Letjen (Purn) Sjafrie Sjamsoeddin Figur Pemimpin Visioner yang Pernah Dimiliki Indonesia
Siapa yang tak kenal pengabdian Letjen (Purn) Sjafrie Sjamsoeddin saat menjalani tugasnya di lingkungan TNI. Jenderal peraih pangkat jenderal bintang tiga tahun 2005 lalu ini totalitas dalam bekerja.
Letjen Sjafrie begitu biasa disapa, lahir di Makassar, Sulawesi Selatan. Tepatnya tanggal 30 Oktober 1952. Ia pernah juga pernah menjabat sebagai Wakil Menteri Pertahanan Indonesia dari 6 Januari 2010 hingga 20 Oktober 2014.
Ia pernah mantan Sekretaris Jenderal Kementerian Pertahanan, kedua jabatan itu ia rangkap dari April 2005. Ia sebelumnya menjabat sebagai Kepala Pusat Penerangan (Kapuspen) TNI tahun 2002–2005.
Etos kerja dan totalitas dalam menjalankan pun berlanjut saat menjabat sebaga Wakil Menteri Pertahanan (Menhan) (2010), untuk melengkapi proses pembentukan karakter diri perwira Kopassus kelahiran Makassar, Sulawesi Selatan, 30 Oktober 1952 ini.
Selama memegang jabatan strategis, Sjafrie selalu mencoba melakukan pembenahan ke dalam organisasi yang sedang dipimpinnya. Khususnya saat ia dipercaya sebagai Sekjen Kemenhan, Sjafrie membenahi pengadaan alat utama sistem persenjataan (alutsista).
Ia pun berinisiatif membentuk tim bersama di dalam departemen di mana keputusan pengadaan alutsista dibahas oleh Dealing Center Management (DCM). Di tengah upaya mereformasi pengadaan alutsista yang sudah menjadi sistem dan sudah mengakar itu tidaklah mudah. Namun, tekad bajanya, ia berhasil mewujudkan pengadaan alutsista tanpa kongkalikong.
Apalagi begitu banyak kepentingan yang bermain di dalamnya, termasuk berbagai pihak yang selama ini ikut menikmati rezeki nomplok dari pengadaan alutsista untuk kepentingan Tentara Nasional Indonesia.
Besarnya kenaikan harga yang dinikmati dari setiap pembelian alutsista antara 30 hingga 40 persen. Tidak usah heran apabila Departemen Pertahanan dikenal sebagai departemen yang “boros dan bocor”.
Sjafrie Sjamsoeddin merupakan purnawirawan Letnan Jenderal yang dilahirkan di Makassar Sulawesi Selatan. Menyelesaikan pendidikan AKABRI tahun 1974 dengan mengawali karirnya di Komando Pasukan Khusus tahun 1975 dan menyandang berbagai tugas di lingkungan TNI/DEPHAN hingga purna tugas sebagai militer aktif tahun 2011.
Bertugas sebagai Ketua Delegasi Indonesia dalam kegiatan Kerjasama Internasional di bidang pertahanan sejak 2005-2014, Wakil Ketua Dewan Pembina Pusat Kajian Strategi Nasional (PPSN). Saat ini dipercaya negara selaku Wakil Ketua Pelaksana Indonesia Asian Games (INASGOC) 2018.
Bekerja Tim Bersinerji
Sjafrie dikenal sebagai pekerja keras yang selalu ada dalam tim yang kuat. Ia percaya, kerja itu menyangkut sebuah sistem. Baginya, pembenahan sistem tidak mungkin dilakukan sendiri. Kala waktu aktif, ia mengedepankan aturan sebagai acuan dalam mengambil keputusan.
Apalagi, dari terkait urusan negara dan masyarakat banyak. Khususnya pemainnya bukan hanya berasal dari kalangan dalam Dephan maupun TNI, tetapi juga pihak luar, termasuk kalangan swasta, baik itu swasta murni maupun “setengah” swasta.
Selain itu, ia tak pernah kendor dalam menyemangati anak buah dan jajarannya. Prinsipnya, bekerja tim harus selalu berada dalam ritme kerja tim yang bersinerji untuk meraih tujuan organisasi.
“Bagi saya, karakter seorang pemimpin itu faktor penting bagi kesuksesan seorang, termasuk prajurit perwira. Karena meraih karakter kepemimpinan yang kuat itu hanya bisa diperoleh dengan proses, tidak instan,” kata Sjafrie pada lintasparlemen.com, Jakarta, Sabtu (7/10/2017) lalu.
Menurutnya, kepemimpinan itu adalah sebuah proses panjang melalui tahap dan tiga jalur yang perlu dilewati secara terus-menerus untuk mencapai titik strong leadership tertentu.
Pertama, melalui pendidikan dan latihan. Kedua, melalui interaksi dalam berbagai jenis pengabdian mulai dari teknis, taktis, administrasi sampai strategis. Terakhir, pribadi tersebut harus pengembangan diri.
“Ketiga itu yang mengasah dalam mengambangkan kepemimpian kita. Selama menjalani tiga proses itu, akan timbul residu yang saya sebut adrenalin. Adrenalin itulah yang melekat pada diri kita. Dan Adrenalin inilah yang menjadi semacam ‘kamus berjalan’, yang akan keluar pada saat kita menghadapi berbagai situasi. Itulah tolok ukur kepemimpinan yang saya pahami dan jalani selama ini,” ujar Sjafrie.
Mantan Pangdam Jaya (1997-1998) ini mengaku sejak dirinya tidak aktif lagi di Kemhan, ia melakukan update capacity di sekolah NATO di Jerman. Bahkan ia aktif bersama perwira senior dari mancanegara dalam forum diskusi di Tiongkok dan Taiwan.
“Setiap tahun saya network mereka. Di NATO saya sendiri, di Taiwan ada perwira lain dari Indonesia, namun di Singapura dan Tiongkok saya sendiri. Itu undangan personal,” ungkap Sjafrie.
Kakak kandung dari Marsda (Pur) Maroef Sjamsoeddin ini dalam catatan pengalamannya pernah mengikuti pendidikan pasukan khusus di Fort Benning dan Fort Bragg di Amerika di markas SASR Australia di Swanbourne.
Tak hanya itu, seperti yang dikutip dari Buku Komitmen dan Perubahan: Suatu Persepsi dan Perspektif, Karya Letjen TNI (Purn) Sjafrie Sjamsoeddin, 2016. Dalam buku banyak hal yang dipertik pelajaran. Dan yang pernah dikutip oleh Media Online Nasional Sindonews.com pada 5 Oktober 2016.
Di masa lalu, pemerintah sangat dominan dalam peran di hampir semua sektor penyelenggaraan negara yang lazim disebut otoritarian dengan menempatkan ABRI (TNI-POLRI) dalam posisi ketat mengawal pemerintah dengan status sebagai kekuatan hankam dan kekuatan sospol yang dikenal Dwifungsi ABRI.
Dalam perjalanan sejarah bangsa Indonesia mencatat, Tentara Nasional Indonesia (TNI) sebagai organisasi pengabdian warga negara Republik Indonesia pada profesi militer yang oleh konstitusi UUD 1945 diamanatkan sebagai alat pertahanan negara untuk menjaga keutuhan dan kedaulatan negara.
Dominasi peran ABRI kemudian berubah seiring era reformasi. Reformasi TNI selain di bidang struktur dan doktrin juga terhadap aspek kultur, ibarat mengubah kebiasaan lama yang sudah melembaga terbentuk. Sejak tahun 1998, TNI telah bekerja keras melakukan perubahan-perubahan mendasar berbagai tatanan, pola pikir dan perilaku untuk menyesuaikan diri dengan tuntutan era demokrasi.
Tidak dapat disangkal perubahan mendasar selama 18 tahun masih meninggalkan kesan sikap trauma, hati-hati, bahkan apatis terhadap fenomena kehidupan politik nasional.
Reformasi Internal TNI yang hingga kini diteruskan oleh generasi TNI sangat memerlukan kualitas integritas kepemimpinan TNI yang konsisten dan komitmen terhadap Jatidiri TNI seperti yang dituntut oleh undang-undang.
Politik Negara
Politik TNI adalah politik negara sebagaimana yang dikemukakan oleh Panglima Besar Soedirman sudah dipatrikan dalam makna Sapta Marga sebagai prajurit pejuang, prajurit rakyat, prajurit nasional dan prajurit profesional.
Di masa kini dan mendatang pada era demokrasi yang penuh keterbukaan, akan sangat berbeda dengan masa lalu yang hitam putih memosisikan TNI dalam dua jenis misi di atas.
Di sini perlu kecermatan kepemimpinan dan manajemen TNI untuk menegaskan secara eksplisit kepada segenap prajurit. Rambu-rambu pelaksanaan misi negara di dalam iklim demokrasi yang memberikan ruang interaksi sipil-militer perlu menjadi pedoman.
Hal ini penting, mengingat pergerakan demokrasi di Indonesia begitu cepat sehingga memungkinkan fenomena demokrasi memberikan imbas dan menggelitik pribadi prajurit.
TNI sudah membuka pintu yang luas bagi bangsa di era reformasi untuk meneropong perjalanan TNI dari masa ke masa. Bagi TNI hal ini tentu memberikan manfaat ganda bagi kehormatan dan nilai moral yang senantiasa menjadi tanggung jawab generasi TNI.
TNI yang tegas menerjemahkan esensi dan makna politik negara akan menghindari tafsiran tersamar dari publik yang seolah-olah TNI berdwifungsi. Memang kita masih sering mendengar pertanyaan dalam obrolan bebas di masyarakat, bagaimana TNI bersikap jika negara dan bangsa mengalami turbulensi?
Bagaimana status legitimasi dan legalitas TNI dalam misi negara tunduk kepada otoritas sipil yang berdaulat untuk lingkup penugasan pada area stabilisasi dan rekonstruksi krisis?
TNI bukan penentu akhir, melainkan elemen utama negara untuk menyelamatkan kelangsungan hidup negara dan bangsa. Sebagai militer profesional, TNI senantiasa diharapkan secara independen menyampaikan pemberitahuan dini kepada negara terhadap berbagai fenomena yang berpotensi menimbulkan destabilisasi kelangsungan hidup dan keselamatan bangsa.
Sikap independen adalah tuntutan profesionalitas militer secara universal yang berpegang kepada prinsip netral dan imparsial. Sikap independen ini pula menjadi rambu pengaman bagi TNI terhadap kesan publik yang mencari celah dari sikap dan gerak- gerik yang belum tuntas menghayati dan menjalankan reformasi kultur TNI yaitu mengubah rasio dan rasa lama yang sudah tidak relevan bahkan dapat menimbulkan noda kehormatan TNI.
Integrasi dan Integritas
Suatu keniscayaan perlunya integrasi nasional dalam era demokrasi, diintesifkannya kerja sama sipil dan militer untuk bahu membahu dalam memikul beban politik negara.
Pergeseran iklim konflik pada abad ke 21 dengan dimensi baru konflik tidak beraturan yang dikenal sebagai perang asimetris dengan padanan teknologi menjadi opsi efektif dibandingkan penggunaan hard power yang menggunakan peralatan militer berat di semua spektrum perang, baik di darat, laut dan udara, dengan persyaratan memerlukan kemampuan ekonomi yang tinggi. Padahal kondisi ekonomi global mengalami perlambatan yang sangat pelan dan cenderung negatif. Kini secara universal kekuatan militer lebih mengutamakan untuk misi kemanusiaan dan misi negara demi menjamin stabilitas dan kedaulatan serta tugas perdamaian dunia.
Indonesia mencatat penanganan konflik dalam negeri cenderung diselesaikan melalui diplomasi, walaupun diakui bahwa operasi militer berperan besar dalam mendorong terbentuknya ruang diplomasi penyelesaian konflik.
Tantangan integritas TNI adalah bersikap “tidak” terhadap godaan kepentingan. Selain ini merupakan nilai moral tertinggi sebagai kehormatan TNI yang ditebus dengan keringat dan darah, juga menjadi sabuk pengaman bagi TNI di semua lini keprajuritan.
Tanggung jawab kewenangan yang hanya mampir seketika di pundak TNI akan menjadi modalitas besar bagi pengakuan bangsa dan negara hendaknya patut dijaga, agar sistem tidak mengalami distorsi.
Lebih dari itu revitalisasi manajemen dengan berbagai terobosan sistemik diperlukan dengan semangat jiwa korsa yang menyatukan rasa dan rasio dari para perwira dan prajuritnya, sehingga memastikan TNI menjadi kekuatan yang dahsyat dan mengagumkan. (Dioleh dari berbagai Sumber)