Berikut 4 Alasan Wajib Tolak Belajar 40 Jam Per Pekan

JAKARTA – Ketua Umum Ikatan Alumni Universitas Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta Syaiful Bahri Anshori tidak sepakat dengan kebijakan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Muhadjir Effendy akan menerapkan kebijakan baru terkait dengan jam belajar di sekolah. Kebijakan belajar 40 jam rencana berlaku mulai tahun ajaran baru tahun 2017 ini.

Syaiful keberatan dengan kebijakan Menteri Muhadjir yang akan memperlakukan waktu belajar-mengajar di sekolah akan berlangsung dari Senin hingga Jumat dan Sabtu-Ahad diliburkan. Alasan pemerintah terapkan pola itu, karena di hari Senin hingga Jumat proses belajar-mengajar sudah mencapai waktu 40 jam dalam waktu sepekan.

“Keinginan pemerintah/manteri pendidikan Muhadjir yang akan menerapkan peserta didik belajar 40 jam dalam seminggu dengan 5 hari full dalam seminggu harus dipertimbangkan matang-matang. Jangan sampai dengan peraturan itu ada masyarakat atau peserta didik yang dirugikan karena biasanya anak sekolah di desa-desa selepas sekolah mereka membantu keluarga di sawah atau di ladang,” jelas Syaiful pada lintasparlemen.com, Sabtu (9/6/2017).

“Untuk itu, saya menyimpulkan bahwa keputusan untuk menerapkan 5 hari full dalam seminggu perlu dikaji ulang dan dipertimbangkan untuk ditunda. Kedua, Kementerian Pendidikan harus mendengar dan menampung keinginan masyarakat yang terkena dampak dari kebijakan itu,” sambung Syaiful.

Syaiful yang juga Sekjen Majelis Syuro DPP Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) ini menilai, pemerintah perlu mendengarkan aspirasi masyarakat atau pengamat pendidikan. Karena bisa saja kebijakan itu tidak cocok diterapkan di seluruh wilayah di Indonesia.

“Mungkin tujuan pemerintah untuk menerapkan sistem itu sangat baik, tapi belum tentu cocok untuk diterapkan di suatu daerah tertentu termasuk di kampung-kampung,” ujar Anggota Komisi I DPR RI ini.

Alasan ketiga, lanjutnya, jika pemerintah tetap memaksakan peraturan tersebut diberlakukan sebaiknya menggunakan cara pilot project.

Itu artinya perlu dilakukan uji coba di sejumlah daerah yang bisa berjalan sukses, sembari pemerintah mensosialisakan dengan berdialog dengan semua steakholder. Dengan demikian, kata Syaiful peraturan tersebut ketika diterapkan secara nasional tidak ada gejolak di masyarakat.

“Alasan keempat, janganlan masyarakat hanya dijadikan obyek dari peraturan tapi masyarakat harus dilibatkan, subyek peraturan. Karena yang merasakan dari dampak negatif dari peraturan itu, adalah masyarakat juga. Jangan warga jadi korban,” pungkas Syaiful. (HMS)

Facebook Comments Box