Obituari KH Hasyim Muzadi dan Uji Materi UU Penodaan Agama
Oleh: Arsul Sani, Sekjen DPP PPP, Anggota Komisi III DPR RI, pengurus LPBH PBNU 2005-2010
Begitu menerima kabar berpulang ke rahmatullah-nya KH Hasyim Muzadi dari adik saya yang menjadi alumni Ponpes Al-Hikam, Malang.
Pikiran saya kembali melayang ke awal tahun 2010, saat bersama Pak Sholeh Amin. Saya menjadi kuasa hukum PBNU di Mahkamah Konstitusi (MK) RI.
PBNU saat itu dipanggil oleh MK untuk menjadi pihak terkait dalam perkara uji materi UU No. 1/PNPS/1965, yang lebih dikenal sebagai UU Anti Penodaan Agama yang melahirkan Pasal 156a KUHP.
KH Hasyim saat itu masih menjabat sebagai Ketua Umum Tanfidziyah PBNU. Namun akan berakhir periode kepemimpinan-nya di PBNU dengan Muktamar NU tahun 2010 di Makassar.
Sebagai pribadi ahli agama (ulama), almarhum juga diminta menjadi saksi ahli yang ditunjuk oleh MK sendiri di bawah Ketua Prof. DR. Mahfud MD.
Selama proses uji materi UU inilah saya banyak berinteraksi dengan beliau, sekaligus mendengarkan pandangan-pandangan keagamaan beliau yang harus kami refleksikan dalam persidangan-persidangan di MK ketika selaku kuasa hukum PBNU yang diberi kesempatan bertanya atau memberikan tanggapan oleh Majelis Hakim MK.
Pandangan-pandangan KH Hasyim terkait dengan persoalan penodaan agama yang UU-nya diuji-materikan itu, baik yang disampaikan kepada kami tim kuasa hukum PBNU sebagai arahan. Maupun ketika beliau tampil sebagai saksi ahli sekali lagi menunjukkan kemoderatan dan proporsionalitas antara keislaman dengan ke-Indonesiaan.
Kemoderatan dan proporsionalitas pandangan terkait dengan pengaturan penodaan agama inilah yang mengesankan tidak saja Majelis Hakim MK. Tapi juga dari publik yang hadir dalam persidangan, baik dari elemen-elemen umat Islam yang secara tegas menghendaki permohonan uji materinya ditolak maupun dari kelompok masyarakat yang mendorong MK untuk mengabulkan uji materi dengan menyatakan UU No. 1/PNPS/1965 tersebut sebagai UU yang bertentangan dengan norma-norma UUD 1945 yang dijadikan sandaran uji materi oleh para pemohon.
Elemen-elemen umat Islam yang hadir ketika beliau memberikan keterangan ahli di MK tadinya bersu’udzon dan khawatir bahwa keterangan KH Hasyim akan menguntungkan para pemohon uji materi yang berarti pro dengan penghapusan UU tentang Penodaan Agama.
Sebaliknya, kelompok masyarakat pendukung para pemohon “optimis” bahwa KH Hasyim akan memberikan keterangan yang mendukung dalil permohonan atau paling tidak keterangan beliau tidak akan berseberangan total dengan argumentasi para pemohon. Mengingat beliau dari NU yang diyakini kemoderatannya dalam pandangan keagamaan.
Memang kemoderatan dan proporsionalitas pandangan keagamaan itulah yang tercermin dalam keterangan KH Hasyim sebagai ahli. Beliau memberikan perspektif dan analisis sosiologis bahaya-nya kalau UU tersebut ditiadakan.
Tidak meledak-ledak intonasi keterangannya, apalagi mengajak hadirin untuk bertakbir di ruangan sidang MK, tetapi juga jauh dari pandangan para sekularis yang atas nama kebebasan berekspresi kemudian menggunakan pilihan kata dan intonasi yang memancing kemarahan sebagian publik yang hadir dalam persidangan.
Di ujung keterangannya, beliau menyampaikan kesimpulan yang kurang lebih sama dengan para ahli hukum tata negara bahwa untuk kemaslahatan negara ini maka perlu tetap ada UU yang mengatur penalisasi terhadap pelaku penodaan agama.
Hendaknya norma hukum yang ada dalam UU No. 1/PNPS/2015 perlu disempurnakan, sehingga potensi kesewenang-wenangan pemerintah maupun aparat penegak hukum akan dapat diminimalkan dalam kasus-kasus penodaan agama.
Mereka yang tadinya sudah telanjur ber-suudzon akhirnya menyalami hangat KH Hasyim ketika persidangan selesai, mungkin sambil dalam hatinya meminta maaf karena telah ber-suudzon.
Sebaliknya, mereka yang tadinya telah “optimis”, tidak kecewa total karena KH Hasyim juga menyerukan pernyempurnaan UU-nya dan seruan agar tidak menggunakan kekerasan dalam menyelesaikan kasus penodaan agama.
Kemoderatan dan proporsionalitas pandangan keagamaan memang sesuatu yang menyatu dalam diri KH Hasyim…
Selamat jalan…, Kiai … Semoga kami bisa mewarisi kemoderatan dan proporsionalitas panjenengan itu … Al fatihah …