Ahok Lecehkan KH Ma’ruf Amin, Ketua LDNU: Mereka Memelintir Situasi Seolah KH Ma’ruf sebagai Terdakwa
JAKARTA, Lintasparlemen.com – Ketua Lembaga Dakwah PBNU KH Maman Imanulhaq ikut angkat suara terkait kesaksian KH Ma’ruf Amin sebagai saksi dalam Persidangan Kasus Penistaan Agama oleh Basuki Tjahaya Purnama (Ahok) pada Selasa (31/1) di Gedung Kementerian Pertanian (Kementan), Jakarta Selatan.
Maman menghormati kehadiran KH Ma’ruf Amin di pengadilan dalam kapasitasnya sebagai Ahli Hukum Agama, bukan sebagai terdakwa. Namun, kehadirannya terkesan dan seolah Kiai Ma’ruf sebagai terdakwa. Kehadiran KH Ma’ruf sebagai sikap warga negara yang taat, menghargai dan menghormati proses hukum.
“Beliau dihadirkan ke persidangan untuk memberikan keterangan sebagai seorang Ahli (vide: Pasal 184 ayat (1) jo. Pasal 186 KUHAP),” kata Maman seperti keterangan tertulisnya yang disampaikan pada lintasparlemen.com, Jakarta, Rabu (1/2/2017)
Anggota Komisi VIII DPR RI ini menjelaskan, penyampaikan keterangan yang diberikan oleh KH Ma’ruf, berdasarkan pengamatannya, sudah sesuai dengan kompetensi maupun kapasitasnya sebagai Ahli Agama Islam dan sebagai Fuqaha (Ahli Fiqh).
“Kami menyayangkan sikap (Ahok), perilaku maupun kata-kata dari Terdakwa dan Tim Pengacaranya, dengan alih-alih menolak Keterangan Kiai Ma’ruf Amin sebagai Ahli justru memelintir situasi dan seolah-olah menempatkan Kyai Ma’ruf sebagai Terdakwa,” ujar Maman.
“Bahkan cecaran-cecaran pertanyaan maupun tuduhan serta kata-kata kasar yang ditujukan kepada Kiai Ma’ruf Amin lebih merupakan sikap yang mempertontonkan Argumentum Ad Hominem – atau menyerang pribadi Kyai Ma’ruf daripada mematahkan argumen yang terkait keahlian beliau. Padahal ada tata cara menyampaikan keberatan yaitu di kesimpulan atau pledoi,” sambungnya.
Politisi asal partai PKB ini menyampaikan, seharusnya seluruh pihak perlu menghormati dan belajar pada KH Ma’uf Amin. Karena, selain Ketua Umum MUI, KH Ma’ruf ini juga adalah Rais Aam PBNU yang telah banyak memberi contoh keteladanan cara menghormati hukum, bertanggung jawab dan berani datang sendiri tanpa pengawalan dan mengerahan massa.
“Saat ini, Indonesia memasuki ujian terberat dalam kehidupan bernegara. Kita kehilangan jati diri bangsa. Sikap saling menghargai dan menghormati berubah jadi saling menghakimi dan saling menghabisi. Kita paceklik nilai luhur bangsa,” tegasnya.
Karena itu, lanjut Maman, seyogyanya bangsa ini perlu saling menjaga diri. Jangan sampai terjebak oleh permainan kelompok yang menggiring opini publik untuk membenturkan sesama anak bangsa.
“Sikap kita tegas menghormati proses hukum yang adil dan beretika. Dan sebagai warga Nahdliyin, kita mempunyai kewajiban menjaga Marwah Ulama dan para tokoh bangsa yang akhir-akhir ini menjadi sasaran hinaan, dan kebencian dari pihak yang rabun sejarah,” pungkasnya. (MMI)