Ironi Sistem Tata Negara Kita
Oleh: Despan Heryansyah
(Peneliti Pusat Studi Hukum Konstitusi (PSHK) dan Mahasiswa Program Doktor Fakultas Hukum UII YOGYAKARTA)
Ada yang banyak hal ironi dalam sistem ketatanegaraan kita, misalnya negara yang memproklamirkan diri menganut sistem pemerintahan presidensiil, nyatanya melahirkan parlemen yang jauh lebih kuat, dikenal dengan istilah legislative heavy.
Pilihanuntuk memperkuat parlemen tersebut, tentu bukan tanpa alasan, sejarah panjang perjalanan orde lama dan orde baru menjadikan parlemen dengan kewenangan lemah hanya sebatas “tukang” stempel presiden. Sayangnya, penguatan parlemen tidak disertai pengakjian yang cukup matang, sehingga output-nya seperti yang kita saksikan hari ini, sistem presidensiil yang sejatinya menjadikan presiden lebih kuat, justru membelenggu presiden dalam bayang-bayang parlemen.
Ironi lain yaitu tidak adanya mekanisme penyelesaian yang komprehensif dalam hal terjadi sengketa kewenangan antara lembaga negara dan konflik antar lembaga negara. Dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, memang telah disebutkan salah satu kewenangan MK adalah memutus sengketa kewenangan antar lembaga negara namun hanya lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar.
Sedangkan untuk lembaga negara yang kewenangannya berdasarkan undang-undang serta untuk konflik antar lembaga negara, bukan menjadi ranah kewenangan MK. Dua sengketa ini yang belakangan ini terus terjadi namun tidak ada penyelesaiannya. Banyak yang berpendapat bahwa presiden sebagai kepala negara sejatinya memiliki wewenang untuk menyelesaikannya. Namun presiden sendiri tidak memiliki dasar hukum selain konflik yang terjadi kerap melibatkan lembaga diluar fungsi eksekutif.
Pada masa awal perubahan (amandemen) konstitusi, memang implikasi dari tidak adanya pengaturan dua sengketa itu belum terasa. Namun belakangan menjadi begitu penting untuk segera dicarikan solusinya. Kita tentu masih sangat ingat dengan konflik yang terjadi antara Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dengan Kepolisian Republik Indonesia (Polri) yang berakhir dengan kriminalisasi terhadap beberapa pimpinan KPK.
Dengan modus yang sama hal ini terjadi hingga dua kali, tidak menutup kemungkinan ke depan masih akan terjadi lagi. Konflik kepentingan antara DPR dan DPD juga pernah terjadi terkait dengan kewenangan DPD dalam pembentukan dan pengesahan undang-undang yang berujung pada judicial review ke MK. Hari ini kita tengah menyaksikan konflik yang demikian panas antara DPR dengan KPK.
Sayangnya, konflik berjalan begitu saja, tanpa ada upaya hukum yang dapat dilakukan oleh salah satu lembaga karena memang dasar hukumnya tidak tersedia. Akhirnya yang paling jeli meramu citra dan merekayasa loby adalah yang paling diuntungkan.
Peluang Amandemen
Solusi atas masalah-masalah di atas memang cukup klasik, yakni amandemen UUD 1945, karena memang inilah jalan yang paling memiliki dasar hukum yang kuat. Usulan amandemen kembali UUD telah muncul sejak tahun 2003 lalu, namun sampai dengan 15 tahun pasca amandemen terakhir tahun 2002, juga belum terjadi. Masalah-masalah ketatanegaraan bukan tidak ada, bahkan cukup banyak dan pelik, namun karena sangat bergantung pada political will DPR (utamanya partai-partai besar) dan DPD, perubahan masih belum terjadi.
Bagaimanapun, kita tidak dapat membiarkan sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh undang-undang dan konflik (kepentingan) antar lembaga negara terus-terusan terjadi menguras banyak energi dan keuangan negara. Pemberantasan korupsi, penegakan hukum, dan bahkan kesejahteraan sosial akan sulit diwujudkan jika kita masih terbelenggu oleh kepentingan-kepentingan praktis dan jangka pendek masing-masing lembaga negara.
Upayaamandemen UUD memang tidak semudah yang diucapkan, ia membutuhkan kebesaran hati dan kerela berkorbanan dari penghuni rumah rakyat kita, Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). []