Wajib Baca, Jika Ingin Tahu Kenapa Kinerja Pansel KPU-Bawaslu RI Dinilai Buruk?

 Wajib Baca, Jika Ingin Tahu Kenapa Kinerja Pansel KPU-Bawaslu RI Dinilai Buruk?

Logo KPU dan Bawaslu KPU RI

Oleh: Arteria Dahlan, Anggota Komisi II DPR RI dari Fraksi PDI Perjuangan
Saya prihatin dan sangat kecewa setelah mendengar dan melihat langsung klarifikasi Panitia Seleksi (Pansel) KPU dan Bawaslu RI hari ini (30/3/2017)
______________________________________________

Mereka menjawab pertanyaan-pertanyaan saya seadanya, tidak detail dan cenderung lari dari masalah dan 95% pertanyaan saya tidak mau atau tidak bisa mereka jawab.

Panseel cenderung berdialektika teoritis, layaknya paparan akademis, tidak berusaha memaparkan fakta yang sebenarnya, tidak ada suasana kebatinan di antara mereka bahwa rapat ini sedang membahas suatu hal yang sangat penting untuk kehidupan demokrasi kita ke depannya.

Kita perlu membahas masalah kebangsaan dan hal yang sangat genting mengingat klarifikasi Pansel menentukan langkah dan sikap komisi II di dalam menentukan fit and proper test ini. Apakah memilih seluruh anggota komisioner KPU dan Bawaslu, ataukan sebagian saja. Artinya kurang dari 7 anggota KPU dan 5 anggota Bawaslu Ri.

Sebagai pembuka, saya sayangkan dan mohon maaf. Bagi saya sangat tidak masuk akal jika Pansel berasalan tidak melibatkan komisi II dalam tahapan seleksi dikarenakan komisi II tidak merespon surat Pansel. Ini kan aneh Komisi II saja baru mengetahui dan seketika tahu langsung diresponse.

Apalagi kita kan sudah saling kenal, bertukar HP, kalau itikadnya baik apa salahnya sms, kirim pesan ke Whatsapp atau contact kami untuk beritahu terkait kiriman surat dan tidak diresponse. Ini kan tidak meraka lakukan.

Saya menegaskan bahwa Pansel telah gagal melakukan seleksi calon komisioner KPU dan Bawaslu. Sejujurnya hasil timsel (tim seleksi) ini ditolak oleh komisi II, apalagi setelah melihat rapat hari ini, semakin jelas ternyata mereka gagal paham atas demokrasi, hubungan demokrasi, politik dan partai politik dengan rakyatnya.

Mereka juga tidak mengetahui isu-isu kekinian yang dihadapi oleh pihak kami sewaktu menyelesaikan permasalahan demokrasi dan pemilu dengan KPU. Tapi Kami mengalah, kami mengalah untuk sesuatu yang lebih besar, untuk menyelamatkan penyelenggaraan demokrasi.

Setelah rapat dengan Pak Mendagri, dengan proses dialektika kebangsaan yang luar biasa hebat akhirnya kita sepakat melanjutkan fit and proper test. Itu pun mendagri menegaskan, “Yang penting fit and proper test-nya dilanjutkan saja, perkara terpilih hanya 1 atau 3 atau 7 itu diserahkan kepada Komisi II”.

Jadi sejatinya hasil Timsel itu gagal, tidak terpilih semua oleh Komisi II, ini kan berkat Mendagri saja yang dikenal baik, santun dan memiliki komunikasi politik yang luar biasa.

Saya juga kecewa, tadi dikatakan Bahwa Timsel lebih baik dibandingkan timsel terdahulu, apa tidak keliru? Apa tidak aneh kok timsel menilai dirinya sendiri? Kalau saya sederhana, dari jumlah pelamar saja berkurang hingga 50%. Proses seleksi saja bermasalah dan tidak jelas, outputnya atau hasilnya nyata-rata ditolak oleh komisi II, kok dibilang berhasil. Kalau lebih kok 5 anggota KPU yang daftar lolos lagi? Katanya lebih baik?

Bicara Postur Pansel, saya tidak menanyakan siapa di antara mereka yang mewakili unsur pemerintah? Yang mewakili unsur masyarakat? Mereka tidak mau menjawab. Karena tahu akan kami permasalahkan lagi karena mereka pun bias dalam kapasitasnya masing-masing.

Lalu terkait ibu Valina Singka yang menjadi anggota DKPP? Apa tidak ada conflict of interest? DKPP itu satu kesatuan penyelenggaraan pemilu yang anggarannya dari bawaslu. Denga yang bersangkutan di DKPP berinteraksi dengan Komisioner KPU maupun Bawaslu RI.

Belum lagi kalau kita bicara persyaratan timsel, apa benar mereka memiliki kredibilitas? Integritas, reputasi dan rekam jejak yang baik, paham permasalahan pemilu? Faktanya kan tidak hebat-hebat banget, apalagi setelah kita tanya banyak tidak tahunya tentang permasalahan kepemiluan dan penyelenggaraan pemilu.

Timsel juga tidak bisa menjawab pertanyaan saya, KPU itu dibenak mereka dipersepsikan sebagai apa? Sebagai policy maker atau sebagai implementator? Atau sebagai keduanya. Karena ini akan menentukan kerangka sistem dan kelembagaan KPU ke depannya di Indonesia.

Setelah itu terjawab, baru kita bisa berpikir butuh karakteristik aparatur kepemiluannya spt apa. Inilah sayangnya, mrk merasa dirinya hebat dan pintar shg meremehkan orang lain, tdk mau membuka komunikasi apalagi bertanya kepada​ DPR padahal kami yang membentuk UU-nya.

Timsel juga tidak bisa menjawab kenapa minta bantuan pihak external, seperti KPK, PPATK dan BIN secara langsung? Kenapa tidak cukup melalui Dirjen PUM Kemendagri yang in casu sekretaris timsel?

Lalu juga tidak bisa jelaskan masyarakat mana yang dilibatkan? Masukan masyarakat mana yang dijadikan pertimbangan? Kok tidak minta pertimbangan dan masukan DPR? Terkait masukan, kenapa diterima mentah-mentah? Kenapa tidak dicoba untuk dikonfirmasi atau dimintakan klarifikasi atau dikonfrontir kebenaran akan faktannya. Ini kan bisa orang difitnah tanpa ada ruang utk klarifikasi. Kejam sekali.

Timsel juga gagal menjelaskan mengenai prosedur seleksi. Bagaimana​ penerapan 5 kriterium: independensi, integritas, kemampuan ilmu dan teknik kepemiluan, kepemimpinan dan kesehatan. Terlebih tatkala saya tanyakan kenapa Ketua Bawaslu RI Profesor Muhammad khususnya dan anggota bawaslu RI kok tidak lolos, kriterium mana mereka terganjal. Lalu apa yang lebih hebatnya 14 dan 10 nama ini dibandingkan dengan Komisioner Bawaslu RI saat ini.

TimSel juga tidak menjawab, terkait pertanyaan saya​, apakah independensi parameternya adalah berani melawan DPR? Berani mengajukan Judicial Review? Apakah berintegritas kalau mereka main politik? Memperdagangkan pengaruh? Membuat aturan PKPU maupun SK KPU yang seenaknya dan bertentangan dengan​ UU seperti aturan kampanye DKI putaran II.

Selain pertanyaan itu, tidak supervisi 18 dukungan PKPI dan 30 dukungan partai Nasdem? Melakukan intervensi dan melawan putusan MA? Melakukan pembiaran akan permasalahan yang menjadi tupoksinya? Menjadikan MK sebagai keranjang sampah? Melakukan kesalahan fatal terkait data dan daftar pemilih? Membiarkan KPU Kab Kota provinsi memberikan keterangan tertulis secara​ tidak benar dan jauh dari​ fakta hukum dalam persidangan MK?

Apa independen itu acuannya melalukan judicial review atas pasal 9 ke MK? Tahu tdk kenapa kita buat aturan pasal 9, tahu tdk kerusakan2 demokrasi yang sudah ditimbulkam oleh kpu atas nama independensi?

Makanya jangan pernah merasa pintar, kami yg dr dpr ini mungkin saja Timsel pikir kita  bodoh tp pastinya kita tdk idiot. Kita yang di DPR tidak punya gelar profesor karena pilihan hidup bukan berarti kita tidak paham demokrasi. Justeru kami yang di komisi II tidak sekadar paham teori demokrasi tp kami paham juga praktek  demokrasi.

Prof Ramlan (Wakil Ketua Timsel) juga tidak menjawab apa benar dari​ sejumlah tulisan beliau, beliau tidak setuju dengan​ adanya institusi Bawaslu. Kenapa beliau mau jadi Timsel kala itu? Apa benar dari​ pertanyaan yang diajukan beliau kerap kali memojokkan Bawaslu dan calon yang berasal dari​ Bawaslu? Kenapa beliau mau menghapuskan atau membubarkan Bawaslu?

Kenapa beliau mengatakan untuk pengawasan pemilu tidak perlu lembaga khusus seperti Bawaslu? Lalu terdapat perkataan beliau yang mendiskreditkan DPR, yakni “Anggaran Bawaslu aman karena​ dekat dengan​ Komisi II, sedang anggaran KPU tersendat karena​ tidak dekat dengan Komisi II” dan “Bawaslu salah karena​ tidak ikut judicial review.”

Apa sebegitu burukkah kami DPR di mata beliau? Apa yg hendak beliau ingin mainkan? Menciptakan monster demokrasi ditengah Hadirnya UU Pemilu yang baru? Yang waktunnya sangat singkat dan mengharuskan hadirnya penyelenggara pemilu yang tidak hanya mengerti dan paham, tetapi juga handal dan menghadirkan solusi serta menyelesaikan masalah.

Ibu Valina Singka juga tidak menjawab apa saya tanyakan. Terkait keberadaan dan kapasitas yang bersangkutan​ yang masih aktif di DKPP.

Pernyataan yang kurang pantas dan tidak boleh dilontarkan oleh Timsel yakni “Selama ini KPU sudah benar, Bawaslu RI yang selalu buat gaduh dengan rekomendasi-rekomendasinya”.

Juga pernyataan provokatif Valina Sungka yang seharusnya​ dicermati oleh Pak Jokowi maupun Mendagri seperti​ mempermasalahkan sebagian isu RUU Pemilu sebagai Inkonstitusional di media massa. Ini tidak sederhana, terlebih dengan​ kalimat yang membangun kecemasan yakni “Dapat dibayangkan apa yang akan terjadi bila seorang presiden dan wapres berasal dari​ partai yang sama dengan mayoritas anggota DPR? DPR dan pemerintah bisa menyetir KPU.”

Ini namanya off side, lupa diri lupa posisi. Jangan bicara kebebasan, ini negara ada aturannya, punya etika dan moral, minimal beliau tidak komentar seperti​ itu di media selama jadi Timsel. Apalagi sektetaris timsel itu kan ketua pansus RUU Pemilu yang dari​ pihak pemerintah, ide dan gagasan beliau bisa​ langsung disampaikan dan masuk dlm RUU daripada​ bikin polemik.

Lagi pula beliau ga usah banyak komentar kalau tidak tahu dan tidak mengerti dan tidak membaca memorie van toelivhting pembentuk UU. Aturan PKPU wajib konsultasi DPR ini dibuat untuk penyelamatan demokrasi. Makanya jangan sok hebat dan pintar, banyak-banyaklah membaca dan bertanya. Saya tanyakan ke beliau coba buktikan intervensi DPR yang mendistorsi dan merusak demokrasi, beliai juga tidak bisa​ jawab.

Saya​ sangat sedih kalau Timsel yang notabene orang berpendidikan dan berwasasan luas saja​ masih alergi terhadap​ politik, terhadap partai politik, mempunyai kesan buruk terhadap politisi dan partai politik. Saya pastikan di DPR masih banyak orang baik, kami di Komisi II periode ini berketetapan hati untuk datang mengabdi membuat sejarah kebangsaan.

Saya​ pribadi bangga menjadi politisi. Suatu kehormatan menjadi anggota DPR. Berterima kasih sudah dididik, dibesarkan oleh PDI Perjuangan. Partai yang mengajarkan kami berpolitik itu suatu kehormatan dan berpolitik membangun peradaban. Kalau DPR dipersepsikan buruk yang rugi adalah rakyat.

Karena pengawasan terhadap jalannya pemerintahan menjadi tidak efektif. Harusnya tokoh-tokoh itu memberikan pencerahan bukan membuat jarak antara KPU Bawaslu dengan​ DPR. Proses seleksi juga harus memperlihatkan ke arah itu sehingga penyelengara pemilu akan menjadi mitra konstruktif bagi demokrasi. []

Facebook Comments Box