Tanya Presiden, Siapa Pelaku Makar yang Sebenarnya?
JAKARTA, Lintasparlemen.com – Apa yang ada di benak Presiden Joko Widodo setelah mendapatkan surat dua kali dari Negara Federal Republik Papua Barat (NFRPB)? Apalagi NFRRB sudah punya Presiden yang namanya Forkorus Yaboi Sembut.
Bahkan mereka juga sudah memiliki kepala kepolisian bernama Elias Ayakeding. Mereka ini sudah dua kali menyurati Presiden Indonesia kita.
Seperti dilansir www.papua.us/2017/04/negara-federal-republik-papua-barat.html?m=1 mereka sudah berani bertindak. Seharusnya aparat harus melakukan langkah pencegahan sebelum kegiatan makin membesar.
Muncul pertanyaan kenapa Jokowi selaku Presiden hanya diam tak mengambil sikap tegas dari aksi makar dari sekelompok warga Papua Barat itu? Hal berbeda jika yang melakukan beragama Islam? Padahal hukum itu harus adil!!!
Telah menjadi vital peristiwa ini. Bagi Anda yang menuduh tokoh-tokoh Islam makar. Terjunkan pasukan Anda segera ke Papua sana. Itu di sana ada kelompok makar.
Dan bagi Anda yang mengaku paling NKRI. Segeralah berangkat ke sana dengan pasukan (kepolisian dan TNI) ke Papua. Di sana sudah kelompok makar yang sudah memiliki presiden dan kepala kepolisian.
Bagi Anda yang mengatakan NKRI harga mati. Itu di ujung timur Indonesia, sudah ada yang terang-terangan menyurati Presiden Indonesia atas nama Presiden NFRPB. Untuk apa masih di Pulau Jawa? Untuk apa Anda masih bergerombol sambil memaki-maki orang ngaji?
Segeralah berangkat, bawa pentungan Anda ke Papua sana, usir para pelaku makar yang sudah terang-terangan mendeklarasikan diri sebagai gerakan makar.
Ayo berangkat sana. Kerahkan bertruk-truk pasukan, bawa ribuan pentungan. Rakyat Papua dan NKRI menunggu aksi konkret Anda dalam mengusir kelompok yang nyata-nyata makar.
Setelah surat pertama tak direspon oleh Presiden, mereka dengan berani menawarkan upaya perundingan untuk mengakui sebuah negara di Papua.
“Ini surat Presiden NFRPB, Forkorus Yaboi Sembut tahap kedua terkait dengan perundingan damai antara NKRI dan NFRPB. Surat tersebut telah diantar ke Jakarta pada 7 Maret lalu dengan 40 tembusan,” kata Elias Ayakeding, Senin (3/4/2017) lalu.
Seperti dilansir dari Cenderawasih Pos (Jawa Pos Group), dalam surat ini disebutkan ada enam poin dasar pengajuan surat perundingan itu. Yang pertama hasil ketetapan Kongres Rakyat Papua (KRP) III tertanggal 17 – 19 Oktober 2011 di Lapangan Zakeus, Abepura.
Yang kedua, deklarasi secara sepihak atau Unilateral Declaration of Independence (UDI) Bangsa Papua di Negeri Papua Barat pada tanggal 19 Oktober 2011 dalam KRP III adalah dasar hukum kebisaan internasional (Internasional Custom Law) yang mendorong terbentuknya NFRPB.
Ketiga berdasar UDI, NRFPB secara otomatis telah berpredikat subjek internasional yang dikenal dengan Belligerent. Artinya negara yang berjuang mendapat pengakuan dan peralihan kedaulatan administrasi pemerintahan atas wilayah dan rakyatnya.
Keempat dengan UDI, Bangsa Papua di Papua Barat dan NFRPB sebagai subjek hukum internasional yang baru muncul maka, New York Agreement sebagai hukum perjanjian internasional antara pemerintah Belanda dan pemerintah Indonesia dinyatakan hilang dan tidak berlaku lagi.
Karena Papua Barat, mantan wilayah koloni Nederlands Nieuw Guinea sebagai objek perjanjian internasional sesuai dengan Viena Convention on the Law of Treaties Between states 1969.
“Kelima UDI Bangsa Papua adalah pernyataan pemulihan kemerdekaan atas mantan wilayah koloni Nederlands Nieuw Guinea (Papua Belanda) yang dianeksasi oleh Pemerintah Indonesia. NFRPB tidak mencaplok wilayah Nederlands indisch ( Hindia Belanda) yang adalah wilayah NKRI dan itu sangat jelas,” ujar Forkorus pada rilisnya dibacakan Elias Ayakeding.
Keenam, Indonesia menyatakan kemerdekaan dengan menempuh jalan yang sama, melalui unilateral act atau pernyataan sepihak dalam bentuk proklamasi kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1945. Secara otomatis mendapat predikat subjek hukum internasional yang dikenal dengan belligerent.
“Surat pertama sudah disampaikan sejak tahun 2012 yang ditujukan pada Presiden SBY yang isinya tentang perundingan damai namun belum mendapat tanggapan. Ini surat penawaran tahap kedua dengan isinya sama yakni perundingan damai,” tambah Ayakeding.
Yang jadi pertanyaan lagi, mereka begitu berani tanpa ada langkah konkrit dari Presiden. Beda jika yang melakukan aksi serupa di luar kelompok itu.
Masih ingatkah kita sebelum aksi super damai 212 di Monas? Sejumlah aktivis di Jakarta ditangkap atas dugaan makar oleh pemerintah khususnya aparat kepolisian. Meski akhirnya mereka dilepaskan.
Hatta Taliwang salah satu aktivis yang sempat ditangkap mengungkap, agenda pertemuan dengan Rachmawati Soekarnoputri dan sejumlah aktivis lainnya di Universitas Bung Karno (UBK). Pertemuan ini diduga polisi ada kaitan dengan upaya makar.
Pertemuan itu juga diakui Hatta, ada sekedar rencana untuk mengerahkan massa, aksi biasa ke DPR di tanggal 2 Desember. Namun, pengerahan massa itu, bukan untuk upaya makar alias menggulingkan pemerintahan yang sah dengan cara menduduki gedung DPR/MPR.
Hal sama dialami Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal, ia dituduh akan melakukan aksi makar. Said ditanya penyidik soal keterlibatan buruh dalam upaya dugaan makar yang menjerat 9 aktivis. Said Iqbal menegaskan, buruh sama sekali tidak terlibat dalam upaya makar.
Oleh aparat, Polda Metro Jaya menduga ada keterlibatan musikus Ahmad Dhani dalam dugaan upaya makar yang dilakukan 8 tersangka. Meski kemudian tidak terbukti.
Yang teranyar, Sekjen Forum Umat Islam (FUI) Gatot Saptono alias Muhammad Al-Khaththath dan empat orang pelaku lainnya ditangkap penyidik terkait pemufakatan makar. Kuasa hukum Al-Khaththath, Ahmad Michdan, membantah kliennya merencanakan aksi makar di lima kota besar setelah Pilkada 19 April nanti.
Sementara Kabid Humas Polda Metro Jaya, Kombes Argo Yuwono mengungkapkan ada kasus dugaan makar yang menyeret nama Muhammad Al Khaththath akan dilakukan dengan menabrakkan kendaraan ke DPR saat aksi 313.
Michdan mengatakan rapat itu sedianya digelar di Masjid Baiturrahman Saharjo, Menteng Atas, Jakarta Pusat. Karena jumlah peserta hanya 10 orang, kegiatan itu dipindahkan di firma milik Khaththath di kawasan Kalibata, Jakarta Selatan.
Belum kasus lain soal kasus pendukung Ahok-Djarot bernama Iwan Bopeng yang mengancam TNI. Namun, kasusnya tak ditindaklanjuti oleh aparat. Ada apa? Sementara kasus lainnya dari umat Islam diminta diusut.
Teranyar, kasus ‘pengusiran’ Djarot di salah satu masjid di kawasan Jakarta Selatan aparat dan Panwaslu Jakarta Selatan bergerak cepat mengusut. Meski pengurus masjid sudah membantahnya.
Menurut pihak Djarot, Sebagian pengurus dan jemaah Masjid Jami Al-Atiq di Tebet menolak kehadiran Cawagub Djarot Saiful Hidayat pada Jumat (14/4/2017) kemarin.
Dengan cepat Kapolrestro Jakarta Selatan Komisaris Besar Iwan Kurniawan membantah telah terjadi aksi pengusiran pada Djarot Saiful Hidayat di Tebet, pada Jumat (14/4) siang. Khususnya, setelah Djarot menunaikan ibadah Salat Jumat di Masjid Jami Al-Atiq di Tebet, Jaksel.
“Pak Djarot melaksanakan salat sampai selesai, tidak ada masalah. Saat pulang, beliau disalamin masyarakat, didoorstop (wawancara) juga sama wartawan. Nah, dari dalam masjid ada yang teriak-teriak, ‘Pilih Nomor 3.. Pilih Nomor 3..’. Itu saja yang ada di lapangan,” terang Iwan kepada wartawan di kantornya, Jumat sore.
Selain itu, Iwan juga menampik adanya spanduk penolakan terhadap Djarot. Buktinya, lanjut Iwan, Djarot tetap bisa masuk masjid dan menunaikan salat Jumat berjamaah.
“Tidak ada spanduk penolakan itu. Anggota kan ada di sana. Pak Djarot datang ke sana, ikut salat sampai selesai,” ujarnya. (Diolah dariari berbagai pihak)