Jazuli Juwaini: Pemimpin Itu Melayani Rakyat, Bukan Melayani Elite atau Partai Pendukungnya
JAKARTA, Lintasparlemen.com – Pemimpin itu hasil pemilihan yang demokratis, baik Pemilu, Pilkada, maupun Pilpres. Kemudian membentuk pemerintahan dan melahirkan kebijakan publik yang seharusnya berorientasi pada kesejahteraan dan pelayanan rakyat.
Sementara birokrasi yang menjadi alat pemerintahan bertujuan untuk mewujudkan kesejahteraan dan pelayanan bagi rakyat. Dimensi pelayanan (public services) sangat penting karena alasan utama (raison d’ etre) lahirnya negara sebagai sebuah kontrak sosial antara penyelenggara negara dengan rakyat untuk mengatur dan mengurus hajat hidup mereka.
Hal itu disampaikan oleh Ketua Fraksi PKS DPR RI Jazuli Juwaini saat memberikan sambutan dalam acara Focus Group Discussion (FGD) bertema “Mewujudkan Negara Sebagai Pelayan Rakyat” yang diselenggarakan Fraksi PKS DPR di Senayan, Jakarta, Rabu (5/4/2017).
Hadir dalam diskusi publik itu Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi AsmanAbnur, Ketua Komisi Aparatur Sipil Negara Sofian Effendi, Anggota Komisi II DPR RI Sutriyono, Gubernur Jawa Barat Ahmad Heryawan, Mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Anies Baswedan.
“Tema ini sengaja diangkat oleh Fraksi PKS karena PKS ingin terus mendorong dan menghadirkan negara yang benar-benar melayani rakyat,” ujar Jazuli.
Hal ini, lanjutnya, sejalan dengan tagline PKS, yaitu “Berkhidmat untuk Rakyat”, serta garis perjuangan Fraksi PKS yang memperjuangkan kerakyatan, keummatan, dan mengokohkan nasionalisme Indonesia.
“Apalagi kita sepakat membangun sistem demokrasi yang lebih kuat dan bermakna. Demokrasi bermakna adalah demokrasi yang bekerja untuk memenuhi keinginan dan aspirasi rakyat sebagai pemilik kekuasaan. Jadi, pemimpin itu tugasnya melayani rakyat, bukan melayani elite atau partai pendukungnya,” papar anggota Komisi I DPR ini.
Jazuli merujuk rumusan konsepsi birokrasi pemerintahan dari lembaga-lembaga internasional dan para pakar pemerintahan yang mengklasifikasikan pemerintahan ke dalam dua kategori: good governance dan bad governance. Ada sembilan prinsip good governance, yaitu partisipasi, ketaatan hukum (rule of law), transparansi, responsif, berorientasi solusi/konsensus, kesetaraan (equity), efektif dan efisien, akuntabilitas, dan visi strategis.
“Birokrasi pemerintahan yang tidak mencerminkan prinsip-prinsip tersebut dengan sendirinya masuk dalam kategori bad governance,” katanya.
Menurut Jazuli, birokrasi di Indonesia diakuinya belum benar-benar menerapkan good governance, sehingga perlu didorong terus upaya reformasi birokrasi. “Praktek buruk yang masih sering terjadi dalam birokrasi kita: politisasi birokrasi, maladministrasi, korupsi, kesejahteraan ASN terutama honorer yang belum tertangani dengan baik, dan lain-lain,” terangnya.
Dia pun memberikan tips lima upaya menata birokrasi yang melayani, yaitu: pertama, bangun budaya melayani, bukan dilayani. Ubah paradigm briokrasi sebagai pelayanan masyarakat (bukan abdi negara). Istilah pejabat publik semestinya juga harus direvisi dengan pelayanan masyarakat sebagaimana dalam Islam, khalifah sering disebut sebagai qodimatul ummah.
Kedua, perkuat sistem meritokrasi dalam proses rekrutmen dan tatakelola SDM birokrasi.Ketiga, pengembangan sistem akuntabilitas. Akuntabilitas birokrasi meliputi kinerja pelayanan, keuangan, dan administrasi. Rumusnya sederhana: kewenangan tanpa akuntabilitas akan menghasilkan korupsi.
Keempat, untuk menegakkan prinsip akuntabilitas maka diperlukan satu sistem pengawasan yang kuat dan melekat, yang mencegah perilaku maladministrasi dan korupsi.
Kelima, tidak kalah penting sistem harus menjamin adanya reward and punishment yang jelas sehingga memotivasi kinerja pegawai untuk berprestasi dan berkompetisi yang sehat.
“Yang berprestasi mendapatkan penghargaan, sementara yang berkinerja buruk mendapat punisment. Sistem ini menjamin keadilan, sehingga pegawai tidak hanya dituntut/ditekan untuk kerja bagus, tapi yang kerjanya bagus diapresiasi dan diberi imbalan,” kata Jazuli.
Keenam, perbaikan dan penguatan sistem regulasi (perundang-undangan) yg komprehensif dan sinergis dari pusat hingga daerah yang mementingkan dimensi pelayanan publik.
“Saat ini sudah ada UU Pelayanan Publik, UU ASN, UU Administrasi Pemerintahan, termasuk gagasan RUU Etika Penyelenggara Negara. Sejumlah daerah juga telah melahirkan Perda Pelayanan Publik. Kita harus kawal implementasi dari kebijakan tersebut,” pungkasnya. (JAZ)