Tantangan Hubungan Sipil Militer di Masa akan Datang
Tantangan global kini dan mendatang mengindikasikan masuk ke dalam ketidakpastian politik dan ekonomi dunia. Ada kepentingan politik global dan pergeseran kekuatan ekonomi yang dipastikan besar efek negatifnya bagi negara lain.
Pada sisi pertahanan, terjadi pergeseran kekuatan militer dari persenjataan pemusnah massal beralih ke intensitas diseminasi teknologi canggih, baik yang berawak (manned) maupun tidak (unmanned), yang beroperasi dalam perang asimetris secara inkonvensional.
Juga hadir mandala perang baru dalam teknologi informasi, yaitu cyber war. Selain itu, korupsi dan disloyal people terhadap integrasi nasional yang berciri plural menjadi sebuah fenomena dalam kehidupan bernegara pada era global.
Jika mengamati lebih dalam tentang fenomena global, ada faktor yang dominan berpengaruh, yaitu geopolitik, power, kepentingan dan kebudayaan yang mempengaruhi terjadinya krisis suatu negara.
Bagi Indonesia, yang dibutuhkan adalah respon bersama dengan saling bekerjasama dan bahu-membahu antara sipil dan militer dalam melindungi negara dari ancaman fenomena global. Di dunia luar sana, interaksi sipil dan militer sudah mendunia dalam menyelesaikan semua permasalahan kelangsungan hidup kemanusiaan dan bernegara.
Bahkan, itu menjadi strategi solusi di era demokrasi. Lihat saja bagaimana Perancis menangani serangan teror saat 1.500 anggota pasukan militer langsung diterjunkan untuk ikut menangani persoalan tersebut.
Hal yang sama dilakukan AS saat menghadapi serangan teror 11 September 2001 dan badai Katrina di New Orleans tahun 2005. Krisis yang terjadi tak hanya ditangani kekuatan sipil, tetapi juga melibatkan militer. Federal Emergency Management Agency (FEMA) yang dimiliki AS merupakan lembaga negara yang bekerja lintas sektoral dan bertugas menangani semua situasi krisis yang terjadi di negeri itu.
Pendekatan mutualistis, interdependensi, serta konsultasi individu dan institusi telah menjadi suatu kekuatan preventif yang dibangun dalam kerangka membangun kerjasama sipil dan militer. Interaksi sipil dan militer mengenal tiga elemen, yaitu;
(1) bertukar informasi kapasitas; (2) membangun tim kerja dan pelatihan bersama lintas sektor sipil dan militer; (3) menyusun program bersama. Secara universal dikenal dua tipe misi militer dan sipil bekerjasama, dalam misi kemanusiaan disebut humanitarian action, sedangkan misi politik negara disebut military action.
Pengerahan kekuatan militer jadi kewenangan keputusan politik otoritas sipil yang berdaulat, dengan lingkup penugasan militer pada area stabilisasi dan rekonstruksi krisis. Selain itu, kapabilitas sipil sangat dominan dalam interaksi sipil dan militer.
Hal tersebut tampak dari perkembangan pesat area profesi sipil dengan berbagai aspek profesi, seperti penguasaan teknologi hardware dan software, medis, legal, manajemen lingkungan, ekonomi bisnis, dan teknologi informasi.
Di sisi lain, peran militer yang bersifat ultima ratioyang bukan sebagai penentu akhir, namun menjadi elemen utama negara guna menyelamatkan dan mempertahankan kelangsungan hidup bangsa dan negara pada kondisi krisis perlu berinteraksi simultan antara sipil dan militer dalam menjalankan misi operasi tersebut.
Oleh karena itu, selain penugasan operasi perlu kejelasan batas waktu dan skala misi operasi. Diperlukan juga sebagai militer profesional dengan menjalankan misi yang berpegang teguh pada prinsip netralitas dan Imparsial.
Faktor psikologis dan traumatis perjalanan sejarah panjang yang merangkai hubungan sipil dan militer di negeri ini dengan pasang surutnya, tidak boleh menjadi kendala dan hambatan. Melainkan perlu sikap bijak dalam memandang pentingnya integrasi nasional guna menghadapi tantangan masa depan yang makin sulit.[]