Peneliti: Kaum Minoritas Tentukan Pilihan karena Faktor SARA, Mayoritas Sebaliknya…
JAKARTA, Lintasparlemen.com – Peneliti Pusat Data Bersatu (PDB) Agus Herta Soemarto menyampaikan hasil surveinya di putaran I. Kelompok minoritas di TPS seperti di Jakarta Utara dan Jakarta Barat lebih memilih calon gubernur dan wakil gubernur DKI Jakarta karena alasan Suku Agama Ras Antargolongan (SARA) dengan memilih pasangan nomor urut 2.
Berbeda dengan kelompok mayoritas yang tinggal di TPS wilayah berpenduduk padat dan dimenangkan oleh pasangan nomor urut 3, suara nomor 2 meraih suara kompetitif. Malah ada TPS yang dimenangkan oleh nomor 2.
Menurut Agus, masyarakat Jakarta selama ini dapat hidup rukun dan berdampingan walaupun memiliki latar belakang suku, ras, etnis, atau agama yang berbeda. Namun setelah pelaksanaan Pilkada Putaran I ada indikasi yang kuat mulai terjadinya pergeseran dari heterogenitas ke homogenitas.
Agus mengungkapkan, Desk research yang dilakukan oleh PDB itu didasari oleh kekhawatirannya terhadap perilaku pemilih pada Pilkada DKI Jakarta di putaran I untuk menghadapi putaran II.
PDB juga menemukan, lanjutnya, adanya fakta yang mengkhawatirkan terkait hasil Pilkada DKI Jakarta putaran I. Di mana, menurut hasil penelitian PDB terdapat indikasi kuat adanya penggunaan solidaritas etnis yang dapat memecah belah persatuan bangsa.
“Pilihan sebagian masyarakat di Pilkada DKI Jakarta pada putaran I tidak didasarkan pada prestasi kerja masing-masing calon tetapi Iebih karena kesamaan suku, agama, ras, dan etnis tertentu,” jelas Agus dalam diskusi “SUARA, Isu atau Fakta” di Hotel Sahid, Jakarta, Jumat (17/3/2017).
“Hal inilah terlihat dari hasil Pilkada Putaran I di beberapa wilayah yang berbasis kelompok tertentu seperti di wilayah Jakarta Utara dan Jakarta Barat. Hampir semua (100%) pemilih di TPS yang pemilihnya berasal dari kelompok etnis dan agama tertentu memiliki tingkat partisipasi yang hampir menyentuh 100% pilihannya hampir 100% ke Paslon 2,” sambungnya.
Selain itu, di wilayah yang basis massanya adalah kelompok mayoritas (Islam), tidak terjadi homogenitas pilihan. Bahkan Paslon nomor urut dua Ahok-Djarot mendapatkan suara yang cukup besar.
“Hal ini menandakan bahwa pilihan kelompok mayoritas lebih rasional di mana pilihannya masih didasarkan pada prestasi kerja masing-masing,” ungkapnya.
Dengan masuknya faktor etnis dan agama dalam pertimbangan memilih pemimpin di DKl Jakarta merupakan suatu kemunduran besar di Indonesia.
“Kondisi inilah yang terjadi ketika pada zaman penjajahan Belanda. Kala itu, penduduk dibagi-bagi berdasarkan golongan tertentu seperti golongan Eropa, Indo, Timur Asing, dan Bumiputera. Jika hal ini tetap dibiarkan maka akan membahayakan persatuan dan kesatuan bangsa,” beber Agus. (JODIRA)