Satu Perspektif Hukum Pidana tentang Pemberhentian Sementara Ahok

 Satu Perspektif Hukum Pidana tentang Pemberhentian Sementara Ahok

Saat diwawancarai Metrotv

Oleh: Arsul Sani*

Diskursus ataupun silang pendapat mengenai apakah Gubernur DKI Jakarta Sdr. Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok harus diberhentikan sementara muncul di berbagai media, termasuk via media sosial.

Mayoritas pendapat, termasuk para ahli hukum seperti seperti Prof. M. Mahfud MD (mantan Ketua MK) berpendapat bahwa Ahok harus diberhentikan sementara atas dasar Pasal 83 UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (“UU Pemda”), kecuali Presiden menerbitkan Perpu yang mengeliminir Pasal 83 UU Pemda ini.

Pihak lain, diantaranya Sdr. Refly Harun (ahli hukum tata negara) berpendapat bahwa Pasal 83 UU Pemda ini tidak bisa diberlakukan dalam kasus Ahok, sehingga Ahok tidak perlu diberhentikan sementara.

Bunyi selengkapnya Pasal 83 UU Pemda itu sendiri adalah: “Kepala Daerah dan/atau Wakil Kepala Daerah diberhentikan sementara tanpa melalui usulan DPRD karena didakwa melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahunan, tindak pidana korupsi, tindak pidana terorisme, makar, tindak pidana terhadap keamanan negara dan/atau perbuatan lain yang dapat memecah belah Negara Kesatuan Republik Indonesia”

Diskursus yang dikembangkan baik oleh mereka yang berpendapat bahwa Ahok tidak perlu diberhentikan atas dasar Pasal 83 UU Pemda hanya berangkat dari pemahaman leksikal atas kata-kata “paling singkat”.

Mereka misalnya, berpendapat bahwa karena rumusannya menggunakan kata-kata “paling singkat” maka Pasal 83 tersebut sebagai dasar pemberhentian sementara kepala daerah ditujukan untuk kepala daerah yang didakwa melakukan kejahatan berat . Sedangkan yang didakwakan kepada Ahok adalah Pasal 156 dan 156a KUHP yang masing-masing ancaman hukumannya paling lama 4 tahun dan 5 tahun penjara.

Dengan ancaman hukuman yang “hanya” paling lama 5 tahun tersebut maka bagi yang berpendapat bahwa Ahok tidak perlu diberhentikan sementara karena dakwaannya menyangkut kejahatan “menengah” saja, bukan kejahatan “berat”.

Ada beberapa hal yang dilupakan oleh mereka yang berpendapat Ahok tidak perlu diberhentikan sementara. Pertama, pemahaman tentang Pasal 83 UU Pemda tersebut lebih merupakan pemahaman berbasis sudut pandang leksikal saja, yakni menginterpretasikan sendiri secara sederhana makna kata “paling singkat” dalam Pasal 83 tersebut.

Dikatakan interpretasi leksikal secara sederhana saja karena interpretasi ini tidak mempertimbangkan “suasana kebatinan” yang menjadi maksud pembentuk undang-undang (DPR dan Pemerintah) ketika merumuskan Pasal 83 UU Pemda tersebut.

“Suasana kebatinan” ini harus diperiksa melalui risalah pembahasan Pasal tersebut yang dalam khsanah ilmu hukum disebut sebagai “memorie van toechliting (MvT)”.

Penggunaan MvT menjadi relevan terutama ketika penjelasan atas suatu pasal hanya menyatakan ” cukup jelas”, sebagaimana halnya Penjelasan Pasal 83 UU Pemda tersebut. Jika kita tengok MvT atas Pasal ini, maka tidak ada pembahasan atas pasal dalam RUU-nya yang didasarkan pada pikiran ataupun kehendak untuk bisa diinterpretasikan seperti interpretasi mereka yang berpendapat bahwa Ahok tidak perlu diberhentikan sementara.

Risalah pembahasan atas Pasal tersebut mengarah pada pemikiran bahwa seorang kepala daerah yang menjadi terdakwa dengan pasal dakwaan yang ancaman pidana penjaranya 5 tahun atau lebih maka akan diberhentikan sementara. Tidak diperdebatkan apakah ancaman pidana tersebut hanya untuk kejahatan dengan rumusan hukuman “paling singkat” atau “lebih dari” lima tahun”.

Dalam pembahasan atas Pasal 83 ini fokus pembahasan utamanya pada perlunya pejabat yang bersangkutan fokus ketika menghadapi dakwaan atas perbuatan pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 tahun atau lebih. Jadi sepanjang bisa dipidana sampai 5 tahun, meskipun ini akan menjadi pidana maksimal yang dapat dijatuhkan hakim maka pembuat undang-undang sepakat agar yang beraangkutan diberhentikan sementara.

Kedua, seandainya kita mau “bermain-main” dengan penafsiran leksikal dengan melepaskan diri dari MvT atas Pasal 83 UU Pemda tersebut, maka penafsiran leksikal dimaksud juga masih bisa dipatahkan. Pasal 83 ini selain menyebut dakwaan melakukan kejahatan dengan ancaman pidana penjara paling singkat 5 tahun, juga menyebut “perbuatan lain yang dapat memecah belah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI)”.

Dikaitkan dengan dakwaan terhadap Ahok yang mengacu pada Pasal 154 dan Pasal 156a KUHP, maka adalah sah saja jika kita melakukan penafsiran ” sistematis” Pasal 83 UU Pemda dikaitkan dengan dakwaan berdasar Pasal 156 dan 156a KUHP untuk sampai pada sudut pandang bahwa Ahok harus diberhentikan sementara karena dakwaan terhadap dirinya menyangkut perbuatan yang dapat memecah NKRI.

Jadi soal pemberhentian sementara Ahok tidak semata hanya bersandar pada perbuatan pidana yang diancam hukuman penjara paling singkat 5 tahun tersebut. Tetapi karena perkataannya yang menyangkut Qur’an Surat Al-Maidah ayat 51 tersebut dapat memecah belah NKRI.

Ketiga, karena dakwaan terhadap Ahok menyangkut dua pasal KUHP yang keduanya memuat kalimat ” diancam dengan pidana penjara” maka juga sah saja jika kita melihat dari sudut pandang ancaman pidana “in abstracto” yang total ancamannya menjadi 9 tahun (dari Pasal 156 maksimal 4 tahun dan Pasal 156a maksimal 9 tahun).

Sehingga dari sudut pandang ancaman pidana “in abstraco” maka Ahok juga dapat dipandang telah didakwa untuk perbuatan yang akumulasi ancamannya adalah 9 tahun, terlepas bahwa hakim tidak dapat mengakumulasikan vonisnya dengan pidana penjara sampai 9 tahun.

Keempat, jika ancaman pidana ini dipahami sebagai ancaman pidana “in concreto” (yakni maksimal pidana yang bisa dijatuhkan hakim) dan perbuatan Ahok dilihat dari sisi doktrin “concursus realis” (karena selain perbuatan berpidato di Kepulauan Seribu juga ada perbuatan menulis buku yang sama-sama dianggap menista agama atau alim ulama).

Maka ancaman pidana terhadap Ahok bukan hanya maksimal 5 tahun penjara, melainkan 5 tahun plus 1/3 (sepertiga)-nya atau menjadi 6 tahun 7 bulan.

Terakhir, menurut hemat saya perlu diluruskan juga sikap Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) RI yang hanya akan memberhentikan sementara Ahok apabila telah ada tuntutan jaksa penuntut umum yang menuntut Ahok agar dinyatakan bersalah. Pasal 83 ayat 2 UU Pemda secara jelas menetapkan “Kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah yang menjadi terdakwa diberhentikan berdasarkan register perkara di pengadilan”.

Artinya pemberhentian sementara dilakukan setelah jaksa penuntut umum melimpahkan perkaranya (dengan surat dakwaan dan berkas perkaranya) ke pengadilan negeri dan kemudian kepaniteraan pengadilan negeri yang bersangkutan melakukan registrasi atas perkara pidana yang dilimpahkan tersebut.

Pemahaman atas ketentuan Pasal 83 ayat 2 UU Pemda seperti dalam aliena juga bisa dengan merujuk pada ketentuan yang mengatur pemberhentian sementara pejabat negara lainnya, seperti bagi anggota DPR dan DPD RI dalam UU MD3. Sudut pandang Kemendagri karenanya tidak memiliki cukup landasan hukum, bahkan bisa menimbulkan “kegaduhan politik” baru baik di DPR maupun ditengah masyarakat.

—————–

Penulis adalah anggota Komisi III (Hukum, HAM & Keamanan) dan Badan Legislasi DPR RI, sebelumnya adalah seorang praktisi hukum.

Facebook Comments Box