Apakah Megawati dan SBY berseteru? Tunggu dulu…
Oleh: Masykurudin Hafidz* (Seri Tulisan Soal Pilkada 2017)
Dalam proses Pilkada serentak kedua, kondisi politik menghangat. Salah satunya perbedaan dukungan tokoh politik nasional antara Megawati Soekarno Putri sebagai Ketua Umum PDIP dan Susilo Bambang Yudhoyono sebagai Ketua Umum Partai Demokrat di Pemilihan Gubernur Jakarta.
Perbedaan dukungan keduanya, ditambah perbedaan dukungan politik dari Prabowo Subianto sebagai Ketua Dewan Pembina Partai Gerindra menambah tensi politik Ibu Kota.
Akan tetapi, kondisi daerah mengatakan lain dimana hubungan keduanya ternyata tidak sepanas di Ibu Kota. PDIP dan Demokrat nyatanya bersatu dalam mendukung pasangan calon yang sama di seperempat daerah Pilkada.
Keduanya sama-sama mengeluarkan surat rekomendasi untuk pasangan calon yang sama. Dengan dukungan tersebut, PDIP dan Demokrat di daerah Pilkada bersatu untuk berkampanye memenangkan calon yang diusung bareng.
Data KPU menunjukkan, dari 101 daerah, PDIP dan Demokrat berkoalisi di 24 daerah. 1 Pemilihan Gubernur dimana keduanya sama-sama mendukung pasangan calon Irwandi Yusuf-Nova Iriansyah di Pilkada Propinsi Aceh.
Sementara 23 daerah lainnya tersebar di kabupaten/Kota di seluruh daerah Pilkada, diantaranya Aceh Barat, Tapanuli Tengah, Musi Banyuasin, Brebes, Kota Singkawang, Buton Selatan, Maluku Tengah, Morotai hingga Lanny Jaya.
Tingkat konsentrasi yang cukup kuat terhadap politik Ibukota, memang membuat kondisi daerah pilkada lainnya terlupa. Bahkan masyarakat pemilih di daerah terdorong untuk membicarakan dan fokus di Jakarta katimbang daerahnya sendiri.
Hal ini sebagian besar disebabkan oleh aktor politik nasional yang cukup kuat mengarahkan konsentrasinya di Pilkada Jakarta.
Oleh karena itu, mengembalikan nuansa Pilkada menjadi momentum daerahnya masing-masing menjadi sangat penting. Jangan sampai perilaku politik nasional menghilangkan karakter Pilkada yang beragam dan variatif.
Dijamin Undang-Undang, Pemilih dapat Mengawasi TPS
Partisipasi masyarakat dalam mewujudkan PIlkada yang demokratis tidak hanya datang ke TPS dan menentukan pilihan, tetapi juga melakukan pengawasan di TPS selama proses pemungutan dan penghitungan suara berlangsung.
Pasal 131 UU No. 10 tahun 2016 tentang Pilkada menyebutkan bahwa untuk mendukung kelancaran penyelenggaraan Pemilihan dapat melibatkan partisipasi masyarakat, diantaranya pengawasan pada setiap tahapan Pemilihan.
Dalam melakukan kegiatan tersebut, pengawasan dilaksananan dengan tidak melakukan keberpihakan yang menguntungkan atau merugikan salah satu pasangan calon, tidak mengganggu proses penyelenggaraan, serta ditujukan untuk mendorong terwujudnya suasana yang kondusif.
Dengan maksud untuk menciptakan proses pemungutan suara yang aman, damai, tertib dan lancar pengawasan dari masyarakat pemilih sangat dibutuhkan.
Saksi pasangan calon di TPS tentu hanya fokus kepada suara pasangan calonnya saja dan tingkat pengetahuan dan pengalaman pengawas TPS juga tidak semuanya sama.
Dalam mengisi kekosongan tersebut, jelas dibutuhkan masyarakat pemilih yang semakin menciptakan pelaksanaan pemungutan dan penghitungan secara lebih sempurna. Integritas proses pemungutan suara semakin bisa dijaga. Semakin banyak mata yang menyaksikan proses pemungutan dan penghitungan di TPS semakin baik.
Oleh karena itu, setelah mencoblos, jangan buru-buru meninggalkan TPS. Sediakan waktu untuk mengawal kemurnian suara kita bersama.
Libur untuk Memilih, Bukan Libur untuk Liburan
Presiden Jokowi menerbitkan Keppres Nomor 3 tahun 2017 tentang penetapan hasi libur nasional pada Rabu, 15 Pebruari 2017. Keputusan ini memberikan kesempatan yang seluas-luasnya bagi masyarakat untuk menggunakan hak pilihnya.
Penetapan hari pemungutan suara sebagai hari libur nasional, merupakan jaminan memudahkan pemilih untuk menggunakan hak pilihnya. Bagi yang sedang berada atau bekerja di daerah lain setidaknya mempunyai waktu yang cukup untuk melakukan perjalanan pergi pulang.
Oleh karena itu, libur nasional ini seyogyanya juga dipatuhi bagi perusahaan swasta, lembaga pendidikan swasta, rumah tangga, pengusaha toko dan sejenisnya yang perlu meliburkan karyawan dan para pekerjanya yang mempunyai hak pilih. Atau setidaknya memberikan kesempatan untuk menggunakan hak pilihnya terlebih dahulu.
Libur juga dapat digunakan oleh pihak yang mempunyai usaha wisata, tempat hiburan atau permainan, serta pusat perbelanjaan untuk semakin mendukung keputusan presiden ini. Misalnya dengan menutup tempat wisata dan perbelanjaannya dari jam 07.00 sampai jam 13.00 dan memberikan promo tertentu bagi yang menggunakan hak pilihnya dengan menunjukkan tinta di jari sebagai buktinya.
Hari libur nasional untuk menentukan masa depan daerah lima tahun mendatang, bukan untuk liburan apalagi hura-hura.
Berjalan Keras, Saling Serang, Tetap Subtansial
Debat ketiga Pilkada Jakarta benar-benar seperti final. Masing-masing pasangan calon memanfaatkan momentum debat terakhir sekuat-kuatnya. Tujuan untuk menyampaikan program kerja sehingga bisa dianggap unggul oleh masyarakat pemilih disampaikan dengan cara yang relatif keras dan saling menyerang antar pasangan calon.
Materi pertanyaan yang disampaikan ke pasangan calon lain adalah materi yang kira-kira jawabannya bisa diserang balik. Cara menyampaikan jawaban dan merespon juga didasarkan kepada isu yang selama ini menjadi perdebatan publik yaitu terkait karakter dan pengalaman yang dinilai secara kritis.
Bahkan hingga segmen terakhirpun, pasangan calon masih menggunakan kesempatan tersebut untuk mengunggulkan dirinya sekaligus menilai pasangan calon lain. Ketiganya memberikan pesan kepada masyarakat pemilih di akhir sessi secara komparatif.
Proses debat yang seperti ini masih dalam taraf yang wajar. Justru dengan debat yang keras, masyarakat pemilih tidak hanya dapat menilai materi jawaban dan cara menyelesaikan persoalan Jakarta, tetapi juga dapat membandingkan bagaimana jawaban itu disampaikan. Cara dialektis antar pasangan calon semakin memudahkan masyarakat pemilih Jakarta dalam membedakan ketiganya.
Kerasnya perdebatan juga menyumbang emosi positif masyarakat pemilih. Setelah debat ketiga ini berlangsung, masyarakat Jakarta tidak hanya sudah menentukan pilihan tetapi juga akan membuktikan pilihannya tersebut di hari pemungutan suara. Proses debat semakin meyakinkan pemilih untuk berpartisipasi di 15 Pebruari nanti.
Oleh karena itu, karena masyarakat pemilih Jakarta sudah menentukan pilihan, maka pasangan calon beserta tim kampanyenya tidak perlu lagi melakukan kampanye terselubung dimasa tenang. Ciptakan masa tenang benar-benar tenang, karena kalau berkampanye justru akan menghasilkan efek negatif.
Yang lebih penting dilakukan oleh pasangan calon di hari tenang adalah memastikan pengetahuan dan ketrampilan para saksi untuk mengawal suara dan menciptakan proses pemungutan suara secara jujur dan adil. Jangan sampai ada saksi dari pasangan calon yang justru tidak mengetahui bagaimana keadilan pemungutan suara diwujudkan.
Penulis: Koordinator Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR)