Apa Motif Partai Politik Berhasrat Tinggi Masuk KPU?
JAKARTA, Lintasparlemen.com – Analis Politik Universitas Negeri Jakarta (UNJ) Ubedilah Badrun angkat suara terkati wacana unsur partai politik masuk menjadi komisioner KPU dalam dua pekan ini, ramai diperbincangkan.
Ubedilah menanyakan alasan kuat partai politik terkesan memiliki hasrat tinggi masuk menjadi komisioner KPU? Apa motif partai politik? Dan bagaimana solusi terbaiknya?
“Motif normatif yang sering dikemukakan partai politik ingin masuk sebagai komisioner KPU adalah untuk menghadirkan KPU yang tidak mudah diintervensi oleh kekuatan politik yang sedang berkuasa,” kata Ubedilah pada lintasparlemen, Jakarta, Rabu (29/3/2017).
Ia sedikit membenarkan munculnya intervensi kekuasaan yang menimpa komisioner KPU itu terkait mekanisme bekerja penyelenggara itu khususnya saat seleksi anggota KPU yang dilakukan sebuah tim memungkinkan intervensi itu terjadi.
“Argumentasi yang patut dibangun KPU seharusnya adalah keinginan untuk terjadinya saling kontrol diantara komisioner. Ada semacam check and balances di antara para komisioner, sehingga mampu melahirkan keputusan yang tepat dan meminimalisasi conflict of interest di antara para komisioner. Ketika check and balances terjadi dan conflict of intetest diminimalisasi,” paparnya.
Problemnya adalah, lanjut Ubedilah, keinginan partai politik untuk memiliki wakil di KPU itu muncul di tengah performa partai politik yang buruk. Karena itu, partai politik patut dikoreksi dan bekerja keras untuk memperbaiki performanya secara bersama-sama.
“Sebab kriitik publik terhadap parpol yang paling menonjol adalah buruknya performa parpol dalam 10 tahun terakhir hingga saat ini, meski mungkin ada beberapa partai yang kinerjanya membaik,” ujar Ubedilah.
Ubedilah menilai, Pansus UU Pemilu DPR RI ke Jerman dan Meksiko sebagai rujukan studinya untuk meyakinkan DPR dan publik tentang urgensi perwakilan partai menjadi komisioner KPU.
“Di Jerman ada 11 anggota KPU yang terdiri unsur pemerintah, dua hakim, dan delapan dari parpol. Di Jerman maupun Meksiko memang memasukan unsur partai politik dalam KPU-nya,” terangnya.
Kondisi tersebut mirip dengan KPU era awal reformasi di Indonesia. Di mana unsur partai politik duduk menjadi anggota KPU untuk penyelenggaraan pemilu 1999 yang hasilnya dimenangkan PDI Perjuangan dan memunculkan partai pendatang baru Partai Keadilan (PK) yang mendapat kursi paling bontot waktu itu.
“Di Meksiko, anggota KPU-nya terdiri dri unsur hakim, kejaksaan, pemerintah dan semua partai politik menjadi pengurus KPU. Namun, unsur partai politik tidak memilki hak suara. Mereka hanya memiliki hak bicara, mendapat kewenagan untuk melihat seluruh tahapan Pemilu.” (HMS)