Anggota DPR Ini Beberkan 3 Pelanggaran PT Pakai Outsourcing
BANTEN, Lintasparlemen.com – Anggota Komisi IX DPR RI Hj. Siti Masrifah mengatakan, sebagai wakil rakyat dirinya punya kewajiban memperjuangkan aspirasi rakyat termasuk aspirasi kaum buruh.
Di antaranya, soal tuntutan buruh agar menghapus outsourcing versi buruh atau pekerja. Siti mengaku tak bosan memperjuangkan tuntutan kaum buruh itu.
“Tentu saya sangat setuju. Kenapa? Karena outsourcing menurut UU Ketenagakerjaan, tidak boleh ada perjanjian untuk penyerahan sejumlah buruh (tenaga kerja) dari vendor atau service provider untuk diperintah langsung oleh management user company yang dihargai demi dengan persentase fee tertentu per orang kepada vendor atau service provider,” jelas Siti, Senin (1/5/2017).
Untuk itu, siti menyayangkan, karena hingga saat ini praktik semacam itu masih ada di era modern. Yakni human trafficking atau perbudakan modern yang mengeksploitasi manusia oleh sesama manusia.
“Ternyata prakteknya di lapangan tidak sejalan dengan aturan yang ada di UU Ketenagakerjaan Nomor 13 tahun 2003. Jika ada pelanggaran terhadap isi UU ini, pemerintah memberikan wajib memberikan saksi kepada perusahaan tersebut,” paparnya.
Karena itu, lanjut politisi PKB itu, jika pemerintah belum bisa mengabulkan tuntutan buruh atau pekerja soal penghapusan outsourcing ini. Maka pemerintah harus memperketat pengawasan kepada perusahaan pengguna jasa outsourcing agar tidak terjadi berbudakan modern yang mengabaikan hak-hak kaum buruh atau pekerja ini.
Politisi asal Dapil Banten III ini, membeberkan beberapa hak yang sering dilanggar oleh perusahaan yang memakai pekerja Outsourcing.
“Pertama, hak atas uang lembur. Pada hari istirahat mingguan dan hari besar bagi tenaga kerja outsourcing. Berdasarkan Pasal 79 ayat (1) jo ayat (2) huruf b UU Ketenagakerjaan, pengusaha wajib memberi waktu istirahat mingguan (weeklyrest) kepada pekerja/buruh),” ungkap Siti.
Kedua, sambungnya, hak dan kewajiban tenaga kerja juga sering dilanggar perusahaan. Khususnya dalam penandatanganan kontrak kerja (PKWT) yang menyalahi aturan dinas tenaga kerja sebagaimana diatur di UU Ketenagakerjaan) Pasal 59 ayat (1) UU Ketenagakerjaan.
“Bahwa Perjanjian Kerja untuk Waktu Tertentu (PKWT) hanya dapat diperjanjikan untuk pekerjaan tertentu yang menurut jenis dan sifat atau kegiatan pekerjaannya akan selesai dalam waktu tertentu (jadi sementara sifatnya),” terangnya.
Adapun yang ketiga yang dilanggar oleh perusahaan, ungkap Siti, hak-hak tenaga kerja outsourcing yang nota bene non organik, sama hak-haknya dengan tenaga kerja organik di perusahaan user.
“Nah, yang ketiga ini juga sering terjadi. Banyak perusahaan yg memperlakukan berbeda antara pekerja outsourcing dan tenaga pekerja organik diperusahaannya,” tegasnya.
Idealnya, setiap user tenaga kerja oursourching mematuhi aturan yang sudah tertuang di dalam UU Ketenagakerjaan dan UU lain yang terkait dengan perjanjian kerja untuk waktu tertentu. (HMS)