Rindu AHY : Hilangnya Rasa Pilpres di Pilkada DKI

 Rindu AHY : Hilangnya Rasa Pilpres di Pilkada DKI

Oleh: JANSEN SITINDAON, Dewan Pakar Jaringan Nusantara

Menarik mengamati Pilkada DKI ini khususnya putaran 2 yang sekarang sedang berlangsung dengan segala dinamikanya.

Hal penting yang mengemuka hari-hari ini adalah pertanyaan terkait: “kemana sikap politik AHY dan/atau Demokrat di putaran 2 ini?? Apakah akan mendukung pasangan nomor 2 atau 3??

Sempat saya bertanya. Mengapa sikap politik seorang AHY ini menjadi sangat penting sehingga media terus memburu kesana kemari, ke berbagai pihak, untuk mendapatkan jawaban terkait hal ini. Bahkan sikap politik AHY ini menjadi “trending topic” dan menjadi isu nasional.

Hal ini pun tak urung membuat banyak pengamat politik ikut turun gunung. Dari sekedar memberikan komentar, pandangan, sampai analisa yang mendetail.

Apa sebab?? Bukankah AHY kata seorang pengamat politik (bernama Ikrar Nusa Bhakti) hanyalah seorang anak “ingusan”. Mengapa kemudian “si anak ingusan” ini sekarang, malah sikap politiknya menjadi sangat ditunggu-tunggu?? Bahkan lebih ditunggu dari sekedar komentar “partisan” yang biasa keluar dari mulut seorang Ikrar.

Sudahkah situasinya berbalik? Sekarang malah terkesan Ikrar yang berubah menjadi pengamat “ingusan” sehingga pendapatnya tidak lagi dibutuhkan media! Sebaliknya AHY menjadi anak “ajaib”. Dimana setiap langkahnya terus diamati dan keputusan politiknya ditunggu.

Perasaan saya (mungkin juga dirasakan teman lain), tanpa AHY pilkada DKI ini memang kehilangan “roh” nya. Kehilangan “gregetnya”. Kehilangan gegap gempitanya. “Penonton” tiba-tiba kehilangan tontonan yang menarik. Pemburu berita kehilangan sesuatu untuk ditulis. Tidak seperti ketika AHY masih ikut. Dan ada di gelanggang.

Ibarat film. Situasi ini seperti “jagoan” mati sebelum film berakhir. Penonton kecewa. Bioskop ditinggalkan.

Apakah karena hal ini sehingga AHY kemudian ditarik-tarik (kembali) agar “film” pilkada DKI ini tetap relevan dan menarik untuk ditonton sampai habis??

Ya. Nalar sehat saya mengatakan demikian. Pesta politik DKI ini memang menjadi “hambar” tanpa AHY. Kelasnya langsung “droop” tanpanya. Pilkada yang kemarin katanya “rasa pilpres” itu tidak terasa lagi. Silahkan kita rasakan dan amati sendiri.

Tiba-tiba saja pilkada DKI kembali ke “khittohnya” menjadi pilkada yang biasa saja. Seperti halnya pilkada didaerah lain, yang juga sedang berlangsung di berbagai tempat di Indonesia ini. Pesta politik sekelas Pilpres tiba-tiba hilang dari hadapan publik. Senyap.

Ibarat film. AHY telah berhasil mencuri perhatian penonton. Dengan dia tidak lagi muncul di “frame” dan jalan cerita, film pilkada DKI seharga “478 milyar” ini berpotensi hambar. Gairah menontonnya sampai akhir sudah turun. Partisipasi pemilihnya juga beresiko ikut “terkeret”. Berbeda ketika dia masih ada. Partisipasi pemilihnya mencapai rekor tertinggi.

Dengan adanya sosok AHY. Pilkada DKI kemarin memang “box office” dalam segala hal. Baik partisipasi pemilihnya, liputan medianya, tensi politiknya, gaya kampanyenya, sampai baju “tacticool-nya” pun ikut “box office” mewarnai pilkada. Bukan hanya Jakarta saja. Namun seluruh Indonesia.

Sehingga di putaran 2 ini, mau tidak mau, bahkan mungkin dengan segala cara “Produser” merasa wajib harus segera menghidupkan kembali sosok AHY dengan menariknya kembali ke alur cerita.

Caranya dengan membangun narasi. Memintanya. Bahkan “menodong” partai pendukungnya untuk menentukan sikap mendukung kandidat nomor berapa. Sehingga sosoknya dapat dimunculkan kembali ke frame. Dengan itu gairah pilkada putaran 2 ini diharapkan dapat diselamatkan. Kembali hidup seperti putaran pertama.

Karena dalam politik elektoral sejenis ini. Semakin tinggi partisipasi publik maka legitimasi juga akan semakin tinggi.

Teringat sebuah lagu daerah (cq. Jawa) yang sempat meledak dipasar berjudul “Ndang balio Sri”.

Untuk pilkada DKI ini. Rasanya frase yang sama relevan untuk kita lekatkan. Namun dengan “Sri” yang berbeda yaitu “AHY”. Menjadi: “Ndang balio AHY”. Kembalilah AHY.

Dibagian akhir dari lagu “Ndang Balio Sri” ini dikatakan:

Yen pancene Sri
Kowe eling aku..
Ndang balio
Aku kangen setengah mati”

“Jika memang kau Sri ingat aku. Segera kembali. Aku kangen setengah mati kepadamu”.

Dalam konteks pilkada DKI ini. Dimana semua orang menunggu sikap politik AHY. Dengan kalimat yang sama, banyak orang mungkin ingin berkata:

“Jika memang kau ingat Jakarta, AHY, segera kembalilah. Pilkada ini kangen setengah mati kepadamu”.

Yen pancene AHY
Kowe eling Jakarta..
Ndang balio..
Pilkada iki kangen setengah mati Karo kowe..”

Tetapi sama seperti “Sri” yang didalam lagu tersebut akhirnya juga tidak kembali-kembali walaupun sudah dimohon-mohon, bahkan dengan kalimat rayuan yang sangat romantis seperti “kangen setengah mati”, maka AHY, kembali tidaknya dia, bersikap tidaknya dia di putaran 2 ini, sebagaimana harapan banyak orang dan media, sepenuhnya berpulang kepada dia.

Bagi saya pribadi. Dengan dirindukannya sosok AHY hari ini. Dia sendiri sesungguhnya telah menjadi pemenang. Dia hari ini telah menjadi “faktor”. Tanpanya ada yang kurang. Sebuah “pesta” berbiaya hampir setengah triliun yang harusnya tetap ramai, bisa rasanya seperti tidak sedang berpesta tanpa kehadirannya.

Selain AHY, rakyat Indonesia juga menurut saya telah ikut menjadi pemenang.
Melalui panggung pilkada DKI ini, kita telah melihat lahirnya sosok generasi baru pemimpin bangsa ini kedepan. Tungku panas pilkada DKI adalah tahapan untuk semakin mematangkannya. Seiring waktu dia akan semakin matang. Matang. Dan matang. Terbentur. Terbentur. Dan akhirnya Terbentuk.

Ambillah peran yang lebih luas, AHY, dibanding sekedar “ngurusi” kembali pilkada Jakarta. Karena dengan posisimu sekarang. Kau memang telah meng-Indonesia.

Bukan hanya Jakarta yang merindukanmu. Seluruh Indonesia merindukanmu. Pulanglah untuk Indonesia. “Balio kanggo Indonesia”.

 

Facebook Comments Box