Dari Wina, Fadli Zon: Pengawasan Parlemen Penting Bagi Pemberantasan Korupsi
WINA – Pagi ini, waktu setempat, Wakil Ketua DPR RI Fadli Zon menjadi pembicara kunci (keynote speaker) dalam acara “Forum Anggota Parlemen ke-7” di Markas PBB di Wina, Austria.
Forum ini, yang sejak 2006 penyelenggaraannya selalu bersamaan dengan The Conference of the State Parties to the United Nations Convention Against Corruption“, diselenggarakan atas kerjasama antara GOPAC (Global Organization of Parliamentarians Against Corruption) dengan UN Pacific Regional Anti-Corruption Project (UN-PRAC), UN Office on Drugs and Crime (UNODC), dan UNDP (United Nations Development Programme).
Hadir juga pada kesempatan itu para anggota parlemen dari sejumlah Asia, Afrika, dan Amerika Latin.
“Tadi saya menegaskan jika pengawasan adalah salah satu tugas pokok anggota parlemen. Tanpa pengawasan parlemen, kekuasaan pemerintah akan menjadi mutlak, otoriter, yang pada akhirnya membuat rakyat jadi tak berdaya. Ruang lingkup pengawasan parlemen, jika mengacu kepada “Laporan Parlemen Global IPU 2017”, meliputi tinjauan, pemantauan dan pengawasan badan-badan pemerintah serta lembaga publik, termasuk mengawasi pelaksanaan undang-undang, anggaran, serta kebijakan pemerintah,” kata Fadli seperti rilis diterima wartawan, Wina, Kamis (9/11/2017).
“Saya juga menyampaikan bahwa penting sekali bagi anggota parlemen untuk menjaga hak pengawasan tersebut, baik secara individual maupun secara kolektif melalui lembaga parlemen. Sebab, meskipun demokrasi telah membatasi kekuasaan pemerintah, namun pembatasan itu tak akan ada artinya jika anggota parlemen sendiri rendah kemauan politiknya ataupun lembaga parlemennya sengaja dibikin lemah,” sambungnya.
Bagi Fadli, temuan GOPAC itu menunjukkan bahwa korupsi sebenarnya hanya bisa berkembang jika lembaga pemerintahan lemah. Di mana kebijakan dan peraturan yang mereka buat bisa diperjual-belikan karena lembaga pengawas, seperti parlemen, kejaksaan, serta masyarakat sipil, dipinggirkan perannya atau telah menjadi rusak.
Pada 2012, lanjutnya, Routledge Research menambahi temuan tadi dengan menambahkan bahwa korupsi juga akan berkembang karena kemiskinan.
Pada tahun 2013, terang Wakil Ketua Umum Gerindra ini, Transparency International menemukan bahwa dua pertiga parlemen gagal menjadi pengawas korupsi sektor pertahanan. Sekitar 85% parlemen tidak memiliki pengawasan ketat terhadap kebijakan pertahanan. Biaya global untuk korupsi semacam itu diperkirakan sekitar US$20 miliar per tahun.
“Setiap tahun, uang sogokan yang beredar di seluruh dunia diperkirakan sekitar US$1 triliun, dan sekitar US$2,6 triliun uang hasil korupsi terkumpul. Jumlah itu setara dengan lebih dari 5 persen PDB global. Semua itu terjadi karena lemah dan tidak efektifnya pengawasan parlemen,” papar President GOPAC ini.
Untuk mengatasi persoalan tersebut, ungkap Fadli, GOPAC percaya bahwa kapasitas anggota parlemen harus segera diperbaiki dan sistem pengawasan parlemen lebih diperkuat. Tentu saja tantangannya tidaklah mudah. Parlemen adalah sebuah lembaga politik di mana anggotanya berasal dari berbagai aliran dan ideologi politik. Itu sebabnya untuk memberantas korupsi kita membutuhkan sebuah jaringan internasional yang non-partisan.
Menurut Fadli, untuk meningkatkan kapasitas anggota parlemen dalam gerakan antikorupsi, GOPAC telah bekerjasama dengan sejumlah lembaga internasional, seperti PBB, Bank Dunia, IMF, dan lain-lain. Terkait dengan agenda Sustainable Development Goals (SDGs), GOPAC berpandangan jika agenda tersebut ingin berhasil, maka kita harus bisa memerangi korupsi.
“Parlemen dan anggota parlemen harus bisa memastikan bahwa setiap sen dana publik berhasil disampaikan kepada mereka yang berhak. Pengawasan oleh parlemen sungguh berarti banyak dalam mengurangi atau melemahkan peluang terjadinya korupsi. Tadi saya juga mengajak kepada para anggota parlemen dari negara-negara yang hadir untuk memaksimalkan peran mereka dalam mendukung pemberantasan korupsi,” pungkas Fadli. (Ronny)