Kasus e-KTP, Sebuah Dakwaan yang Melukai Banyak Orang

 Kasus e-KTP, Sebuah Dakwaan yang Melukai Banyak Orang

Bendahara Umum DPP Partai Golkar dan Ketua Komisi VII DPR RI, Bambang Soesetyo

Oleh: Bambang Soesatyo, Ketua Komisi III DPR RI dari Fraksi Golkar

SIDANG perdana kasus dugaan korupsi e-KTP di Pengadilan Tipikor Jakarta, Kamis (9/3), ibarat senapan mesin yang memuntahkan peluru ke berbagai arah dan sudah menciderai banyak orang.

Kini, menjadi tugas para jaksa penuntut Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk membuktikan apakah semua nama yang disebut itu memang layak dilukai reputasi dan kredibilitasnya.

Sejumlah orang yang disebut menerima aliran dana dari proyek e-KTP telah membuat bantahan. Bantahan itu sekali lagi, harus direspons KPK melalui proses pembuktian oleh para jaksa penuntut KPK.

Untuk menjaga kredibilitas dakwaan KPK, pembuktian terhadap keterlibatan nama-nama yang disebut dalam dakwaan itu harus terang menderang. Alat bukti harus jelas, siapa, kapan dan dimana.

Seperti diketahui, Ketika membacakan dakwaan untuk terdakwa kasus e-KTP, Jaksa Penuntut Umum (JPU) memaparkan puluhan nama dan sejumlah institusi yang diduga menerima dana hasil korupsi proyek e-KTP.

Selain mantan menteri dan mantan Ketua DPR, puluhan anggota Komisi II DPR periode 2009-2014 juga disebut menerima fee dari dana yang dianggarkan dalam proyek e-KTP. Di antara mereka, ada yang kini menjabat menteri dan gubernur.

Konsekuensi dari penyebutan nama-nama itu tentu saja pembuktian. Dalam konteks pembuktian, kasus dugaan korupsi proyek e-KTP ini menjadi tantangan yang tidak ringan bagi KPK. Proyek ini sudah berlangsung beberapa tahun yang lalu.

Kemudian, tentang aliran dana hasil korupsi proyek ini, belum jelas benar apakah KPK juga memiliki bukti kuat yang bersumber dari PPATK (Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan), rekaman CCTV, sadapan atau alat bukti lainnya.

Faktor lain yang juga cukup menentukan adalah berkurangnya jumlah saksi. Dua anggota Komisi II DPR yang tahu detil pembahasan dan penganggaran proyek ini pada tahun 2009 sudah meninggal dunia.

Keduanya adalah Burhanuddin Napitupulu dan Mustoko Weni. Bahkan sebuah peristiwa digambarkan di dalam dakwaan, seolah-olah saksi yang sudah meninggal dunia itu masih hidup dan ikut membagi-bagi uang.

Secara fakta memang terbukti bahwa penyelesaian proyek e-KTP melenceng jauh dari target waktu. Bahkan tidak ada yang tahu kapan proyek ini akan rampung.

Artinya, jelas bahwa ada masalah besar dalam proyek ini. Karena itu, langkah KPK membawa kasus ini ke Pengadilan Tipikor Jakarta sudah tepat. Hanya saja jangan salah bidik.

Wajar jika sejumlah orang yang disebutkan dalam dakwaan itu tidak bisa menerima begitu saja dan langsung membuat bantahan. Masuk akal karena mereka merasa sebagai korban pembunuhan karakter.

Oleh mereka, dakwaan yang dibacakan di Pengadilan Tipikor itu dimaknai sebagai tuduhan. Oleh karena dakwaan itu dipublikasikan secara luas, secara personal masing-masing sudah merasa dilukai.

Mereka sadar bahwa bertitiktolak dari publikasi dakwaan itu, publik akan mencibir dan menuduh mereka sebagai orang-orang yang ikut menikmati dana hasil korupsi proyek e-KTP. Begitulah risikonya ketika sebuah nama dikaitkan pada sebuah kasus korupsi

Tentu saja KPK juga sudah menyimak bantahan dari sejumlah orang itu. Sudah barang tentu bantahan sejumlah orang itu harus direspons KPK melalui proses pembuktian.

Melihat derasnya penghakiman publik terhadap nama-nama yang disebut dalam dakwaan itu, Presiden Joko Widodo pun angkat bicara. Presiden juga sangat kecewa karena proyek e-KTP bermasalah. Seperti diketahui, seorang menteri pada Kabinet Kerja juga disebut dalam dakwaan itu.

Menyikapi hal ini, Presiden minta masyarakat menjunjung tinggi azas praduga tidak bersalah dalam perkara dugaan korupsi proyke e-KTP. Selain itu, Presiden juga mengimbau masyarakat untuk menyerahkan sepenuhnya proses hukum perkara tersebut kepada KPK dan Pengadilan Tipikor.

Bahwa proyek e-KTP sarat masalah memang sudah terlihat indikasinya sejak awal. Indikasi pertama adalah kisruh tentang mekanisme pembiayaan proyek ini. Kisruh ini memunculkan isu tentang beda sikap dua menteri keuangan atas skema pembiayaan tahun jamak atau multiyears tahun 2011-2012.

Kedua, ketika proyek ini mulai dieksekusi, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) sudah melihat indikasi tentang potensi pelanggaran pada aspek penganggaran proyek e-KTP. Entah apa pertimbangannya, potensi masalah yang ditemukan BPK itu tidak didalami lebih lanjut. Proyek ini dinyatakan clear untuk kemudian dilanjutkan.

Ketiga, setelah dinyatakan rampung, proyek ini ternyata tidak menuntaskan sistem administrasi kependudukan nasional, sebagaimana dijanjikan sebelumnya. Banyak warga di berbagai daerah belum bisa menggenggam e-KTP.

Satu-satunya keluhan dan alasan yang dikemukakan kantor lurah kepada warga adalah habis atau tidak adanya stok blanko e-KTP. Karena masalah kekosongan blanko e-KTP berlarut-larut, Kementerian Dalam Negeri pada Desember 2016 terpaksa mengirimkan surat edaran ke setiap daerah mengenai penggunaan Surat Keterangan (Suket) pengganti E-KTP. Tujuannya, mengatasi masalah habisnya blanko. Fungsi Suket itu sederajat dengan KTP elektronik. Artinya, bisa digunaka untuk ragam keperluan.

Masalah kekosongan blanko e-KTP di berbagai daerah itu otomatis mengonfirmasi bahwa proyek bernilai hampir Rp 6 trilyun ini memang menyimpan masalah. Lebih dari itu, proyek ini memang belum atau tidak selesai. Bahkan melenceng sangat jauh.

Sebab, proyek e-KTP pernah ditargetkan rampung pada 2011. Pekerjaan dalam proyek e-KTP meliputi perekaman sidik jari, retina mata (iris) dan database kependudukan tunggal.

 

Facebook Comments Box