Konflik Antar Lembaga Negara di Republik Indonesia
Oleh: Despan Heryansyah, Peneliti pada Pusat Studi Hukum Konstitusi (PSHK) Fakultas Hukum UII dan Mahasiswa Program Doktor Fakultas Hukum UII YOGYAKARTA
Hak angket yang digulirkan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) beberapa hari lalu, menyisakan banyak persoalan.
Persoalan pertama setidaknya menyangkut keabsahan hak angket itu baik dari sisi formal prosedural maupun substansi materilnya. Secara formal prosedural dianggap cacat karena proses pembuatannya menggambarkan banyak kejanggalan, sedang secara substansial materil juga dinilai cacat karena dilakukan untuk mengintervensi penegakan hukum oleh KPK. P
adahal esensi hak angket adalah berkaitan dengan kebijakan pemerintah selaku lembaga eksekutif dan dalam rangka menjalankan fungsi pengawasan DPR. Di luar itu, dalam perspektif hukum tata negara konflik “kepentingan” antara DPR dan KPK dapat terjadi karena tidak adanya mekanisme penyelesaian konflik kepentingan antar lembaga negara dalam konstitusi Indonesaia.
Biasa Terjadi
Konflik kepentingan antar lembaga negara DPR dan KPK ini bukan yang pertama kali terjadi di Indonesia. Kita mencatat bahwa pernah terjadi konflik yang demikian panas antara Polri dan KPK hingga beberapa kali, kemudian antara KY dan MA, termasuk antara DPR dan DPD, yang terus terjadi begitu saja tanpa ada mekanisme penyelesaiannya karena memang UUD 1945 tidak mengaturnya.
Sebelum amandemen UUD 1945, posisi MPR sebagai lembaga tertinggi negara secara otomatis memberikan legal standing bagi MPR untuk menyelesaikan konflik kepentingan antar lembaga negara, namun pasca amandemen UUD 1945 kedudukan MPR disejajarkan dengan lembaga negara lain sehingga tidak lagi memiliki kewenangan menyelesaian konflik sebagaimana di atas.
Dalam Pasal 24C ayat (1) UUD, memang ditegaskan “Mahkamah Konstitusi memiliki kewenangan memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar”. Jadi saat ini memang telah ada MK yang memiliki kewenangan untuk menyelesaikan sengketa yang terjadi antar lembaga negara.
Namun sesuai dengan frasa dalam Pasal 24C ayat (1) tersebut, kewenangan MK sangat terbatas sifatnya, yaitu hanya untuk sengketa kewenangan saja dan kewenangan itupun harus diberikan oleh UUD.
Sementara yang selama ini terjadi bukanlah sengketa kewenangan, melainkan konflik kepentingan antar lembaga negara, dan lembaga negara itupun tidak mendapatkan kewenangan dari UUD, misalnya mengenai KPK yang kewenangannya tidak tercantum dalam UUD namun merupakan atribusi undang-undang.
Dalam hal demikian, konstitusi tidak mengatur sama sekali tentang proses penyelesaiannya. Oleh karena itu, setiap kali terjadi masalah yang serupa kita selalu menemui kebuntuan, akhirnya campur tangan presiden baik dengan mengeluarkan perpu atau peraturan presiden selalu menjadi solusi.
Hal ini memungkinkan jika konflik yang terjadi antara KPK dan Polri yang kedudukannya sama-sama di bawah presiden, namun jika keadaannya seperti saat ini yang melibatkan DPR dan KPK sementara kedudukan DPR sejajar dengan presiden tentu nomenklatur Perpu apalagi Perpres dapat saja ditolek oleh DPR.
Dalam pergumulan hukum tata negara nasional, konflik kepentingan antar lembaga negara sangat mungkin terjadi. Apalagi secara kelembagaan, DPR, DPD, dan Kepresiden adalah lembaga politik yang tentu saja tidak bebas dari pengaruh kepentingan, maka potensi konflik semakin terbuka lebar.
Jika hanya dibiarkan terjadi seperti yang selama ini terjadi, selain menguras energi yang seharusnya dapat diarahkan untuk kegiatan lain, juga dapat mengganggu stabilitas nasional yang memiliki dampak terhadap bidang-bidang yang lain.
Oleh karenanya, harus ada mekanisme penyelesaian konflik sekaligus memberikan kewenangan kepada lembaga negara tertentu untuk melakukannya. Pilihannya dapat saja diberikan kepada MK sebagai the guardians of consitution and the guardians of democracy atau kepada MPR dengan mengembalikan posisinya sebagai lembaga tertinggi negara.
Namun keduanya sama-sama memiliki dampak tersendiri terhadap perjalanan ketatanegaraan Indonesia ke depan, oleh karenanya harus dikaji secara mendalam lambaga negara mana yang paling tepat untuk diberikan kewenangan. []