Kebijakan Ekonomi Jokowi Itu Makin Memperlebar Ketimpangan (1)
Kondisi Indonesia sepanjang tahun 2016 berhadapan dengan situasi ketimpangan ekonomi, keuangan dan ketimpangan pendapatan yang meningkat.
Kondisi ini disebabkan oleh berbagai kebijakan ekonomi dan politik Indonesia yang terfokus pada upaya upaya mengejar pertumbuhan ekonomi yang bertumpu pada pengembangan mega proyek infrastruktur.
Garis kebijakan pemerintah telah memicu konsentrasi sumber sumber ekonomi tanah, keuangan dan pendapatan pada sekelompok kecil orang.
Bahkan ketimpangan pendapatan dan kekayaan berlangsung secara cepat. Baru baru ini Oxfam International merelease bahwa ketimpangan kekayaan di Indonesia adalah salah satu yang terburuk di dunia. KEKAYAAN 4 ORANG INDONESIA SETARA DENGAN 100 JUTA PENDUDUK. Ini adalah sebuah kondisi yang sangat extrim tidak hanya akan memiliki implikasi ekonomi akan tetapi juga politik dan keamanan.
Ketimpangan extrim ini tidak pernah terjadi pada era sebelumnya. Masih ingat strategi orde baru dalam mengatasi Ketimpangan? Trickle down effect, strategi yang menuai kecaman dari banyak orang karena dianggap sebagai penghinaan terhadap kemanusiaan. Bagaimana mungkin ratusan juta rakyat hanya mendapatkan tetesan dari kemakmuran?
Namun ternyata sejak era reformasi yang konon katanya adalah anti tesa terhadap kebijakan pemerintahan Soeharto, ternyata ketimpangan ekonomi kian menjadi jadi. Bahkan tetesan ke bawah pun tertutup.
Penguasaan tanah
Tanah merupakan unsur paling penting dalam ekonomi. Tanah merupakan faktor produksi utama. Lebih jauh lagi tanah merupakan unsur utama bagi eksistensi suatu bangsa. Tanpa tanah maka bangsa itu tidak ada. Tanpa tanah maka masyarakatnya akan lenyap dengan sendirinya.
Dalam filosofi Jawa dikatakan sedumuk batuk senyari bumi yang artinya sejengkal tanah dioertahankan sampai mati. Karena tanah adalah eksistensi dan kehormatan. Sehingga tanah tidak boleh direnggut dari rakyat. Sehingga tanah harus dijamin ketersediaan oleh negara bagi seluruh rakyat.
Apa yang terjadi dalam era reformasi? Tanah berada dalam penguasaan minoritas. Tanah secara perlahan lahan jatuh dalam genggaman minoritas asing dan segelintir taipan. Tanah berpindah dari negara ke tangan segelintir orang melalui pemberian berbagai hak penguasaan atas tanah yang diatur dengan UU negara.
Tanah yang dikuasai dalam bentuk hak penguasah atas tanah oleh asing dan taipan saat ini seluas 178 juta hektar. Seluas 140 juta hektar merupakan wilayah daratan atau sekitar 72 % dari luas daratan Indonesia. Seluruh tanah tersebut dikuasai oleh perusahaan besar asing dan taipan dalam berbagai bentuk hak penguasaan tanah.
Pemerintah telah mengalokasikan tanah dalam bentuk kontrak kerjasama migas (KKS) seluas 95 juta hektar sebagian besar di darat yakni sebanyak 60 % dari total KKS atau sekitar 57 juta hektar. Kontrak tambang mineral dan batubara seluas 40 juta hektar.
Selanjutnya hak penguasaan tanah yang diberikan dalam bentuk ijin perkebunan sawit 13 juta hektar, ijin kehutanan dalam bentuk HPH, HTI dan HTR seluas 30 juta hektar.
Sebuah perusahaan swasta milik taipan bisa menguasai lahan seluas 2,5 juta hektar menurut versi beberapa Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dan 1,5 juta hektar versi panglima TNI sebagaimana di sebut di majalah Forum Keadilan. Selain itu ada puluhan taipan besar di tanah air dengan skala penguasaan tanah yang sangat luas.
Ketimpangan dalam penguasaan tanah inilah yang seringkali menimbulkan konflik antara masyarakat melawan pengusaha dan pemerintah. selain itu hak penguasaan lahan yang sangat luas oleh asing dan taipan telah menimbulkan overlapping/tumpang tindih, sehingga kasus beberapa kabupaten kota di Indonesia menunjukkan luas ijin untuk berbagai kegiatan investasi telah melebihi luas wilayahnya.
Sementara lebih dari separuh rakyat Indonesia yang masih hidup dan bekerja di sektor pertanian hanya menguasai lahan sekitar 13 juta hektar yang terbagi dalam 26 juta rumah tangga petani dengan luas masing masing 0.5 hektar. Dengan demikian setiap petani hanya menguasai lahan rata rata 0.17 juta hektar per petani. Itulah mengapa tidak ada kegiatan usaha tani yang dapat meraih keuntungan dengan luas lahan yang sangat minim tersebut.
Penguasaan tanah dalam skala yang sangat luas oleh asing dan taipan ini yang menimbulkan keresahan masyarakat, mengingat berdasarkan UU yang berlaku yakni UU No 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal menyebutkan bahwa jangka waktu penguasaan tanah oleh swasta bisa salam 95 tahun. (Bersambung)