Densus Tipikor, Sebuah Kebutuhan Dasar Bangsa di Tengah Maraknya Korupsi
Oleh: BAMBANG SOESATYO, Ketua Komisi III DPR RI dari Fraksi Golkar Dapil Jawa Tengah VIII
Munculnya pro-kontra atas kehadiran Densus Tipikor, diharapkan tidak membuat Kapolri mengendur untuk merealisasikan gagasan brilian itu. Semua pemangku kepentingan penegak hukum seperti KPK, Jaksa Agung dan Menteri Hukum dan HAM setuju adanya Densus Tipikor.
Bahkan seluruh anggota Komisi III DPR RI, mendukung Detasemen khusus tersebut sebagai respon atas perilaku tindak pidana korupsi yang semakin masif. Biarkan anjing menggonggong, khafilah terus berlalu.
Sebenarnya gagasan ini telah dimunculkan di Komisi III DPR saat Kapolri di jabat Jenderal Pol Sutarman. Tapi entah kenapa hilang begitu saja. Dan baru kali ini ketika Kapolri dijabat oleh Jenderal Pol Tito Karnavian, Densus Tipikor mulai direalisasikan.
Karena densus tipikor memakai model densus Anti teror 88, maka tidak diperlukan UU baru atau perubahan UU. Cukup memakai Surat Keputusan Kapolri.
Apakah ada UU yang dilanggar? Tidak ada. Karena jaksa penuntut umum tidak berada satu atap seperti yang terjadi di KPK.
Prinsipnya Komisi III DPR RI tidak hanya setuju dengan anggaran yang diajukan Kapolri untuk pembentukan Densus Tipikor, namun juga soal kewenangan yg akan kita perkuat pada kepolisian dan Kejaksaan agar setara dengan KPK pada Perubahan UU Kepolisian dan Kejaksaan tahun depan usai RUU KUHP disahkan.
Lalu, apa yang sepatutnya diharapkan dari gagasan Polri menghadirkan Densus Tipikor (Detasemen Khusus Tindak Pidana Korupsi)?
Mudah-mudahan saja Densus Tipikor tidak hanya fokus pada penindakan. Aspek yang jauh lebih penting dan strategis adalah pencegahan dan upaya menumbuhkembangkan efek jera bagi siapa saja untuk berani dan mau menghindari Tipikor. Program untuk dua target strategis ini terasa kosong di ruang publik.
Masyarakat tidak tidak tahu apakah negara punya program spesifik untuk mencegah pejabat negara atau warga biasa melakukan korupsi? Bahkan, dengan fakta semakin maraknya praktik korupsi, Indonesia seperti kehilangan akal untuk menumbuhkembangkan efek jera.
Tersangka korupsi tidak malu ketika mereka ‘dipermalukan’ oleh status sebagai tahanan KPK. Vonis Pengadilan Tipikor pun tidak membuat para calon koruptor takut atau jera melakukan korupsi.
Memang, penindakan tetap penting karena perilaku korup terlalu sulit dihilangkan. Namun, terbukti bahwa penindakan nyaris tidak menyelesaikan masalah. Bahkan, akhir-akhir ini, penangkapan atau operasi tangkap tangan (OTT) terhadap terduga koruptor ibarat tontonan yang tidak menarik untuk dicermati. Masyarakat cenderung bosan disuguhi berita tentang penangkapan atau OTT terduga koruptor. Sementara banyak kasus-kasus besar mangkrak.
Sekali lagi, Densus Tipikor patut dilihat sebagai ‘alat pemukul’ baru dalam perang melawan korupsi. Densus Tipikor didirikan bukan untuk bersaing dengan KPK. Tapi justru Densus Tipikor dan KPK harus mampu membangun sinergi untuk menumbuhkan efek gentar.
Melahirkan efek gentar relative mudah karena jaringan Densus Tipikor terbentang dari Mabes Polri hingga ke semua daerah dan desa. Tak hanya faktor bentangan jaringan, kesiapsiagaan satuan Densus Tipikor di semua daerah dalam mengintai atau mengendus pengelolaan dan pemanfaatan anggaran pun diyakini bisa menimbulkan efek gentar itu.
Efek gentar dari kehadiran Densus Tipikor Mabes Polri sangat diperlukan. Bahkan harus ditumbuhkan. Namun, efek gentar itu perlu dikelola sedemikian rupa agar tidak menimbulkan rasa takut berlebihan dari satuan kerja atau pengguna anggaran.
Kasus pengendapan dana milik pemerintah daerah di bank-bank umum yang terjadi dalam beberapa tahun belakangan ini patut digarisbawahi oleh Mabes Polri. Salah satu alasan yang dikemukakan adalah rasa takut dikriminalisasi oleh penegak hukum. Fenomena ini sangat memprihatinkan karena total dana pemerintah daerah yang diendapkan itu mencapai ratusan triliun rupiah.
Maka, dalam mempersiapkan kehadiran Densus Tipikor, Mabes Polri harus mengantisipasi kemungkinan terjadinya pengendapan dana daerah sejak dini. Sebab, bisa saja dengan alasan takut dikriminalisasi oleh personil Densus Tipikor yang tersebar di semua daerah dan desa, pengguna anggaran menunda-nunda pemanfaatan anggaran, lalu menyimpannya di bank-bank umum.
Karena itu, Mabes Polri pun harus memastikan bahwa semua personil Densus Tipikor, baik di pusat maupun di daerah dan desa, memahami dengan detil seluk beluk setiap pos anggaran pembangunan serta pemanfaatannya. Pemanfaatan dana desa di setiap desa pun harus dipahami.
Pemahaman tentang mekanisme penganggaran dan pemanfaatannya tentu saja sangat penting agar kecerobohan dalam penindaan bisa dihindari. Dengan begitu, agar peran dan fungsinya efektif, Densus Tipikor di pusat dan semua daerah idealnya memiliki copy buku APBN dan APBD tahun berjalan sebagai pegangan. []