Abdi Bangsa vs Pengkhianat Bangsa
Oleh: Dedi Noah, Pemerhati Sosial Politik
Bukan rahasia lagi, banyak mantan pejabat tinggi negara, sipil, militer, politisi, birokrat, setelah pensiun ditarik taipan/pemodal menjalankan bisnisnya dengan memberi jabatan keren sebagai komisaris atau direktur.
Taipan menarik tentu tidak asal tarik, karena sudah dihitung untung rugi bagi bisnisnya. Pengalaman pernah menjadi menteri, pejabat tinggi militer, praktisi politik, lawyer dan birokrat tentu menjadi modalitas unggulan yang bisa menguntungkan posisi dan prestise perusahaan di kancah nasional.
Mereka umumnya dikenal dan memiliki pengaruh kuat di masyarakat, sehingga berpengaruh terhadap sepak terjang perusahaan dan bisnisnya. Kelebihan lain, mereka dikenal ringan tangan dalam menolong sesama dan tak segan-segan turun ke bawah mengetahui realita di lapangan, sehingga dekat dengan masyarakat.
Meski sudah masuk tataran usia senja, tapi semangat pengabdian kepada bangsa dan negara melalui pemikiran, gagasan, ide dan materil demi kesejahteraan rakyat dan bangsa Indonesia selalu diabdikan. Dampak positif bagi perusahaan adalah market yang luas dan produktifitas bisa tinggi, sehingga sinergitas antara perusahaan dan personel tersebut saling menguntungkan (simbiose mutualistis).
Di sisi lain pengabdian pada usia senja, tentu siapapun tak ingin terpeleset dan tercoreng dalam kehinaan yang membuat jatuh merk di hadapan masyarakat. Martabat, kehormatan dan nama baik senantiasa dipelihara demi keinginan kuat menjaga pengabdiannya dengan baik dan dikenang manis masyarakat.
Oleh karena itu tak aneh bila mereka senantiasa bersikap cermat, selektif dalam memilih pekerjaan agar selalu terhindar dari area controversial. Sikap haus jabatan/kedudukan, gila materi selalu dihindari bahkan sikap nothing to loose dalam kiprahnya selalu dikedepankan.
Namun belakangan masyarakat heran karena beberapa mantan pejabat negara dan politisi senior telah menjadi komisaris pada perusahaan yang membangun Meikarta. Jabatan bergengsi dan strategis bagi perusahaan telah disandang dan disana terkandung tugas mengawasi dan memberi nasehat atau masukan penting soal kinerja dan kebijakan perusahaan. Singkat kata komisaris dalam perusahaan bisa jadi penentu kebijakan dan rambu/ koridor pelaksanaan operasional perusahaan.
Terkait itu, masyarakat menjadi bingung dengan kedudukannya, karena diketahui pembangunan Meikarta banyak bermasalah, dimana membangun kawasan kota mandiri itu belum mendapat izin dari pihak berwenang, tapi pemasaran sudah berjalan massif dan sistematis ke segala jurusan, dengan sasaran utama kelompok The Have’s bukan rakyat kebanyakan.
Kami tidak tahu perkembangan terbaru ketentuan membangun rumah, selain waktu itu ada sistem 1 : 3 : 6, artinya perusahaan swasta boleh membangun perumahan bila mengikuti rumus bangun 1 rumah mewah kemudian 3 rumah menengah serta 6 rumah untuk kalangan bawah/rakyat kecil. Konsep pemerintah ini dibuat demi terwujudnya pemenuhan kebutuhan dari segala lapisan rakyat, bukan kelompok tertentu saja seperti yang dibangun di Meikarta.
Seperti diketahui Developer Meikarta yang dikomandani Taipan Lippo Group James Riyadi, dikenal dekat dengan penguasa, sehingga tidak aneh bila sering mendapat privelege dalam berbagai aksinya, termasuk membangun Meikarta yang belum ada izin dari Pemda Jawa Barat tapi jalan terus tanpa rasa malu dan takut.
Kedekatan dengan pemerintah dan adanya beking orang kuat, menyebabkan Developer Meikarta dengan leluasa dan masa bodoh terus membangun kawasan itu, padahal pejabat berwenang kewilayahan (Pemda Jabar) sudah memberikan peringatan dan teguran. Bahkan ditengarai aksi pemasaran semakin menggila, karena sudah banyak melibatkan petinggi di Kementerian, Lembaga dan Instansi negara lainnya. Sungguh berani sang Developer Meikarta. Mengapa bisa berani ?
Sebenarnya masyarakat sudah tahu dan bukan rahasia lagi, modus pembangunan Meikarta, mirip dengan kasus “reklamasi” di kawasan Jakarta Utara. Bangun dulu, urusan belakangan. Fakta, pemerintah diam dan rakyat tidak berdaya, meski belakangan terungkap secara hukum, environmental, sosial, ekonomi, budaya semuanya bermasalah, tapi pembangunan jalan terus. Putusan PTUN diabaikan, bahkan ada pejabat negara yang pasang badan menolak rencana kebijakan Gubernur DKI baru yang akan menyetop pembangunan reklamasi Jakarta Utara.
Pembangunan berbiaya besar, tentu berakibat harga bangunan itu menjadi mahal, sehingga tak terjangkau rakyat biasa. Masyarakat disitu hanya bisa gigit jari karena tak mampu membeli atau menyewa. Sementara pejabat pusat dan daerah kompak merealisasikan pembangunan reklamasi.
Bila begini, siapa lagi yang diandalkan rakyat untuk melindungi dari keganasan developer. Bukan rahasia lagi, untuk siapa “Reklamasi Jakarta dan Meikarta” dibangun ? Masih harus teruskah dibela pemerintah, meski nyata-nyata telah melanggar hukum dan pembangunan itu cenderung diperuntukkan orang kaya dan asing.
Membangun tanpa izin dan menganggap remeh peraturan daerah Pemda Jabar yang mengatur tata kelola wilayah Jabar merupakan kegiatan abai hukum. Inilah yang membuat rakyat bertanya-tanya, kenapa berani mengangkangi hukum, sementara pemerintah pusat diam saja. Kita tahu bahwa di belakang Meikarta adalah Taipan sohor yang bisa dan biasa melakukan apa saja di negeri ini.
Semuanya bisa diatur, apalagi diperkuat nama keren Agum Gumelar dan Theo Sambuaga, pasti akan lebih kuat daya lobby dan cengkeramnya. Agum yang mahir di bidang keamanan kemudian dipadukan dengan Theo yang mahir lobby politik, rasanya sudah lengkap, padu dan nyaman untuk meneruskan pembangunan Meikarta.
Bila suatu perusahaan berani melanggar hukum dan berani pula mengabaikan peraturan dari pejabat daerah, maka apa arti kedaulatan hukum di negeri ini ? Hukum dikangkangi oleh Developer Meikarta dan Reklamasi Jakarta, sementara masyarakat maupun Pemda tak bisa apa-apa, menandakan negara dalam kondisi lampu merah di bidang kedaulatan hukum, karena keberadaan hukum tidak digubris sama sekali.
Bung Agum dan Bung Theo pasti tahu dengan kondisi ini, tapi sayangnya belum siuman dari tidur nyenyak di atas kasur empuk yang disiapkan Boss Meikarta, sehingga pembangunan membabi buta tetap berlanjut. Sebagai mantan pejabat tinggi negara yang punya pengaruh besar, seharusnya berani bertindak demi hukum dan rakyat, bukan demi taipan dan gaji yang telah diterimanya.
Tunjukkan kepada masyarakat, bahwa kepentingan hukum dan rakyat di atas segalanya dan tidak sekali-kali menelikung rakyat. Oleh karena itu akan lebih elegan dan bijak jika Bung Agum dan Bung Theo di pihak rakyat, bukan di pihak taipan yang dikenal berani melanggar hukum pembangunan negeri ini demi pendatang bukan untuk WNI.
Di sini kedaulatan hukum dilecehkan sementara Bung Agum dan Bung Theo tidak berbuat bahkan tetap tidur nyenyak di atas kasur empuk dari Boss Meikarta.
Sekarang saatnya Bung Agum dan Bung Theo sadar untuk membela rakyat dan jangan mengkhianati rakyat dan bangsa ini. Janganlah mau cuma jadi bodyguard pihak taipan, sementara negara terabaikan dan rakyat tertindas serta sengsara. Saatnya hati nurani berbicara dan bertindak demi bangsa Indonesia.
Maaf bahasa kasarnya, jangan mau jadi anjing penjaga yang diperalat pihak asing untuk menekan/menakuti rakyat dan bangsa Indonesia. Cukuplah sudah dan janganlah berdalih, karena rakyat tahu, jika menjadi komisaris pada perusahaan itu, maka wajib mendukung kebijakan yang dikeluarkan si pemilik modal. Apa kata pemilik modal harus diikuti, kalau tidak pasti harus keluar ring perusahaan.
Oleh karena itu, jangan mau terbuai jabatan, kedudukan dan materi tapi ujungnya harus patuh kepada pemilik modal yang berseberangan dengan kepentingan rakyat, berarti berkhianat kepada masyarakat, bangsa dan negara. Jika cinta kepada bangsa dan negara, kemudian tetap konsisten terhadap martabat dan kehormatan diri yang selama ini dipertahankan, maka kembali ke pangkuan ibu pertiwi adalah jalan yang tepat dan ksatria.
Jangan coreng harga diri dan nama baik demi pihak asing tapi banyak merugikan warga bangsa. Jadilah panutan yang dibanggakan masyarakat Indonesia, bukan dibanggakan bangsa asing dan aseng. Merdeka !!! []