Memperingati Hari IWD, Kopri PB PMII Tolak TPP Digelar di Indonesia

 Memperingati Hari IWD, Kopri PB PMII Tolak TPP Digelar di Indonesia

JAKARTA, LintasParlemen.Com – Ketua Umum Kopri PB PMII Ai Rahmayanti menolakan dilaksanakan Trans Pacific Partnership (TPP) yang digelar hari ini di Jakarta, (Ahad, 13/ 03).

Sebagai informasi, TPP merupakan salah satu FTA yang mengatur mengenai ISDS. Termasuk juga mengatur standar perlindungan investasi yang dilakukan oleh negara.

Standar perlindungan investasi asing yang diterapkan dalam perakteknya, juga kerap dijadikan dasar gugatan investor ke ICSID (International Center Settelement for Investement Disutes), seperti perlakuan non-diskriminasi, fair and equitable treatment, larangan nasionalisasi baik langsung atau tidak langsung.

Menurut Ai Rahmayanti, perjanjian TPP secara spesifik memuat aturan mengenai liberalisasi yang cukup penting seperti, sektor finansial, investasi, telekomunikasi, e-commerce, Goverment Procurement, persaingan usaha, BUMN, Kekayaan intelektual, lingkungan dan buruh.

Mekanisme penyelesaian sengketa investasi, Ai Rahmayanti mengungkapkan, harus dilaksanakan melalui abitrase internasional, atau melalui perdagangan barang khususnya pertanian yang merupakan hajat hidup terbesar masyarakat Indonesia.

“Maka berdasarkan data di atas, maka kami KOPRI PB PMII dalam memperingati International Womens Day (IWD) menyerukan tiga hal penting,” kata Ai Rahmayanti seperti rilis yang diterima, Jakarta, Ahad (13/03).

“Pertama, kami menolak Trans Pacific Partnership Agrement (TPP). Kedua, menolak negara dibawah kontrol korporasi. Dan ketiga, meneguhkan Trisakti dalam bernegara,” sambung Ai Rahmayanti.

Ai Rahmayanti berpendapat, Indonesia mempunyai kekayaan hayati yang berguna untuk keberlangsungan hidup.

Komersialisasi dan kompetisi kekayaan hayati ini hanya memperkuat koorperasi multinasional dan rezim perdagangan yang bersifat dominasi yang menciptakan masyarakat pembeli saja.

Karena menurutnya, mekanisme itu masyarakat perempuan tidak mampu bersaing sebagai pelaku usaha dan produsen di dalam negeri.

“Posisi perempuan dalam menghadapi TPP ini dirasa cenderung akan sangat mengalami banyak dampak yang tidak menguntungkan kami. Ini dapat dilihat dari gambaran apabila dilaksanakannya perlindungan resiko non komersial bagi investor dan pelaksanaan hak istimewa bagi investor yang menanamkan modalnya di Indonesia. Ini menjadi bentuk sistem pelemahan bagi bergaining posision antara pelaku usaha dengan tenaga kerja, khususnya tenaga kerja perempuan,” jelasnya.

Selain itu, Ai Rahmayanti mengatakan, jika terjadi sengketa maka investor dapat memilih proses penyelesaian sengketa di Abitrase Internasional yang bertentangan dengan aturan penyelesaian investasi yang diatur dalam Undang-undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal.

“Dalam UU itu menyatakan bahwa penyelesaian sengketa antara pemerintah dan investor dapat diselesaikan di wilayah hukum Republik Indonesia,” terangnya. (SCA)

 

 

Facebook Comments Box