Pancasila Melawan Warisan Kolonial
Oleh : Moh. Nizar Zahro, Ketua Umum Pengurus Pusat Satuan Relawan Indonesia Raya (PP Satria) & Anggota Komisi V DPR RI Fraksi Partai Gerindra
Maraknya pertentangan antar warga negara yang berbeda agama dan etnis baik di media sosial maupun dalam secara langsung dalam kehidupan nyata, yang terjadi hari – hari ini, merupakan ancaman terhadap kerukunan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Karena itu, hari lahir pancasila tanggal 1 Juni ini, hendaknya tidak hanya dijadikan sebagai momentum seremonial belaka. Melainkan, harus disemai dan dilestarikan kepada seluruh anak bangsa.
Pancasila sendiri pada dasarnya menyemai nilai – nilai agung. Sebagai dasar Negara, Ia menghormati perbedaan agama yang tercantum dalam sila pertama. Memanusiakan manusia sebagaimana termaktub dalam sila kedua. Mengintegrasikan keanekaragaman etnis dan budaya yang tersirat dalam sila persatuan Indonesia. Mempraktekkan demokrasi permusyawaratan, bukan demokrasi barbar maupun liberal.
Dan terakhir, menegaskan keadilan bersama untuk seluruh rakyat Indonesia, bukan untuk satu kelompok saja.
Hanya saja, nilai – nilai agung dalam pancasila tersebut, belum sepenuhnya membumi di tanah nusantara dan dalam jiwa raga masyarakatnya. Sebab, mental – mental lama yang merupakan warisan kolonial belum sepenuhnya pudar.
Apa itu mental kolonial yang belum pudar sehingga menghambat tersemainya nilai – nilai pancasila? Ia adalah mental produksi kolonialisme yang diwariskan penjajah pada kita semua. Bentuknya bisa berupa Divide Et Impera (politik pecah belah) maupun Cultur Stelsel (tanam paksa).
Divide Et Impera
Indonesia sebagai negara postkolonial, ternyata masih kesulitan untuk menghilangkan peyakit Divide Et Impera (politik pecah belah).
Dalam sejarahnya, aplikasi dari politik pecah belah yang dilakukan oleh Belanda, dapat dilihat dari kontruksi aturan Staatsregeling No. 163 IS/1854 yang membagi populasi Hindia menjadi tiga lapisan (Eropa, Timur jauh meliputi Cina, India – arab dan Pribumi). Dampak dari kontruksi social ini terdapat perlakukan berbeda dari sisi hukum, pendidikan dan politik di masa lampau.
Kontruksi sosial berbeda yang berdampak negative ini, kembali mengemuka. Renkarnasi penyakitnya menemukan momentum dalam Pilkada DKI Jakarta. Ada hujatan terhadap salah satu ayat dalam Al – Qur’an dan kemudian direspon oleh umat Islam.
Respon umat Islam teraktualisasikan dengan gerakan demonstrasi 212, yang kemudian juga direspon dengan Demonstrasi 412. Dua gerakan yang seakan – akan membenturkan Islam dengan Pancasila. Seakan – akan, ada yang mengkontruksi bahwa Islam bertentangan dengan Pancasila.
Tak pelak hal tersebut mencerminkan ada yang sedang memainkan cara berpolitik penjajah, politik pecah belah. Padahal sejatinya, antara pancasila dengan islam, bisa berjalan beriringan. Sebab, pancasila mencerminkan ajaran – ajaran Islam. Dalam bahasa Nur Kholis Majid, Pancasila merupakan kalimatun Sawa’.
Dianalogikannya seperti Piagam Madinah yang menjadi dasar bagi Nabi Muhammad untuk membentuk Masyarakat madani sehingga tercipta Baldatun Toyyibatun Wa Rabbun Ghafur.
Karena itulah, upaya untuk memecah belah bangsa ini merupakan musuh utama yang harus dilawan bersama – sama. Apalagi hadirnya Pancasila yang memuat sila persatuan Indonesia, jelas merupakan antitesa dari kontruksi sosial produk penjajah Belanda yang membeda – bedakan manusia untuk melemahkan soliditas seluruh warga negara.
Cultur Stelsel
Sementara itu, Cultur Stelsel lebih dikenal sebagai tanam paksa. Kebutuhan akan rempah – rempah dan bahan mentah pertanian lainnya, memaksa penjajah kolonial memberlakukan system ekonomi semacam ini. Para petani berubah menjadi buruh kolonial. Khususnya, bagi petani miskin yang tidak memiliki alat produksi seperti tanah atau lahan pertanian.
Sistem cultur stelsel, saat ini bermetamorfosis menjadi sistem kapitalis yang kejam dan mencengkram kaum miskin. Warga miskin menjadi buruh yang diperah agar kekayaan terakumulasi kepada mereka yang memiliki alat produksi.
Sehingga, tidak mengherankan bila indeks rasio gini yang ada di Indonesia semakin jomplang antara si kaya dan si miskin. Berdasarkan laporan lembaga Oxfam, harta total empat orang terkaya di Indonesia, yang tercatat sebesar 25 Miliar dolar AS, setara dengan gabungan kekayaan 100 juta orang termiskin.
Kensenjangan ini, seakan-akan membenarkan bahwa bangsa ini menanut sistem ekonomi kapitalis yang begitu memuja laissez – faire. Dalam Sebab rezim laissez – faire selalu berargumen bahwa kesenjangan kekayaan diperlukan untuk mendanai investasi dalam masyarakat.
Argumen yang kiranya menyesatkan bila dibandingkan dengan konsep ekonomi pancasila yang digagas oleh Mohammad Hatta. Sebab ekonomi yang digagasnya bukanlah didasarkan pada sifat individualitis. Melainkan pada sikap kekeluargaan dan kebersamaan.
Gotong Royong
Untuk melawan warisan kolonial berupa Divide Et Impera dan Culture Stelsel dalam bentuknya saat ini yang kapitalistik, budaya gotong royong harus kembali ditumbuhkan sesuai dengan semangat pancasila. Dengan jalan politik gotong royong berupa bahu membahu dalam kekeluargaan dan kebersamaan, bangsa Indonesia akan kuat. Demikian pula, dengan bentuk ekonomi gotong royong, warga Negara akan mencapai kesejahteraannya.
Karena itu, keanekaragaman budaya, etnis dan agama yang ada di Indonesia bukanlah musibah. Perbedaan itu sebuah anugerah. Melestarikan keanekaragaman dan kearifan lokal dengan semangat gotong royong merupakan keharusan di era globalisasi.
Sebab, kearifan lokal bisa menjadi jatidiri dan identitas bangsa ini, yang membedakan dengan negara – negara lain.
Apalagi bangsa ini, tidak bisa dibangun dengan kondisi yang masyarakatnya terpecah belah. Tidak bisa bahagia karena jomplangnya kekayaan antar warga negaranya. Semua warganegara harus menekan ego serta kepentingannya masing – masing dan membudayakan ekonomi – politik gotong royong yang bertumpu pada semangat pancasila.
Jalan gotong royong sudah membuat bangsa Indonesia merdeka. Karena itulah, sudah semestinya dengan semangat gotong royong pula, kita harus mengisi kemerdekaan Indonesia. Semoga !