Dodi Reza Masuk Bursa Pilgub Sumsel, Apakah Kelanjutan Politik Dinasti Alex Noerdin?
JAKARTA – Mendekati tahun 2018, suhu politik di Sumatera Selatan kian memanas. Dodi Reza Alex Noerdin muncul sebagai salah satu bakal calon gubernur mengundang perhatian dari aktivis mahasiswa sumsel yang ada di Jakarta.
Satria A Perdana menilai bahwa munculnya nama Dodi Reza Alex Noerdin membuat peta politik semakin menarik. Apa kehadiran Dodi Reza sebagai kelanjutan politik dinasti Alex Nordin? Menarik dikaji.
“Saya kira menjadi menarik dengan munculnya nama Dodi Reza sebagai balon gubernur sumsel mengingat baru dua tahun beliau dilantik sebagai bupati Muba. Mungkin salah satu faktor yang mengangkat namanya adalah karena dia anak kandung dari Alex Noerdin (Red-Gubernur sekarang)” ujar Ketua HMI Jakbar itu.
“Akan tetapi kita semua berharap Gubernur Sumatera Selatan mendatang dari figur yang berpengalaman. Saya kira banyak tokoh yang memiliki reputasi yang baik di Sumsel, contohnya Pak Herman Deru dari OKU Timur dua periode, Pak Ishak Meiki wakil gubernur sekarang, Pak Aswari Rifai Bupati Lahat. Kalau Dodi Reza dicalonkan pada 2023 nanti tentu berbeda,” tambah Pendiri Silaturahmi Mahasiswa Sumsel (SIMS) Jakarta.
Seperti diketahui Dodi Reza Alex Noerdin adalah mantan anggota DPR RI 2014-2019 dan kemudian mengundurkan diri setelah mecalonkan diri sebagai Bupati Muba tahun 2015 silam yang juga putra dari gubernur incumbent.
Dia menegaskan bahwa dinasti politik tidak perlu tejadi di Sumsel karena mendekatkan dengan praktik korupsi karena tidak adanya check and balance.
“Saya beri contoh OKU Selatan misalnya, disana Bupati dan ketua DPRD adalah saudara sepupu dan kepala dinasnya rata-rata masih family mereka juga, yang akhirnya tidak terjadi check and balance dalam pemerintahan. Nah saya berharap ini tidak terjadi juga di tingkat Sumatera Selatan yang kita ketahui bersama sudah memiliki prestasi yang baik,” sambung Mahasiswa Pascasarjana asal OKU Selatan.
“Partai Politik sebagai instrument penting demokrasi harus mengambil peran penting untuk meminimalisir dinasti politik ini. Pencalonan dari partai politik seharusnya tidak mutlak ketua umum saja tetapi diputuskan melalui rapat pengurus dengan mempertimbangkan kemampuan dan integritas calon dengan sistem demokrasi bukan dengan asas familykrasi,” tutup Satria. (S3)