Di Tengah Gelombang Wacana Pengurangan Anggota DPD RI
Oleh: Despan Heryansyah, SHI., MH, Mahasiswa Program Doktor Fakultas Hukum UII YOGYAKARTA dan Peneliti pada Pusat Studi Hukum Konstitusi (PSHK) Fakultas Hukum UII
Rapat Panitia Khusus (Pansus) pembentuk undang-undang Pemilu beberapa waktu lalu sempat muncul dua wacana yang cukup kontroversial, yaitu mengenai wacana penambahan anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan pengurangan Dewan Perwakilan Daerah (DPD).
Serentak keduanya mendapatkan penolakan dari berbagai kalangan ahli maupun praktisi, karena dianggap sarat akan kepentingan dan ego sektoral beberapa anggota DPR saja. Penambahan anggota DPR, meski rasio 560 orang anggota DPR dianggap belum berimbang dibanding dengan jumlah penduduk Indonesia yang mencapai 250 juta jiwa, bukanlah pilihan tepat ditengah kondisi perekonomian yang selalu defisit anggaran, ditambah kemelut DPR yang pada tahun lalu mendapat predikat lembaga terkorup.
Pertanyaan mendasar yang patut diajukan adalah wacana penambahan anggota DPR tersebut kepentingan siapa? Rakyat atau bukan?
Sedangkan wacana pengurangan anggota DPD juga muncul dari DPR, Beni K Harman pada Senin 22 Mei lalu menyatakan pengurangan anggota DPD dikarenakan efektivitas dan efisiensi kinerja DPD yang dianggap masih rendah. Atas pendapat ini, rasanya semua pihak (kecuali anggota DPD) akan setuju bahwa sejauh ini kinerja DPD masih rendah.
Hampir tidak ada penghargaan yang patut diberikan kepada wakil rakyat ini pasca 2 windu sejak pembentukkannya. Namun tepatkah masalah ini diatasi dengan pengurangan jumlah anggota DPD? Pepatah lama mengingatkan, jika ingin menumpas tikus jangan bakar lumbungnya, tapi cukup tangkap tikusnya. Ada beberapa hal yang kiranya patut menjadi pertimbangan bersama.
Pertama, sejak semula pembentukkan DPD dimaksudkan sebagai penyeimbang keberadaan DPR dalam pembentukan dan perubahan UUD N RI Tahun 1945 dan dianggap sebagai gantu Utusan Golongan yang pada amandemen UUD 1945 telah dihapuskan.
Jadi, pembentukan DPD memang tidak dimaksudkan untuk ikut serta dalam urusan pemerintahan dan pembuatan undang-undang seperti halnya DPR, namun hanya terfokus pada perubahan konstitusi saja. Wewenang ini sudah digunakan oleh DPD sejak tahun 2005 lalu, DPD sudah mengajukan draft perubahan UUD 1945 terhadap DPR, namun sampai hari ini usul perubahan UUD tersebut belum disetujui.
Hal ini karena perubahan UUD membutuhkan political will tidak saja dari DPD namun juga dari DPR, sementara jumlah anggota DPD jauh lebih sedikit dibanding jumlah anggota DPR, yaitu 132 berbanding 560. Setiap kali ada usul perubahan UUD 1945, DPR selalu menolak.
Kedua, kewenangan yang diberikan kepada DPD relatif sangat terbatas, sehingga menjadikan DPD tidak dapat berbuat banyak dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Saat ini kewenangan DPD dalam pembentukan undang-undang hanya pada undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan SDA dan sumber daya ekonomi lainnya yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah.
Kewenangan itu terbatas pada pengajuan Rancangan Undang-Undang (RUU) dan pemberian pertimbangan saja, sedangkan dalam pengambilan keputusan DPD tidak dilibatkan, hal ini mutlak menjadi kewenangan DPR. Di sisi lain, kewenangan pengawasan terhadap pelaksanaan UU, DPD memang diberikan kewenangan untuk itu, namun hasil pengawasan dari DPD harus diserahkan kepada DPR dan DPR lah yang menindaklanjuti.
Dua kondisi itu yang saat ini terjadi dan membayang-bayangi DPD antara hidup atau mati. Jika pernyataan Beni K. Harman itu adalah sebuh kritik, maka sudah sepatutnya agar kita bersama-sama memikirkan kembali desain ketataanegaraan Indonesia ke depan. Jangan sampai ada lembaga negara yang setiap tahun mendapatkan kucuran anggaran APBN, namun tidak memiliki penanan penting dalam mewujudkan tujuan bangsa. []