Pilih Rektor, DPR Sebut Presiden Hilangkan Demokrasi dan Kemandirian Kampus

 Pilih Rektor, DPR Sebut Presiden Hilangkan Demokrasi dan Kemandirian Kampus

Wakil Ketua Komisi X DPR RI dari Fraksi PKS Abdul Fikri Faqih

JAKARTA, Wakil Ketua Komisi X DPR RI Abdul Fikri Faqih angkat suara terkait polemik wacana pengangkatan rektor di perguruan tinggi yang dipilih langsung oleh presiden. Fikri mengusulkan, sebaiknya presiden jangan terlalu ikut campur pada urusan internal lembaga pendidikan di Indonesia.

Menurut Fikri, pemerintah sejatinya memberikan urusan berdemokrasi terkait pemilihan rektor kepada lembaga pendidikan tinggi untuk menentukan pemimpinnya. Karena pemilihan rektor adalah salah satu proses pendidikan yang sedang berlangsung di internal perguruan tinggi.

“Kita melihatnya, pemerintah menyerahkan urusan seperti ini ke internal perguruan tinggi saja, tak usah mereka mengurus hal-hal seperti ini. Sebaiknya presiden memberikan kepercayaan tinggi pada perguruan tinggi dengan mandiri agar mereka memilih rektornya,” ujar Fikri saat dihubungi lintasparlemen.com, Jumat (2/6/2017).

Politisi PKS ini menyampaikan, perguruan tinggi itu lembaga intelektual yang harus diberi ruang menentukan nasibnya sendiri secara mandiri. Tujuannya, kata Fikri, agar perguruan tinggi bisa mengkonsolidasikan kehidupan mereka yang lebih demokrasi di kampus.

“Kita ingin agar kampus yang ada di Indonesia lebih mandiri dan lebih bebas menentukan nasib mereka. Kita tak ingin hanya pada tataran teori mereka unggul, tapi pada penerapan ilmu dari teori yang dipelajari mereka juga unggul dan mandiri,” terang Fikri.

Seperti diberitakan sebelumnya, Tjahjo Kumolo menjelaskan kepada media terkait wacana pemilihan rektor di perguruan tinggi yang dikonsultasikan terlebih dahulu ke presiden. Alasannya, rektor memiliki jabatan strategis dan sangat berpengaruh terhadap proses pembelajaran mahasiswa, termasuk penanaman ideologi.

Menurut Cahyo, sama seperti pejabat eselon I dan Sekda Provinsi, nama-nama calon akan dikonsultasikan kepada tim penilai akhir (TPA). Baru kemudian pejabat eselon I dan Sekda Provinsi akan dikonsultasikan kepada TPA yang dipimpin presiden. Hal yang sama diusulkan untuk diterapkan pada pemilihan rektor.

“Sejauh ini ada masalah terkait konsolidasi kehidupan berdemokrasi di kalangan civitas akademika di perguruan tinggi. Ada regulasi pemilihan rektor, sekitar 30 persen dalam proses pemilihan menjadi hak Menristekdikti. Mirisnya, orang yang terpilih secara demokrasi yang memperoleh suara tertinggi di ajang pemilihan rektor secara internal, tidak terpilih karena tidak mendapat dukungan menteri,” papar alumni PII ini.

“Maka kami melihatnya, setelah diambil alihnya oleh presiden pemilihan rektor, alih-alih menghentikan kemelut di internal perguruan tinggi. Malah membuat semakin runyam dengan birokrasi menjadi semakin panjang sampai ke presiden,” sambungnya.

Sementara politisi Dapil Jawa Tengah IX ini mengungkapkan, kemelut internal kampus belum juga diselesaikan oleh pihak Kemenristekdikti. Bagaimana persoalan pemilihan rektor atas campur tangan presiden bisa diselesaikan dengan cepat? (HMS)

Facebook Comments Box