Jokowi, 212 dan Palestina: Catatan Buat Eros dan Denny JA
Oleh: Dr. Syahganda Nainggolan, Sabang Merauke Circle
Pekan-pekan ini kita digoncang dengan isu pemindahan ibukota Israel dari Tel Aviv ke Jerusalem oleh Donald Trump pada tanggal 6 Desember, 2017, pukul 1:07 PM EST, Washington D.C, didampingi Wapres Mike Pence, mengumumkan pemindahan kedutaannya di Tel Aviv ke Jerusalem.
Keputusan ini menandai berlakukan keputusan kongres 1995, “The Jerusalem Embassy Act”, di era Clinton, yang memutuskan pemindahan kedutaan mereka di Israel. Namun, semua presiden sebelum Trump tidak memindahkan kedutaannya, karena ada klausul yang membolehkan untuk itu, jika setiap 6 bulan menandatangani klausul penundaan. “Expired time to sign a national security waiver” berakhir tanggal 4 Desember lalu.
Seluruh dunia mengecam tindakan Trump tersebut. Karena hal ini melanggar UN Resolution yang menegaskan bahwa Jerusalem adalah sebuah kota terbelah, di barat di bawah yurisdiksi Israel, di Timur di bawah yurisdiksi Palestina. PBB menggariskan bahwa penyatuan Jerusalem tergantung kesepakatan pihak Israel dan Palestina, dalam koridor Resolusi resolusi PBB.
Indonesia sendiri di bawah pemerintahan Jokowi mengecam sikap dan tindakan Trump tersebut. Sebagaimana diketahui bahwa pemindahan kantor kedutaan USA ke Jerusalem dapat diartikan dukungan Amerika atas upaya pencaplokan Jerusalem Timur kepada kekuasaan Israel. Resolusi PBB 181 (1947) tentang “The Partition of Palestine” mengakui adanya dua negara (Israel dan Palestina) dan “International regime for Jerusalem”.
Pada resolusi PBB 2334 (2016) ditegaskan lagi bahwa “East Jerusalem” adalah wilayah Palestina yang diduduki Israel sejak 1967.
Persoalan konflik Palestina vs Israel adalah konflik panjang yang menyeret seluruh negara dunia, khususnya pula negara negara Islam dan Arab, menjadikannya sebagai agenda strategis dan prioritas.
Lalu bagaimana kita di dalam negeri? Apa ya g berkembang?
Di dalam negeri Eros Jarot, budayawan Soekarnois, lalu menulis essai di berita online watyutink,com, miliknya berjudul “Donald Trump Berisik Gak Ada Reuni”.
Essai ini mengulas lemahnya respon kelompok Islam dalam mensikapi urusan aneksasi Jerusalem untuk jadi ibukota Israel. Beda dengan urusan Ahok, ummat Islam lantang dan gesit merespon. “Go to hell Ahok!, tapi mana “Go To Hell Israel?”, kata Eros.
Begitu pula Denny J.A. dalam essaynya berjudul “Konflik Palestina-Israel dan Nobel Perdamaian untuk Jokowi”, mengapresiasi langkah Jokowi dan mendorong agar sikap Jokowi dalam urusan ini dirancang untuk Jokowi bisa memperoleh “Nobel Prize”.
Ada 3 hal penting yang disoroti Eros Jarot: 1) Jokowi merespon cepat dan agresif menolak rencana Trump soal Jerusalem ini. 2) Amin Rais, sebagai dedengkot 212, tidak sensitif atas urusan Palestina. 3) saatnya mengajak massa rakyat aksi untuk persoalan yang lebih substantif.
Untuk urusan sikap Jokowi ini, Eros memuji muji sikap Jokowi sebagai pahlawan, yang mungkin dianggap lawan politiknya “from zero to hero”. Tindakan Jokowi adalah tidakan yang mengagumkan dan perlu semua massa bertepuk tangan, jika tidak mampu turun membanjiri jalanan.
Eros dan Kesalahan Berpikirnya
Tudingan Eros terhadap elit massa Islam yang diam saja urusan Palestina ini merupakan kesalahan berpikir. Kesalahan pertama adalah mengapa Eros tidak menanyakan massa Marhaenis-Soekarnois ada di mana dalam urusan Palestina ini? Apakah urusan Palestina harus menunggu ummat Islam demo sehabis Jumatan?
Pertanyaan ini berkaitan dengan sejarah Soekarno, sebagai bapak bangsa, justru adalah pemberi inspirasi terhadap perjuangan bangsa kita, termasuk elit Islam soal Palestina.
Contoh kecil adalah ketika anak-anak SD Nurul Fikri, sekolah besutan PKS, membuat acara “Save Palestine”, di pintu masuk sekolah tersebut terbentang spanduk utama bergambar Bung Karno degan telunjuk tajamnya dengan teks:
“Selama kemerdekaan bangsa Palestina belum diserahkan kepada orang-orang Palestina, maka selama itulah bangsa Indonesia berdiri menantang penjajahan Israel.” Dan acara ini merupakan agenda tahunan, rutin.
PKS bukan menampilkan wajah tokohnya seperti Ustad Hilmy Aminuddin atau Hasan Albana, tapi justru menampilkan Bung Karno sebagai simbol.
Lalu kemana para Soekarnois dan Marhaenis seperti Eros Jarot? Mengapa mereka tidak membuat gerakan mengutuk Israel? Bukankah ideolog mereka, Bung Karno, meminta mereka selalu bergerak untuk melawan Zionist Israel?
Kedua, Eros sepertinya berpikir bahwa ummat Islam tidak sensitif terhadap urusan Israel, hanya karena tidak turun ke jalan ketika isu ini hangat. Atau Eros sedih ketika junjungannya, Jokowi berusaha menjadi Hero dalam urusan Palestina, tidak kelihatan massa Islam mendukungnya?
Untuk hubungan ummat Islam dan Palestina, sesungguhnya sudah menjadi urusan yang berkelanjutan. Sudah menjadi kebiasaan kotak kotak amal Masjid di Indonesia diperuntukkan bagi rakyat Palestina, sudah kebiasaan Masjid2 kita mendoakan saudaranya di sana. Sudah ada LSM yang menghimpun dana rakyat kita dan membangun Rumah Sakit Indonesia di sana. Sudah pernah palang merah kita pergi memberi bantuan ke sana. Dan bahkan banyak pendekar2 silat kita yang ikut perang di sana.
Tentu Eros berhak menanyakan kepada Amin Rais, kapan 212 akan turun massanya kejalan menolak Kota Suci Jerusalem. Namun, bukan berarti mendeskriditkan elit Islam karena belum bergerak.
Apakah Eros sedih tidak ada massa yang ratusan ribu bergerak seperti di Mesir, Turki dan lain sebagainya? Padahal Jokowi sudah menjadi “hero”? Tentu ini adalah kesalahan Jokowi sendiri yang tidak pernah membina massa rakyat, dan kesalahan massa Marhaenis, yang melupakan ajaran Soekarno soal Palestina.
Jokowi dan Hadiah Nobel?
Pandangan Denny J.A bahwa apresiasi atas sikap Jokowi terhadap isu Jerusalem ini perlu ditindaklanjuti dengan memburu Nobel Prize adalah pandangan naif. Apa sih yang dilakukan Jokowi yang begitu fenomenal dalam kaitan sikap dan pandangannya? Jika dibandingkan dengan negara negara lainnya?
Marilah kita membandingkan dalam 2 hal, pertama kecepatan merespon, kedua, bentuk sikap dan tindakan. Beberapa negara di dunia sudah merespon isu Jerusalem ini sebelum Trump mengumumkan tindakannya. Macron (Prancis) sudah memperingatkan Trump dua hari sebelum pengumuman Trump, May (Inggris) sebelum Trump. Meskipun pada hari yang sama, dan Erdogan (5/12) sehari sebelumnya.
Negara negara eropa secara keseluruhan sudah mengecam lebih awal sikap Trump tersebut. Presiden Rusia sendiri, meski mengecam pada hari yang sama dengan Jokowi, sudah diketahui berpihak pada Palestina selam ini secara terbuka. Rusia mendukung terwujudnya East Jerusalem sebagai ibukota Palestina. Sementara China sudah mengecam Amerika pada tanggal 6/12. Dan Arab Saudi mengecam sejak tanggal 4/12. Over all, dari segi respon, Jokowi terkesan lebih lambat dari rata rata tokoh utama dunia dan negara Islam.
Dari segi kecaman, sikap Jokowi tidak lebih radikal dari banyak negara. Di berbagai negara Islam, sikap pemimpinnya selalu disertai dengan ratusan ribu aksi massa turun kejalan membakar bendera Israel, semisal di Turki. Bahkan, sebelum Jokowi bersikap, rakyat Indonesia masih dibingungkan oleh klaim duta besar Amerika yang menyatakan sudah melobby Indonesia, sebagai negara sahabat, untuk mendukung sikap Amerika itu
Sikap Jokowi ini sebenarnya dapat kita lihat dalam 2 hal. Pertama, Jokowi konsisten dengan kampanyenya untuk mendukung Palestina merdeka. Kedua, sikap Jokowi ini tidak ada hubungannya dengan spirit Islam dan ummat Islam yang melihat masalah Israel/Jahudi sebagai perang agama dan peradaban. Jadi benar2 sebuah kewajiban “official”
Oleh karenanya, penghargaan kepada Jokowi, seperti pikiran Eros dan Denny J.A. sangatlah sumir.
Spirit 212 dan Jerusalem
Pembahasan atas rasional mengapa Trump akhirnya memindahkan kedutaannya ke Jerusalem, dikaitkan dengan misi agama, telah dibahas banyak media internasional. “”This is the real reason Trump decided Jerusalem the capital of Israel” ( www.independent.co.uk ) dan “Trump’s Jerusalem Syndrome: Whose End of Days Messiah does he think” ( www.haaretz.com ).
Misalnya, membahas alasan bahwa kepercayaan Kristen Evaengical adalah dibalik semua ini. Baik itu kepercayaan Trump sebagai penganutnya, maupun janji nya dalam kampanye kepada basis pemilihnya kaum Kristen Evangelical. Mereka percaya bahwa dengan dijadikannya Jerusalem sebagai ibukota Israel, sebagaimana di kitab mereka, maka Messiah akan turun ke Israel untuk mengkonversi keyakinan mereka atas ajaran Jesus.
Namun, tindakan Trump yang berbasis agama ini berbeda dengan keyakinan Islam bahwa Al Aqsa, tempat diberangkatkannya Nabi Muhammad S.A.W bertemu Allah S.W.T dan kiblat pertama ummat Islam, adalah tempat suci ummat Islam yang ummat Islam harus menjaganya pula.
Oleh karenanya, negara negara Islam sejalan dengan Perserikatan Bangsa Bangsa untuk menganggap kota suci Jerusalem sebagai warisan peradaban agama agama samawi, sebagai jalan tengah, dan dikelola dalam rezim internasional.
Sehingga, tindakan Trump ini dapat dipersepsikan sebagai ajakan permusuhan terhadap Islam dan ummat Islam.
Ummat Islam 212, sebagai kekuatan Islam aktual saat ini di Indonesia, tentu harus memasukkan agenda anti tindakan Trump ini dalam aksi aksi ke depan.
Persoalan pemindahan ibukota Israel dan sekaligus pengukuhan pendidikannya atas wilayah Palestina, Jerusalem Timur, merupakan wahana perang suci yang tidak mungkin ditunda lagi.
Jika Jokowi mempunyai agenda yang sama dengan ummat Islam dalam menyikapi isu Jerusalem (Konflik Palestina vs. Israel), tentu merujuk pada pikiran Eros juga, sinergi kedua belah pihak dapat dimulai. Namun bukan kepentingan sepihak dan sesaat, tetapi kepentingan suci dan berkelanjutan. Melawan Israel dan Amerika. []