Satya Sebut Polusi Udara Sudah sangat Mencemaskan

 Satya Sebut Polusi Udara Sudah sangat Mencemaskan

Satya Widya Yudha dalam Forum Air Quality Asia-World Bank High Level Strategy Session di markas United Nation Enviroment Programme (UNEP), New York, Selasa (16/5/2016) lalu.

NEW YORK, Lintasparlemen.com –Pencemaran di kota-kota besar negara Asia sudah mencapai tingkat yang mengkuatirkan. Buruknya kualitas udara tersebut menjadi ancaman serius bagi kesehatan masyarakat di negara-negara kawasan Asia, termasuk Indonesia. Harus ada langkah-langkah strategis untuk mengantisipasi semakin meluasnya dampak polusi udara.

Demikian paparan yang disampaikan Wakil Ketua Komisi VII DPR RI Satya Widya Yudha saat menjadi pembicara dalam Forum Air Quality Asia-World Bank High Level Strategy Session di markas United Nation Enviroment Programme (UNEP), New York, Selasa lalu (16/5).

Hadir pula dalam sesi tersebut antara lain Ibu Ina Krisnamuthi sebagai Wakil Kepala Perwakilan Tetap Pemerintah Indonesia di PBB, Deputy Director of UNEP Jamil Achmad, President and Convenor Air Quality Asia Shazia Rafi, Perwakilan dari Inter Parliament Union (IPU), Chairman US-Indonesia Chamber of Commerce Wayne Forest serta para perwakilan negara Asia dari China, Korea, Pakistan.

“WHO sendiri menyebutkan bahwa polusi udara merupakan kategori penyebab utama kematian yang dikarenakan penyakit kanker. Setidaknya ada 7 juta kematian dini secara global akibat buruknya kualitas udara seluruh dunia setiap tahunnya,” kata Satya.

“Di Asia Tenggara, setiap hari ada kasus lebih dari 700 orang meninggal akibat polusi udara. Bahkan di India sendiri, angka tersebut lebih dari 3.000 orang per hari. Bayangkan itu terjadi setiap tahun, sangat tragis,” sambung Satya.

Oleh sebab itu, terang Satya, harus ada upaya-upaya konkret yang dilakukan secara bersama-sama untuk mencegah dampak pencemaran udara yang semakin meluas. Peningkatan kualitas udara yang lebih bersih harus menjadi kebijakan global saat ini dalam rangka menekan angka kematian yang tinggi akibat polusi.

Satya yang juga merupakan salah satu Board Member¬ di Air Quality Asia (AQA) menggambarkan, betapa kualitas udara bagi negara-negara Asia menjadi aspek yang sangat penting di tengah pertumbuhan ekonomi kawasan yang cukup pesat.

Bahkan, tahun 2030 mendatang diprediksi bahwa kawasan Asia menjadi pusat pertumbuhan ekonomi global dengan lahirnya negara-negara berkembang Asia yang pertumbuhan ekonominya tinggi. India disebut-sebut akan menjadi ‘new China’ dengan pertumbuhan ekonominya sangat tinggi.

“Di tengah laju pertumbuhan ekonomi kawasan Asia yang meningkat, aspek kualitas udara menjadi sangat penting. Negara-negara kawasan tidak bisa mengabaikan begitu saja terhadap isu tersebut, karena ini sudah menjadi isu global. Pencemaran udara sangat mengkuatirkan bagi masa depan negara-negara yang sedang tumbuh ekonominya,” ungkap politisi Partai Golkar ini.

Satya menjelaskan, harus ada langkah-langkah konkret untuk mencegah dampak polusi semakian meluas. China misalnya, telah menganggarkan lebih dari 535 USD pada tahun 2012 untuk menangani polusi udara di sejumlah kota besarnya.

Begitupun India yang saat ini mulai membangun pembangkit litrik tenaga surya berkapasitas 130 MW, sehingga harga angina dan tenaga surya lebih murah dibanding batubara.

“Khusus di Asia Selatan, ada potensi 2,5 triliun USD untuk bisa dikembangkan di sektor transportasi dan properti berbasis energi bersih. Ini bisa menjadi contoh bagi negara-negara Asia lainnya, terutama Asia Tenggara,” bebernya.

Menurut​ Satya, dalam konteks Indonesia sebagai bagian dari kawasan Asia, tren pencemaran udara berbeda dengan negara-negara Asia lain seperti India dan China. Jika di dua negara tersebut pencemaran udara lebih banyak dari dampak polusi industri, maka di Indonesia 90% polusi udara berasal dari gas buang transportasi darat.

Pemerintah Indonesia harus mulai melakukan langkah-langkah strategis untuk mengantisipasi dampak polusi udara. Seperti membangun pendeteksi baku mutu PM2.5 di 45 kota besar yang sesuai dengan standar WHO. Saat ini, baru di Jakarta, Bandung dan Bogor yang menerapkan baku mutu PM2.5.

“Energi bersih sudah menjadi kebutuhan, ke depan Indonesia harus benar-benar terbebas dari penggunaan BBM berkadar emisi tinggi. Harus mulai diterapkan konversi dari BBM standar Euro 2 ke Euro 4 yang wajib bagi kendaraan bermotor di Indonesia. Selain itu, realisasi konversi BBM ke BBG juga harus diterapkan secara konsisten,” pungkas Satya. (AGUNG)

Facebook Comments Box