasilnya, begitu pemungutan suara selesai, tidak jarang calon perseorangan memperoleh suara justru dibawah angka jumlah KTP yang dikumpulkannya.
Alternatif masyarakat pemilih memang tidak banyak. Harapan akan adanya ragam pilihan calon dari partai politik sulit terwujud. Kehendak partai politik dalam pencalonan masih elitis, jangka pendek dan pertimbangan modal kampanye yang kuat. Koalisi yang dibangun juga semata-mata mencari kemenangan, tidak menyisakan kaderisasi tunas-tunas muda untuk meraih kekuasaan apalagi merepresentasikan kepentingan masyarakat lokal.
Jalur non partai politik, yakni perseorangan kini juga kian tak mudah. Tujuan UU baru agar setiap individu nyata mendukung calon tertentu, pada akhirnya memberikan tugas kepada KPU untuk menyiapkan tenaga ekstra. Dengan waktu yang terbatas dan syarat yang ketat, siapapun yang menempuh jalur perseorangan akan menghadapi jalan terjal.
Kini, dalam situasi dimana dunia politik banyak dihindari karena sedang berkubang dengan korupsi, terdapat gerakan politik yang tujuannya sama persis memperebutkan kekuasaan. Salah satunya adalah Teman Ahok, yang telah mengumpulkan dukungan hampir 1 juta KTP.
Oleh karena itu, gerakan partisipatif (atau bahkan mobilisasi) ini patut dihormati. Dengan berbagai latar belakang dan tujuan, Ahok perlu bersedia dicalonkan melalui jalur perseorangan, tidak perlu plin plan. Apabila ada tambahan Partai Politik yang mendukung, jadikan baris kedua untuk menambah kekuatan masyarakat yang mencalonkannya.
Soal kalah menang itu nomor dua. Dan Ahok harus siap dengan segala kemungkinannya. Bagaimana mengakomodasi aspirasi masyarakat Jakarta itu yang utama.
Kalaulah Ahok pada akhirnya kalah, setidaknya dia akan tercatat dengan tinta emas dalam rekor yang diraihnya; calon perseorangan dengan dukungan sejuta pemilih.
Jangan Sampai Pilkada Jakarta Bercalon Tunggal
Selain memilih kepala dan wakil kepala daerah, penyelenggaraan Pilkada adalah momentum memupuk toleransi, menghargai perbedaan pendapat, negosiasi kepentingan rakyat dan membangun kontrak politik antara pemilih dengan pasangan calon.
Itulah kenapa partisipasi dan keterlibatan pemilih menjadi sangat penting. Bagaimana masyarakat pemilih menjadi aktor utama dalam menentukan calon pemimpin daerahnya dengan cara sesubtansial mungkin.
Fakta Pilkada serentak pertama menunjukkan, semakin banyak jumlah pasangan calon, semakin meningkatkan partisipasi pemilih. Interaksi antara pasangan calon dalam memperebutkan suara pemilih menjadikan kualitas Pilkada semakin baik.
Makanya, jangan sampai pelaksanaan Pilkada hanya diikuti satu pasangan calon. Berbagai kepentingan masyarakat pemilih harus diakomodasi dalam jumlah pasangan calon yang representatif.
Pilkada Jakarta berbeda dengan daerah lainnya. Pelaksanaan Pilkada Ibukota ini harus dilakukan dua putaran, semata-mata untuk menunjukkan legitimasi dan kemenangan berdasarkan suara mayoritas mutlak. Akuntabilitas calon pemimpin benar-benar diawali dengan syarat kemenangannya lebih dari setengah suara pemilih.
Oleh karena itu, peluang melalui jalur perseorangan lebih-lebih jalur partai politik harus dimanfaatkan betul agar Jakarta menjadi miniatur Pilkada yang tidak hanya memilih gubernur dan wakil gubernur tetapi juga sebagai sarana mengembangkan keragaman pendapat serta proses negosiasi kepentingan masyarakat Pemilih.
*Koordinator Nasional Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR)