DPR Sebut Gunakan Gas Lebih Hemat Ketimbang Solar Rp 70 Triliun
JAKARTA, Lintasparlemen.com – Anggota Komisi VII DPR RI Dito Ganinduto menilai arahan Presiden Joko Widodo agar mengutamakan penggunaan gas bumi sebagai pembangkit energi sudah sangat tepat.
“Untuk itu, komitmen itu harus direalisasikan dengan membangun infrastruktur gas dan juga memilih energi pembangkit paling efisien,” kata Dito pada lintasparlemen.com, Jakarta, Rabu (5/4/2015).
Menurut Dito, gas sebagai bahan bakar pembangkit dinilai sudah tepat meski harga Marine Fuel Oil (MFO) atau diesel saat ini relatif rendah. Namun, penggunaan bahan bakar minyak (BBM) tidak bisa lagi jadi patokan untuk digunakan sebagai energi primer pembangkit.
Politisi Partai Golkar ini mengungkapkan, penggunaan BBM berimplikasi pada tingginya biaya pemeliharaan dan isu lingkungan. Belum lagi, jika penggunaan diesel dialihkan sepenuhnya ke gas, akan ada penghematan mencapai Rp 70 triliun.
Angka ini, lajut Dito, merujuk pada dana pembelian BBM oleh PLN untuk kapasitas pembangkit total sebesar 7.000 Mega Watt (MW),” jelas Dito.
“Prioritas ke gas itu sudah tepat karena bisa menurunkan biaya pokok pembangkit, sehingga suplai energi menjadi murah,” terang Dito.
Hasil penelitian Institut Teknologi Bandung (ITB) dan Kementerian ESDM, penggunaan gas jauh lebih hemat dibandingkan BBM. Perbandingannya 1 liter solar/bensin sama dengan 240 gram gas. Ini artinya penggunan gas bisa 5 kali lebih hemat dibandingkan BBM.
“Sekarang eranya jangan pakai diesel lagi. Memang untuk gas, perlu investasi besar. Namun, jika infrastruktur tersedia, kemudian gas terdistribusi, ada multiplier effect yang justru jauh lebih besar lagi. Otomatis di daerah itu industri akan berkembang. Itu sudah pasti,” jelasnya.
Ia juga mengaku akan terus mengawasi PLN untuk benar-benar komitmen menggunakan gas dan meminimalkan solar atau diesel untuk pembangkit. Seringkali, alokasi gas untuk pembangkit juga terkendala birokrasi dan ego sesama BUMN.
Dito mencontohkan, kasus PLN Tarakan yang menghasilkan 40 MW, sehingga pasokan gas tidak pernah terealisasi lantaran ego sektoral dan birokrasi yang berbelit.
“Seringkali proses administrasi juga begitu lama. Baru setelah dikritik, sibuk rapat. Ini, kan, tidak lucu,” tegas Dito.
Untuk mempercepat elektrifikasi ada banyak cara dilakukan. Paling tepat, tentu saja dipilih yang paling efisien, mudah, dan tidak perlu izin berbelit. Mengingat, wilayah Indonesia adalah laut, minimnya infrastruktur terminal gas di seluruh Indonesia tidak bisa diatasi dengan model pipanisasi darat.
Model pembangunan infrastruktur gas yang dipandang efisien baru dilakukan di Jakarta, Jawa Barat, Lampung dan pengoperasian mini terminal LNG terapung di Benoa-Bali.
“Pengembangan mini terminal LNG terapung seperti di Benoa bisa menjadi model baru suplai bahan bakar pembangkit listrik karena pembangunannya lebih cepat, murah, relatif tidak banyak perizinan apabila dibandingkan dengan membangun fasilitas di darat,” paparnya.
“Dengan menggunakan LNG memang harus diregasifikasi. Dari sisi biaya, mestinya masih lebih efisien. Kan tinggal dihitung saja, pembelian dengan PLN berapa, kemudian dibawa pakai kapal berapa,” sambungnya.
Politisi asal Dapil Jawa Tengah VIII ini pun mengkritik pernyataan Menteri ESDM yang membandingkan biaya pengapalan LNG dari Bontang ke Tanjung Benoa sebesar USD 1,9 per MMBtu. Sementara biaya pengapalan LNG dari Tangguh di Papua ke Terminal Penerimaan dan Regasifikasi LNG Arun di Aceh hanya USD 0,08 per MMBtu. Padahal data PLN mencatat harga sebesar USD 0,6 per MMBtu.
“Makanya, kami minta ke Menteri ESDM data baru neraca gas. Bagaimana kebutuhannya, pasokannya, gas balance, infrastruktur yang dibangun sesuaikan kebutuhan dan pasokan. Jangan pula, tata kelola gas ini berubah, setiap ganti menteri ESDM, kemudian kebijakan berganti lagi,” pungkasnya. (Panji)