Advocat Muda Indonesia: Perppu Ormas Bagaikan Bom Waktu Berkendali
JAKARTA – ADVOCAT Muda Indonesia berencana akan melakukan uji materi atau judicial review terkait keputusan pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2017 Tentang Ormas.
Melalui Ketua Dewan Pembina Advocat Muda Indonesia Djafar Ruliansyah Lubis, SH, MH mengatakan Perppu yang telah ditetapkan oleh Presiden Joko Widodo 10 Juli 2017 lalu itu, bagaikan “Bom Waktu Berkendali” terhadap hak politik rakyat yang tidak hanya berimplikasi pada pembubaran organ masyarakat.
Namun juga, lanjut Djafar, Perppu itu berpotensi mengkriminalkan anggotanya baik yang langsung maupun yang tidak langsung melakukan perbuatan yang dilarang dalam Perppu.
“Bagaimana tidak, Pasal 82A Perppu itu menyatakan bahwa “Setiap orang yang menjadi anggota dan/atau pengurus Ormas yang dengan sengaja dan secara langsung atau tidak langsung menganut paham yang bertentangan dengan Pancasila dan melanggar ketentuan Pasal 59 ayat (4) dapat “dipidana seumur hidup atau pidana penjara penjara paling singkat 5 (lima tahun) dan paling lama 20 (dua puluh) tahun,” kutip Djafar seperti tertuang dalam Perppu Ormas itu, Sabtu (15/7/2017).
Menurut Djafar, hal ini jelas-jelas bertentangan dengan Konstitusi RI yakni UUD 1945 yang telah memberikan jaminan bagi kemerdekaan berserikat dan berkumpul sebagai salah satu hak asasi yang diakui secara universal.
Bahkan, lanjut Mantan Ketua Umum Persatuan Advocat Muda Indonesia, ini bahwa hak menyatakan pendapat secara lisan dan tulisan juga menjadi salah satu yang dijamin hak konstitusionalnya sejak era kemerdekaan RI.
“Oleh karena itu, jika Perppu dimaksud dibiarkan saja, maka “bom waktu” ini tidak hanya akan mematikan Ormas yang belakangan menjadi hot issue saja, tapi akan juga entitas lainnya yang diinisiasi oleh warga negara, bahkan termasuk Ormas yang menggunakan Pancasila sebagai nama organisasinya,” paparnya.
Alumni aktivis HMI ini menjelaskan, Perppu ini membuka peluang kepada Pemerintah untuk bertindak semena-mena dengan membubarkan Ormas yang secara subyektif. Khususnya Ormas yang dianggap Pemerintah bertentangan dengan Pancasila, tanpa melalui mekanisme proses peradilan.
“Ini sama artinya dengan kemunduran konstitusi terhadap demokrasi di tanah air, jauh sebelum ide reformasi terpikir oleh mahasiswa,” ujarnya.
Atas dasar itu, pihaknya dari Lembaga Studi Hukum Advocat Muda Indonesia menyatakan bahwa Perppu No. 2 Tahun 2017 bertentangan dengan Konstitusi RI dan mengancam kehidupan demokrasi di Indonesia.
Berikut pernyataan mereka yang didasarkan pada berikut:
1. Penerbitan Perppu No. 2 Tahun 2017 harus dibentuk berdasarkan Pasal 22 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 dan mengacu kepada Putusan MK Nomor 138/PUU-VII/2009. Dalam hal ini, Perppu tersebut tidak memiliki urgensi untuk dibentuk karena tidak ada kegentingan yang memaksa sehingga Presiden perlu menerbitkan Perppu tentang Ormas.
2. Substansi Perppu ini sangat berbahaya bagi kehidupan demokrasi di Indonesia. Karena membatasi hak berserikat dan berkumpul bagi warga negara. Potensi Perppu ini dapat menimbulkan pemimpin yang otoriter, yang tidak menginginkan check and balance, karena proses pembubaran Ormas tidak melalui suatu proses hukum di lembaga peradilan.
Pemerintah juga harus dibiasakan diri dalam membentuk norma yang menerapan sanksi pidana, tidak boleh tanpa adanya persetujuan dari lembaga perwakilan. Kita akan setback jauh ke masa lampau manakala membiarkan organ eksekutif menerapkan sanksi pidana dan memenjarakan warga negara tanpa consent dari cabang kekuasaan negara lainnya.
Apalagi kondisi ini juga sudah termaktub dalam pertimbangan Hakim Mahkamah Konstitusi RI dalam Putusan MK Nomor 132/PUU-XII/2015.
3. Selama 3 (tiga) tahun perjalanan pemerintahan Presiden Jokowi, setidaknya telah diterbitkan 4 perppu; yang kebetulan dalam 2 (dua) bulan terakhir ini pemerintah telah menerbitkan 2 Perppu, dalam kondisi keamanan dan politik yang tidak genting apalagi memaksa.
Lembaga Studi Hukum Advocat Muda Indonesia menilai hal ini menunjukkan indikasi adanya hubungan yang tidak baik antara Presiden dengan DPR dalam proses pembentukan legislasi, karena Presiden terkesan ingin bypass dalam menerbitkan suatu norma undang-undang dengan menggunakan baju Perppu.
4. Di dalam pertimbangannya, pemerintah ingin menerapkan asas contrarius actus dalam Perppu Ormas. Asas itu secara singkat menjelaskan bahwa lembaga yang mengeluarkan izin atau memberikan pengesahan terhadap ormas juga berwenang membatalkannya. Penerapan asas itu menunjukkan bahwa pemerintah tidak paham mengenai perbedaan antara izin dan pengesahan.
Dalam penerbitan izin, memang pemberi izin dapat serta merta mencabut izin dengan syarat tertentu. Tapi khusus untuk pengesahan, kecuali ada syarat formil yang dapat membatalkan pengesahan tersebut, instansi yang mengeluarkan pengesahan tidak dapat serta merta mencabutnya. Apalagi dengan menggunakan tafsir subjektif pemerintah.
5. Logika yang digunakan pemerintah dengan menggunakan asas contrarius actus tersebut sangat berpotensi juga digunakan untuk jenis badan hukum lainnya yang membutuhkan pengesahan dari pemerintah seperti Yayasan dan Partai Politik.
Atas pertimbangan tersebut, kami Lembaga Studi Hukum Advocat Muda Indonesia mendesak kepada DPR untuk menolak Perppu No. 2 Tahun 2017 tersebut pada masa sidang berikutnya, serta turut mendukung upaya dari kelompok masyarakat untuk memohon pembatalan norma-norma yang represif tersebut ke hadapan Mahkamah Konstitusi RI.
Ĺembaga Studi Hukum Advocat Muda
Indonesia juga mengingatkan kembali kepada Pemerintah untuk senantiasa membawa negeri ini sesuai dengan koridor hukum yang berdasarkan Konstitusi. Kewenangan Presiden dalam pembentukan Perppu ini jangan sampai disalahgunakan untuk menghidupkan kembali rezim new otoriter dan mematikan demokrasi di Indonesia yang telah diperjuangkan oleh rakyat Indonesia.
Dalam hal untuk itu kami akan mengajukan uji materiil terhadap Perppu tersebut.
Jakarta, 13 Juli 2017
Ahmad Zein Ritonga, SH
Kordinator Divisi Studi Hukum Advocat Muda Indonesia
Narahubung:
Jacky watuubun, SH
Ketua Divisi Riset dan Kajian
Ahmadi qaldun, SH
Ketua divisi Humas dan Media
Mengetahui;
Djafar Ruliansyah Lubis, SH, MH
Ketua dewan Pembina, mantan
Ketua Umum Persatuan Advocat Muda Indonesia