Darurat Reformasi, Pelurusan Sejarah Reformasi
Oleh: Bernard Ali Mumbang Haloho, Ketua Umum Rumah Gerakan 98
Sembilan belas tahun Reformasi berjalan, sepanjang itu pula kita membiarkan reformasi dibajak. Para tokoh mahasiswa yang dulu mempelopori Gerakan Reformasi 98, dengan lugu dan polosnya telah membiarkan jalan reformasi dibajak dan diklaim sepihak.
Slogan gerakan moral yang didengungkan oleh para mahasiswa membuat mahasiswa saat itu lalai untuk menjaga laju reformasi. Saat itu, banyak yang merasa cukup saat BJ Habibie yang dianggap sebagai bagian Orde Baru yang tersisa bisa dipaksa turun.
Absennya mahasiswa dalam proses politik pasca reformasi, lantas ditingkahi dengan tidak berjalannya agenda reformasi. Reformasi telah dibajak, sayangnya publik kini justru mengkambinghitamkan mahasiswa yang kala itu menggelorakan reformasi.
Padahal, para mahasiswa umumnya kembali ke kampus dan enggan untuk berpartisipasi aktif dalan gerakan politik. Hasilnya, dunia politik hiruk pikuk oleh orang-orang tua yang mengklaim sebagai Tokoh Reformasi.
Bahkan secara sepihak ada yang mengklaim diri sebagai Bapak Reformasi. Sebuah julukan yang entah ditahbiskan oleh siapa, hingga kini melekat pada sosok Prof. DR. Amien Rais. Dalam lini masa Reformasi, sejak Mei 1998 hingga MPR menolak Laporan pertanggungjawaban BJ Habibie sebagai presiden tidak terlihat peran Amien Rais.
Kecuali, dalam beberapa kesempatan mencoba mencuri momen secara manipulatif. Para Mahasiswa yang melakukan pendudukan gelombang kedua tanggal 18 Mei 1998, tentunya tidak lupa bagaimana Amien Rais dan kelompoknya mencoba mencuri panggung di pagi hari saat Mahasiswa sedang konsolidasi. Aksi ini lantas mendorong sejumlah mahasiswa menyeretnya turun dari panggung.
Belum selesai di situ, tanggal 19 Mei 1998 malam di Menteng, Amien Rais tiba-tiba menyerukan agar mahasiswa yang tengah menduduki DPR turut bersamanya dalam Aksi 1 Juta Orang Kepung Istana.
Aksi yang kemudian gembos karena mahasiswa tidak mau meninggalkan DPR, sekaligus membuktikan klaim 1 juta peserta aksi ada omong kosong.
Insting polos mahasiswa terbukti, tanggal 21 Mei 1998, Suharto melepas jabatan sebagai presiden sebagai akibat tekanan Mahasiswa yang masih menduduki DPR. Selepas itu, Mahasiswa tetap mendorong reformasi total dengan menolak BJ Habibie menggantikan Suharto, sebab Habibie masih dalam paket Orde Baru.
Amien Rais kemudian terbukti mendukung Habibie dan berposisi berhadapan dengan Mahasiswa. Bahkan, menuding Komite Rakyat Indonesia yang merupakan konsep pemerintah transisi usulan Gerakan Mahasiswa yang tergabung dalam Forum Kota sebagai adaptasi konsep People Council Sovyet.
Pernyataan KRI sama dengan People Council Sovyet itu telah membangun di publik seolah-olah kami ini gerakan komunis. Itu merupakan stigmatisasi yang sangat mengganggu konsolidasi Gerakan Mahasiswa saat itu.
Selanjutnya, Amien Rais menikmati kemewahan sebagai Bapak Reformasi yang merupakan klaim sepihak. Klaim yang mengantarkannya menjadi Ketua MPR yang kemudian produk-produk hukumnya termasuk amandemen terhadap UUD 1945 kuat cita rasa liberalisasi.
Kini, publik kembali dipaksa untuk mengingat dan mengamini status Bapak Reformasi. Bahkan, oleh pendukungnya, status Bapak Reformasi dipersamakan dengan status maksum yang dimiliki Nabi Muhammad.
Di saat Amien Rais tersenggol isyu korupsi, tiba-tiba para opendukungnya menisbatkan kalau Bapak Reformasi tidak mungkin korups hanya karena dia seorang “Bapak Reformasi” seraya menyerang Komisi Pemberantasan Korupsi sebagai agen penerima pesanan pihak tertentu.
Nama Amien Rais tersebut dalam surat tuntutan terdakwa Siti Fadilah Supari mantan Menteri Kesehatan dalam sidang perkara dugaan korupsi proyek pengadaan alat kesehatan.
Dalam surat tuntutan tersebut, jaksa menyebut berdasarkan fakta persidangan Amien Raies menerima dana Rp 600 juta dalam enam kali transfer dana dari Sutrisno Bachir Foundation yang uangnya diduga berasal dari tindak pidana tersebut.
Para pendukung Amien Rais pun menyampaikan insinuasi kepada KPK dengan menyatakan akan terjadi potensi konflik horizontal jika Amien Rais diproses hukum oleh KPK. Pernyataan ini sungguh mengecewakan sekaligus memalukan, mengingat ini disampaikan oleh pendukung Amien Rais dari kalangan intelektual di tengah upaya negara dan masyarakat menyerukan kehidupan berbangsa yang rukun.
Berangkat dari fakta dan keadaan di atas kami dari rumah gerakan 98 menyampaikan sikap sebagai berikut:
1. Menolak julukan Bapak Reformasi disematkan kepada siapapun, sebab kami menyadari gerakan reformasi merupakan gerakan rakyat yang dipelopori mahasiswa sebagai lokomotifnya;
2.Menyarankan kepada Amien Rais agar memberi contoh untuk tunduk kepada hukum sebagaimana warga negara lain yang berkedudukan sama di muka hukum untuk mengklarifikasi fakta persidangan di forum persidangan bukan di tempat lain;
3. Mendesak Komisi Pemberantasan Korupsi untuk mendalami dan memproses Prof. DR Amien Rais yang menerima dana sebesar Rp 600 juta diduga merupakan dana hasil korupsi proyek pengadaan alat kesehatan;
4. Menyerukan kepada semua tokoh dan elemen masyarakat agar menjaga KPK sebagai institusi anak kandung reformasi dalam pemberantasan korupsi dari intimidasi oleh tokoh politik/kelompok yang menolak tunduk pada penegakkan hukum/proses epradilan yang sedang terjadi;
5. Mengajak seluruh tokoh dan masyarakat Indonesia untuk mendukung segenap proses pemberantasan korupsi dan menolak opini pemberantasan korupsi dapat memicu konflik horisontal. []