Fenomena Sombongnya Ahok-Ernest-Steven-Nathan

 Fenomena Sombongnya Ahok-Ernest-Steven-Nathan

#BalikinKTPGue jadi trending topic di twitter sebagai bentuk kekecewaan Ahok maju sebagai calon Gubernur DKI Jakarta foto: merdeka

Oleh: Dedi Noah, Pemerhati Sosial Politik

Sombong itu pasti tumbang dan akan jadi pecundang, tinggal tunggu waktu. Kata-kata itu benar adanya, bukan saja 100 %, tapi 200% betul banget.

Tapi sayang, ungkapan itu tampaknya tak pernah digubris oleh Sombongers Ahok, bahkan kemudian ulah itu diikuti Ernest, Steven dan belakangan Nathan. Keempat manusia ini diduga bermasalah dengan “syarafnya” karena tindakannya hanya mau benar sendiri, tanpa memikirkan akibat dan dampaknya.

Mereka sombong dan merasa tak salah, sehingga tak mau minta maaf, meski sudah tercium aroma intoleran, arogan dan mau enak sendiri. Tapi karena dikejar suara kebenaran, maka mereka tak bisa mengelak dan beralasan lagi, akhirnya terpaksa mau meminta maaf kepada pihak yang terlecehkan.

Basuki Tjahaya Purnama alias Ahok, sebagai Gubernur DKI karena lungsuran, seharusnya sadar siapa dirinya. Dia itu jadi gubernur bukan karena dipilih rakyat, tapi karena mendapat durian runtuh, lucky. Waktu itu rakyat pilih Jokowi dan Ahok kebetulan sebagai wagubnya, tapi karena kemudian Jokowi jadi Presiden RI, maka otomatis sesuai ketentuan Ahok naik menjadi gubernur.

Mau bukti rakyat tidak pilih dia, sekedar catatan seharusnya Ahok dan pendukungnya bangun dari pingsan, karena kalau memang dia disukai rakyat Jakarta, sudah pasti menang dalam Pilgub DKI 19 April 2017, faktanya ybs kalah telak sampai selisih dua digits (Ahok/Jarot = 42,04% versus Anies/Sandi = 57,96%).

Berkait Ahok sebagai gubernur, seharusnya dia pandai menjaga diri dan bijak dengan semua elemen di wilayah DKI seperti yang sudah dilakukan pendahulunya, Jokowi. Ahok harus komunikatif kepada semua pihak dan jangan mentang-mentang berkuasa, apalagi bergaya sombong, arogan, kasar, bicara kotor serta jauh dari adab, tata krama sopan-santun masyarakat Indonesia, yang sering dipertontonkan selama ini.

Ahok harus menyadari, bahwa sikap buruk yang terus dipamerkan itu banyak menimbulkan protes, kegaduhan dan perlawanan dimana-mana. Apapun alasannya, rakyat Jakarta tidak suka perangai buruk Ahok, bukan contoh perangai seorang pemimpin.

Arogansi dan kegilaan Ahok ini harus diakhiri demi menjaga kerukunan, ketenangan dan kebhinekaan antar sesama warga di Jakarta. Lucunya, watak buruk yang dipertontonkan itu sama sekali tak pernah dipermasalahkan oleh Ahokers dan penguasa, sebaliknya terus dipuja-puji dengan klaim sebagai orang tegas, jujur, bersih. Apalagi faktanya, yang bersangkutan cenderung sulit tersentuh hukum, selalu dilindungi dan dibela penguasa dan aparatur hukum.

Hukum baru bisa menyentuh, kalau sudah ada desakan tuntutan keadilan dari rakyat. Sebaliknya, bila rakyat diam saja, maka bisa dipastikan dia tidak akan diproses hukum, dia kebal hukum. Bukankah banyak bukti ke arah itu ?

Gaya sombong, mau menang sendiri dan tak mau tahu perasaan orang lain, rupanya menular, sehingga ada yang mengikuti meski dengan gaya berbeda. Sebut saja, artis yang baru nongol di acara stand up comedy, Ernest Prakasa. Yang bersangkutan dengan sembrono ngetwit di medsos pada 7 Maret 2017, menyindir Wapres JK saat menerima Da’i kondang dunia Zakir Naik. “JK dengan hangat menjamu Zakir Naik, orang yang terang-terangan mendanai ISIS. Sulit dipahami,” sindir Ernest.

Keruan saja, cuitan ini menimbulkan reaksi keras dari umat Islam, karena ternyata berisi kebohongan dan fitnah yang jauh dari fakta sebenarnya. JK pun berjiwa besar, memaafkan ulahnya, meski rakyat Indonesia yang mayoritas muslim gregetan, jengkel dan geram karena dia sudah melecehkan dua tokoh Islam yang sangat dihormati.

Tuntutan dan protes masyarakat kepada Ernest membuatnya dia bersurat ke Wapres JK. Tapi sayang setelah dicermati judul dan isinya ternyata cuma ucapan terima kasih kepada JK yang sudah memaafkannya, tapi tidak ada permintaan maaf dari Ernest. Bukankah bisa dibaca watak seperti ini ? Ternyata diketahui sikap nyinyirnya bukan itu saja. Selain pernah usung SARA, juga pernah sindir guru dengan twit “ancam seret guru ke polisi bila sentuh anaknya”.

Ternyata fitnah itu tidak berjalan lama, karena pada 9 April 2017 ada lagi sosok baru yang berulah dengan jenis tindakan yang beda. Siapa ? Steven Hadisurya yang bersikap rasis secara terbuka di Bandara Changi, Singapura kepada seorang pejabat publik yaitu Gubernur NTB, yang dikenal sebagai ulama, santun, pendidik, tokoh masyarakat dan dihormati masyarakat NTB. “Dasar Indo, dasar Indonesia, dasar pribumi, tiko,” hardiknya.

Kata-kata rasis yang keluar dari mulutnya begitu menyakitkan, dimana membawa-bawa nama Indonesia, negara yang kita cintai dan juga tiko yang belakangan diketahui sebagai tikus kotor. Sebagai orang yang normal tidak gila, pasti bisa menduga kadar kecintaan ybs terhadap negaranya, Indonesia. Bagaimana mungkin cinta NKRI bila keluar ucapan yang menjelekkan negara sendiri dan penduduknya. Ucapan tendensius ‘hate speech” yang mengumbar ujaran kebencian.

Sebagai orang kaya, ia mudah saja menjadi direktur, manager, producer, boss dan pengusaha yang punya akses dan berkuasa. Sungguh tak terbayangkan jika yang bersangkutan memegang kuasa pada jabatan tersebut, sudah pasti sumpah serapah kebun binatang kepada orang Indonesia akan berhamburan setiap saat.

Sikapnya sudah lampu merah sudah menyerempet SARA, yang bisa menimbulkan permusuhan antar etnis, ujungnya membahayakan disintegrasi bangsa. Terkait ini, Steven wajib diisi ulang cara ber-Indonesia-nya agar dia tidak menjadi lebih liar dan lebih ngawur lagi.

Indonesia sebagai negara hukum yang berdaulat, sudah sepatutnya mengambil tindakan hukum yang benar dan adil baginya. Sungguh tak masuk akal sehat, bila ada orang yang menjelekkan negaranya sendiri, kemudian didiamkan. Next time, kita lihat buktinya, apakah ada proses hukum !!

Waktu terus berjalan, ternyata belakangan ini muncul lagi pendatang baru yang jauh lebih sadis pernyataannya dalam medsos, dia adalah Nathan Suwanto. Warga Surabaya ini punya niat gila yang menakutkan, dimana ingin ikut urunan uang dengan khalayak untuk menyewa pembunuh bayaran yang akan menghabisi tokoh-tokoh kritis Islam, seperti Habib Riziq, Fadli Zon, Fahri Hamzah, Buni Yani, Fahira Idris, dkk. Betul-betul gila, mengerikan, arogan dan berani mengangkangi hukum di Indonesia dengan enteng secara terbuka menyatakan ingin membunuh orang lain.

Dalam suasana keterbatasan ekonomi, pengangguran dan ketimpangan sosial yang besar, bukan tidak mungkin ide gila itu disambut oleh orang-orang sumbu pendek demi memenuhi kebutuhan dan jalan keluar dari himpitan kemiskinannya. Apakah ulah ini akan didiamkan saja, jika ia sudah minta maaf? Seyogyanya tentu tidak !! Kecuali, bila yang bersangkutan terbukti punya kerusakan jiwa/mental, maka perlu segera dirujuk ke RS Gila untuk direhab kepribadiannya, diobati sampai sembuh total.

Tapi sebaliknya, bila ia sehat, segar-bugar dan waras, maka harus mempertanggungkan ulahnya secara hukum. Next time, kita lihat buktinya, apakah ada proses hukum !!
Mencermati kasus-kasus tsb di atas, maka muncul keanehan dan memerlukan kajian yang mendalam demi Indonesia yang damai dan berdaulat di bidang hukum. Apa itu ? Bila kita perhatikan perilaku arogan, sombong, kotor, kasar, egoistik, menantang hukum, sengaja atau kebetulan dilakukan oleh empat orang dari etnis yang sama, beragama sama dan berpendidikan tinggi (rata-rata Strata-1).

Menariknya lagi, mereka semua yang serba sama dan berpendidikan tinggi itu menyerang kepada kelompok/individu agama yang sama (Islam). Kalau ada kesamaan terus dianggap kebetulan, maka proses hukum tetap jalan demi wibawa NKRI yang berdasarkan hukum. Tapi bila perilaku itu dilakukan dengan cara sengaja oleh kelompok yang sama, agama yang sama dan menyerang kepada kelompok yang sama, maka perlu ada pencermatan yang mendalam. Kenapa bisa begini ? Siapa yang harus bertanggung jawab bila sudah main pada komunitas tertentu dan menyerang komunitas tertentu. Siapa dibalik ini, who is the beyonder in that case?

Semua ini harus segera diselesaikan dengan tuntas, bukan asal-asalan yang seperti dipraktekkan aparatur hukum selama ini. Riskan dan sangat berbahaya bagi kelangsungan hidup berbangsa dan berbegara Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan UUD’45. Bukan karena SARA, tapi memang mereka sudah berani melecehkan martabat orang lain, kebhinekaan, komunitas dan negara, bahkan kentara sekali begitu menganga potensi pelanggaran hukumnya. Mau apalagi ? Tegakkan hukum atau diamkan, tapi bangsa ini hancur. Next time, kita lihat buktinya, apakah ada proses hukum !!

Memang semua itu secara pribadi sudah dimaafkan korban, tapi demi tegaknya negara hukum yang sudah disepakati bersama, maka proses hukum wajib dilakukan terhadap siapapun dan sekecil apapun pelanggarannya. Sekali lagi ini bukan karena SARA, tapi demi tegaknya supremasi hukum dan praktek equlality before the law yang harus dihormati oleh semua anak bangsa.

Memang harus dimaklumi, terkadang niat baik menegakkan hukum sering ditanggapi miring dan enteng oleh kelompok tertentu. Bukankah itu sudah selesai dengan permintaan maaf? Betul secara pribadi hubungan antar manusia saling memaafkan, tapi terkait tindak pidana tetap harus diproses hukum. Kenapa ini penting?

Karena akan berdampak menguntungkan bagi semuanya, dimana individu yang bersangkutan akan takut mengulangi lagi perbuatannya dan bagi negara, kepastian hukum tetap terjaga marwahnya yang melindungi semua warga bangsa. Selain itu akan menghindari budaya rakyat bertindak semaunya seperti main hakim sendiri ala koboy dalam menyelesaikan masalah.

Duplicators Ahok yang serupa cuma beda gaya dan cara ini, diyakini tidak ujug-ujug muncul begitu saja, tapi karena ada faktor lain yang mempengaruhi dan bukan tak mungkin faktor Ahok yang selama ini bebas liar dalam tindak-tanduknya tanpa tersentuh hukum. Selama ini ulah buruknya selalu dilindungi dan dibela oleh Ahokers, pejabat negara, TNI, Polri dengan dalih hormati proses hukum. Merasa dia atas angin karena pendukung dan backing kuat, maka tak jarang suka mengulangi berbuat serupa yang kemudian menular diikuti yuniornya, Ernest, Steven dan Nathan.

Mencermati itu semua, jangan heran bila ke depan masih banyak muncul Ahok-Ahok baru yang kemungkinan besar akan tampil lebih sangar dan dahsyat lagi, jika tidak ada proses hukum yang benar dan adil bagi semua pelanggar hukum. Sesungguhnya Islam mengajarkan untuk membela kebenaran dan keadilan kepada siapapun tanpa memandang SARA, kemudian sejauh mungkin hindari bohong apalagi fitnah. Kalau memang berbuat salah, jujur mengakui dan memohon maaf.

Jangan minta maaf setelah dipaksa atau dituntut pihak lain. Sesungguhnya negara ini akan rukun dan damai jika salah nyatakan salah dan jika benar nayatakan benar. Jangan salah dibela mati-matian seolah benar dan yang benar disalahkan mati-matian seolah salah. Oleh karena itu tiap individu jadilah orang bijak dan tidak “telmi” dengan “berpikir dulu baru bertindak” dan “jangan bertindak dulu baru berpikir”. []

Facebook Comments Box