Hardiknas, Soal Pendidikan Politik Pemilih

 Hardiknas, Soal Pendidikan Politik Pemilih

Oleh: Daniel Zuchron, Komisioner Bawaslu RI 2012-2017

Ini soal pendidikan pemilih yang gegap gempitanya muncul sejak pemilu era reformasi pertama kali tahun 1999.

Diawali oleh garis perlawanan atas orde baru puncaknya pada pemilu 1997, maka pendirian KIPP (Komite Independen Pemantau Pemilu) meletakkan fondasi pemantauan pemilu yang jurdil. Hanya dua tahun setelahnya, yang diwarnai oleh peristiwa 1998, berlangsung pemilu 1999 sebagai anti tesis pemilu pada masa orde baru yang bermasalah.

Pada pemilu 1999 berkembang berbagai kegiatan pemantauan pemilu yang dilakukan selain oleh KIPP seperti Unfrel, Jamppi, Forum Rektor dll. Pada saat bersamaan terdapat JPPR yang mengambil konsentrasi pendidikan pemilih tidak pemantauan pemilu.

Saat itu baik KPU atau pengawas pemilu tenggelam oleh kegembiraan publik menyongsong pemilu demokratis pertama kalinya sejak era otoritarian orde baru.

Pada pemilu 2004, terdapat kegembiraan baru publik yakni pemilihan presiden-wakil presiden secara langsung pertama kalinya. Geliat masyarakat sipil masih terasa karena agenda pemilu jurdil dihadapkan pada pertama kalinya pemilihan presiden secara langsung, yang sebelumnya dilakukan melalui pemilihan oleh MPR. Sehingga nuansa demokratisnya terasa besar oleh tajuk pilpres langsung.

Masyarakat sipil pun menjadi instrumen utama pengawalan agenda tersebut. Namun pada pilkada langsung, geliat sipil non partisan terasa redup. Apakah skala event yang terlalu detail, atau ada aspek lain perlu dipelajari kembali?

Masuk pada pemilu 2009, oleh masyarakat sipil dinilai sebagai pemilu yang tertutup. Pertimbangannya banyak, salah satunya kegiatan pemantauan dan pendidikan pemilih tidak terasa geliatnya. Pada saat yang bersamaan penguatan institusi penyelenggaraan pemilu semakin terasa.

KPU yang semakin berpengalaman dan lembaga permanen pengawas pemilu yakni Bawaslu. Sehingga terdapat ‘kegagapan’ dalam merekonstruksi agenda konsolidasi baik pemantauan ataukah pendidikan pemilih.

Pemilu 2014, dan agenda pilkada serentak gradual memberikan bobot berbeda atas praktek pemilu yang terjadi. Secara teknis penyelenggaraan dinilai berhasil meski catatan praktek yang lebih bersifat teknokratis seperti soal pelayanan pemilu dan melesatnya teknologi informasi pemilu.

Namun secara kualitatif belum menjawab persoalan subtil dan advance nya isu-isu khusus seperti korupsi politik, politik uang dan disparitas kewilayahan termasuk merebaknya isu SARA.

Dalam kapasitas penulis sebagai anggota Bawaslu saat itu, tujuan utama menjembatani semakin gap nya persoalan detail teknis dengan isu partisipasi, membuat Bawaslu menjadi bridging kedua isu ini.

Kembali ke topik pendidikan pemilih, kekhawatiran soal ini perlu diungkap karena agenda pemilu/pilkada nampaknya terasa menjauh dari rasa kepemilikan bersama. Agenda politik melalui pemenangan pemilu/pilkada lebih besar ketimbang rasa kedaulatan rakyat di dalamnya.

Termasuk respon soal kedaulatan negara. Isu yang bertebaran ketika menjelang pemilu atau pilkada masih soal negara ini darurat terus menerus. Maka pendidikan pemilih model apa yang harus dikembangkan menjadi relevan diungkap kembali. []

#SelamatHardiknas

Facebook Comments Box