Begini Maunya Ketua Pansus KPK DPR Terkait Anti Rasuah di Indonesia

 Begini Maunya Ketua Pansus KPK DPR Terkait Anti Rasuah di Indonesia

Ketua Pansus Hak Angket KPK dari Fraksi Golkar Agun Gunadjar Sudarsa

JAKARTA –  DALAM 15 tahun terbentuknya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dengan segudang kewenangan dimiliki anti rasuah itu. Siapa yang bisa menjamin kewenangan penyadapan KPK tidak eksploitatif? Siapa yang bisa tahu KPK tidak menyadap semua pihak tanpa ada dasar dugaan awal? Siapa yang bisa memastikan kalau KPK tidak menyadap semua pihak, karena KPK ingin melihat yang diinginkan? Saat ini bangsa Indonesia telah telanjang di hadapan KPK.

Pertanyaan itu disampaikan Ketua Pansus KPK DPR RI Agun Gunandjar Sudarsa terkait kinerja KPK 15 tahun belakangan ini sejak tahun 2002 terbentuknya sebagai anti rasuah. Agun agar peran dan kewenangan KPK dalam memberantas korupsi di Indonesia kembali ke landasannya.

Yang menjadi pertanyaan publik kemudian, setelah ada hasil penyadapan yang dimiliki pihak KPK, maka nilai informasi itu menjadi ‘mahal’. Lalu apa yang dilakukan KPK kemudian? Apa berkoordinasi dengan Polri dan Kejaksaan? Atau jalan sendiri?

“Selain penindakan itu, kita juga perlu melihat juga bagaimana politik (keberpihakan negara) dalam pencegahan korupsi. Kenapa pencegahan? Karena mencegah jelas lebih baik dari mengobati,” kata Agun seperti dikutip pada web site pribadnya, http://kangagun.com/.

“Kita bicara tentang membangun sistem pencegahan korupsi yang checks and balances karena Indonesia adalah negara hukum yang demokratis. Itulah sebabnya KPK lahir dari mandat reformasi dikonsepkan sebagai trigger mechanism, yaitu pihak yang memberdayakan Polri dan Kejaksaan agar kembali on the track (koordinasi dan supervisi). Lalu selama 15 tahun KPK eksis apakah sistem pencegahan korupsi yang sudah dibuat KPK bersama Polri dan Kejaksaan? kenapa sampai muncul cicak vs buaya? Pertanyaan inilah yang sesungguhnya harus sama-sama mulai dibuka ke publik, didiskusikan dan dikerjakan pembenahannya bersama-sama,” papar Agun.

Sebagai polisi Golkar, ia ingin agar praktek pemberantasan korupsi, praktek penegakkan hukum korupsi tetap dapat terukur dan transparan sesuai UU yang berlaku. Khususnya,  UU terkait yang ada dalam KUHAP dan HAM sebagaimana yang amanat oleh UUD 1945.

Ia menyampaikan, publik selalu ‘dikondisikan’ pada dua pilihan, mendukung atau tidak mendukung KPK. Pihak yang tidak mendukung itu, dikonotasikan pro koruptor. Padahal, inti persoalan korupsi di Indonesia bukan tentang dukung-mendukung tetapi evaluasi terhadap KPK setelah diberi kesempatan 15 tahun memberantas korupsi dengan segala fasilitasnya. Apa selama 15 tahun itu ada dampak bagi kualitas kehidupan bangsa? Apa sudah ada sistem yang efektif telah dibangun oleh KPK?

Dalam demokrasi ‘power tends to corrupt, absolute power corrupt absolutely’. Indonesia merupakan negara hukum yang demokratis, KPK yang ada di Indonesia sebagai lembaga penegak hukum pun harus mendapatkan pengawasan yang cukup dari lembaga lain. Sehingga ada  keseimbangan pemerintahan atau dikenal checks and balances di antara instrumen negara ini.

“Bagi kami, tidak mungkin KPK dalam melaksanakan kewenangannya dilepas begitu saja. Ini agar tidak abuse of power, agar terwujudnya checks and balances dalam penegakan hukum di Indonesia. Itu yang kita ingin,” ujar Agun kelahiran Bandung ini.

Alasan itu, sehingga Agun terus mendorong KPK agar melakukan tugasnya sesuai UU. Kita ingin KPK diposisikan tidak lagi ‘suci’ seperti malaikat untuk di kritik atau dievaluasi kinerjanya.

“Kami di Pansus Hak Angket KPK sangat terbuka, baik pemikiran pro dan kontra kita tampung. Sebagai contoh, hari Jumat 7 Juli 2017 lalu, ada kelompok masyarakat dari komunitas akademisi universitaas Ibnu Chuldun dan juga BEM mahasiswa UI, ITB dan IPB yang kontra dengan kami. Tapi kita diterima semua,” kata Agun yang juga alumni aktivis HMI ini.

Untuk itu, lanjut Agun, ke depannya bangsa Indonesia harus tetap bersemangat untuk memperbaiki dan menghormati atar lembaga kelembagaan sesuai tupoksi (Tugas Pokok dan Fungsi) kita masing masing. Bukan saling menyerang, apalagi melecehkan.

“Dan marilah kita saling menjalankan serta hargai tupoksi kita masing masing secara mandiri dan independen berdasarkan peraturan yang ada tanpa rasa iri dan dengki, apalagi balas dendam,” terang Agun.

 

Ia mengungkapkan, publik sebagai pemilik kedaulatan yang perlu hormati dan jangan di mobilisasi apalagi diprovokasi untuk menggiring opini seolah lembaga yang satu paling bersih dan lembaga yang lain lain sangat kotor, bahkan tak ‘diperlukan’ diperlukan meski kedudukannya kuat dalam konstitusi kita.

“Publik ada mereka merupak subjek negara yang wajib dibangun jiwanya, bangun badannya. Tapi, masyarakat bukan dijadikan objek dengan dipancing, diprovokasi atau giring sana-sini lewat opini. Dan kita sebagai penyelenggara negara, wajib mencerdaskan kehidupan bangsa, melalui budaya dialog terbuka transparan sesuai tupoksi kita,” papar Agun. (HMS)

Facebook Comments Box