Mimimnya Figur Wanita Jelang Pilkada Sulsel 2018, Ini Tanggapan Thita Syahrul

JAKARTA, Lintasparlemen.com – Tantangan sistem perpolitikan Indonesia ke depan yakni minimnya suplai pemimpin wanita yang berkualitas untuk menahkodai pemerintahan di sejumlah daerah.
Apalagi Pilkada 2018 tidak lama lagi prosesnya akan berlangsung. Nama-nama yang mulai muncul di daerah mayoritas dari calon kandidat figur laki-laki, termasuk di Sulawesi Selatan yang digelar pemilihan gubernur dan wakil gubernur 2018 mendatang.
Dominasi figur pria dibandingkan figur wanita karena proses rekrutmen politik pada perempuan sangat kecil. Mereka kalah bersaing dari berbagai segi, termasuk kemampuan melobi hingga kemampuan financial.
Wasekjend DPP PAN Indira Chunda Thita Syahrul punya pandangan sendiri melihat kaumnya kalah dominasi dari kaum Adam.
Baginya, figur pria-wanita tidak perlu dikototomikan dalam dunia politik. Karena sistem demokrasi di Indonesia yang paling diperlukan saat ini adalah bagaimana figur yang ada memiliki karakter kepemimpinan kuat untuk mensejahterakan rakyat.
“Jika kita berbicara kepemimpinan, kita tidak perlu membahas dikotomi antara figur laki-laki dan figur perempuan. Sebab, letak masalahnya bukan di situ. Siapapun yang akan jadi pemimpin kelak harus yang memiliki rekam jejak yang baik di dalam sistem pemerintahan,” jelas Thita pada lintasparlemen.com, Ahad (12/3/2017).
“Selain itu, pemimpin itu wajib punya visi kepemimpinan yang kuat untuk kesejahteraan rakyatnya. Dan tidak kalah pentingnya dari kepemimpinan itu, figur yang ada tidak punya potensi melakukan korupsi dan memperkaya diri selama menjabat,” lanjutnya.
Menurutnya, kalah dominasi kader politik perempuan di Sulsel karena lambatnya proses kaderisasi kepemimpinan politik terhadap perempuan dari berbagai jenjang. Termasuk juga adanya pengaruh kultur lokal dan budaya politik di tanah Bugis Makassar ini.
“Sehingga mengakibatkan dengan pengaruh kultur lokal dan budaya politik kita yang masih meragukan potensi, kemampuan dan kekuatan kaum perempuan di kancah politik lokal dan nasional. Selain itu, masih banyaknya mitos-mitos yang menyelimuti cara pandang kita terkait keterlibatan perempuan di dunia politik,” paparnya.
Thita juga cukup prihatin dengan kepengurusan Parpol mulai di tingkat Pusat, Provinsi, Kabupaten, Kecamatan hingga desa masih begitu minim. Sehingga saat proses politik untuk diajukan sebagai calon legislatif (Caleg) partai kesulitan stok kader perempuan berkualitas untuk memenuhi quota 30 persen.
“Padahal, dalam Undang-undang telah dijamin kuota perempuan 30 persen. Namun, dari perspektif ini, resource atau sumber daya politik perempuan kita masih sangat terbatas dari tingkat proses rekrutmen politik dari bawah ke atas,” pungkasnya. (HMS)