Outsourcing Agreement dan Sikap Pemerintah Memperketat Pengawasan pada Perusahaan
Oleh: Hj. Siti Masrifah, Anggota Komisi IX DPR RI dari Fraksi PKB Dapil Banten III
Pertama, sebagai wakil rakyat tentu saya punya kewajiban memperjuangkan aspirasi rakyat termasuk aspirasi kaum buruh.
Soal tuntutan buruh agar menghapus outsourcing versi buruh atau pekerja tentu saya sangat setuju. Kenapa? Karena “outsourcing” versi UU Ketenagakerjaan, tidak boleh ada perjanjian untuk penyerahan sejumlah pekerja atau buruh (tenaga kerja) dari vendor atau service provider untuk di”perintah” langsung oleh management User Company yang ditentukan oleh jumlah (orang)-nya dan dihargai orang demi orang dengan persentase fee tertentu per orang kepada vendor atau service provider.
Kalau ada praktik semacam yang terakhir ini, maka inilah yang oleh serikat buruh atau pekerja disebut sebagai human trafficking atau perbudakan modern, bahkan eksploitasi manusia oleh sesama manusia.
Ternyata prakteknya di lapangan tidak sejalan dengan aturan yang ada di UU Ketenagakerjaan no 13 tahun 2003.
Harusnya yang diperjanjikan dalam “outsourcing agreement” itu isinya memperjanjikan “paket pekerjaan” atau “sub-pekerjaan” dengan suatu nilai tertentu atau harga paket yang disepakati dengan berbagai varian jumlah tenaga kerja dan sesuai kompetensinya.
Karena itu, jika pemerintah belum bisa mengabulkan tuntutan buruh atau pekerja soal penghapusan outsourcing ini, maka pemerintah harus memperketat pengawasan kepada perusahaan pengguna jasa outsourcing agar tidak terjadi berbudakan modern yang mengabaikan hak-hak kaum buruh atau pekerja ini.
Dan bahkan jika ada pelanggaran terhadap isi UU Nomor 13 tahun 2003 ini, pemerintah memberikan wajib memberikan saksi kepada perusahaan tersebut.
Ada beberapa hak yang sering dilanggar oleh perusahaan yang memakai pekerja Outsourcing misalnya:
1. Hak atas “uang lembur” pada hari istirahat mingguan dan “hari besar” bagi tenaga kerja outsourcing ( berdasarkan Pasal 79 ayat (1) jo ayat (2) huruf b UU Ketenagakerjaan, pengusaha wajib memberi waktu istirahat mingguan (weeklyrest) kepada pekerja/buruh).
2. Hak dan kewajiban tenaga kerja dalam penandatanganan “kontrak kerja” (PKWT) yang menyalahi “aturan dinas tenaga kerja” (dalam peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan), berdasarkan Pasal 59 ayat (1) UU Ketenagakerjaan.
Bahwa Perjanjian Kerja untuk Waktu Tertentu (PKWT) hanya dapat diperjanjikan untuk pekerjaan tertentu yang menurut jenis dan sifat atau kegiatan pekerjaannya akan selesai dalam waktu tertentu (jadi sementara sifatnya).
3. Berkenaan dengan hak-hak tenaga kerja outsourcing (yang nota bene non organik), pada umumnya sama saja hak-haknya dengan tenaga kerja organik di perusahaan user.
Nah, yang ketiga ini juga sering terjadi. Banyak perusahaan yg memperlakukan berbeda antara pekerja outsourcing dan tenaga pekerja organik diperusahaannya.
Idealnya, setiap user tenaga kerja oursourching mematuhi aturan yang sudah tertuang di dalam UU Ketenagakerjaan dan UU lain yang terkait dengan Perjanjian Kerja untuk Waktu Tertentu.
Bukan hanya user saja yang harus paham dengan isi undang-undang tersebut, para buruh atau para pekerja outsourching /PKWT juga harus paham dengan aturan yang ada. Sehingga keduanya bisa saling menunaikan kewajiban dan mendapatkan haknya.
Tapi sekali lagi. Selama kedua nya belum bisa tertunaikan dengan baik, maka sekali lagi saya sepakat dengan tuntutan para buruh untuk menghapus pekerja outsourcing.[]