Kabba, Desa Puluhan Tahun Kena Banjir yang tak ‘Dipedulikan’ Pemerintah

 Kabba, Desa Puluhan Tahun Kena Banjir yang tak ‘Dipedulikan’ Pemerintah

Kondisi Sawah mirip laut yang kena banjir di Desa Kabba, Minasatene, Pangkep, Sulawesi Selatan

PANGKEP – Jika ditanya di manakah di dunia ini penduduk atau masyarakatnya paling tekun nan sabar saat dilanda musibah tiap tahunnya? Bisa dijawab di desa ini jawabnya. Yakni Desa Kabba.

Mungkin jawaban itu agak berlebihan atau lebay. Namun itulah kenyataannya. Di Kabba inilah masyarakatnya hidup rukun dalam kekeluargaan. Kehidupan mereka sangat tekun dalam bertani untuk menghidupi keluarga mereka.

Tengok saja tiap tahunnya lahan sawah mereka yang luas sudah ditanami bahkan siap panen kena banjir. Hasilnya, mereka gagal panen. Kerugian pun ditanggung para petani.

Dan itu sudah berlangsung sejak tahun 1985 tanpa ada solusi menyelesaikan persoalan banjir tersebut. Aliran sungai dangkal nan sempit. Irigasi Kondisi di hulu hingga hilir, air masih kurang kelancarannya akibat sejumlah Irigasi di desa itu rusak nan dangkal yang disebut-sebut penyebab banjir tahunan itu.

Begini suasana masyarakat petani Desa Kabba usai banjir surut

Namun, dengan kodisi separah itu mereka tidak pernah protes. Apalagi demo, turun kejalan. Tidak. Mereka sabar dan tekun bertani meski kerugian menghantuinya tiap tahun. Ke mana kepedulian kita saat sawah mereka layaknya lautan?

Pertanyaannya, di mana para pemerintah saat ini yang menyebut diri populis. Merakyat. Dan banyak lagi yang disandangkan pada dirinya tiap pemilu berlangsung.

Seyogyanya segera dilakukan normalisasi karena sawah-sawah milik petani tak bisa ditanami padi. Usut punya usut sebutnya, ternyata bukan hanya faktor pendangkalan. Namun belum adanya kepedulian pemerintah setempat.

Seperti dilaporkan kontributor lintasparlemen.com, Luas wilayah Desa Kabba 10,20 km2. Dari luas itu jumlah penduduk 4.715 jiwa.

Sementara luas sawah 420 Ha, luas empang 127 Ha. Dan mayoritas penduduk desa itu hidup dari bercocok tanam. Ada 98 persen masyarakat desa itu berprofesi sebagai Petani.

“Di perkirakan kerugian setiap tahun rata-rata 5-10 jt setiap petani dan penambak ikan,” kata sumber yang tak ingin dipublikasikan nama, Kabba, Pangkep, Sulsel, Sabtu (23/12/2017) kemarin.

Itu artinya, jika ditotal dari kerugian itu tiap tahunnya bisa mencapai Rp 2-4 miliar. Apa kita masih tinggal diam melihat ‘kedzaliman’ ini terus berlangsung pada petani miskin di sana?

Desa Kabba letaknya di Kecamatan Minasatene, Kabupaten Pangkep, Sulawesi Selatan.

Terlihat bahagia salah satu keluarga petani di Desa Kabba saat menikmati hidangan ‘doko pattaneng’ di saat istirahat menanam sawahnya

Dari pemerintah setempat bisa disebut tidak peduli dengan ‘penderitaan’ masyarakatnya. Sejatinya, meski masyarakat tak protes dengan kerugian yang dialami tiap tahunnya. Pemerintah setempat sebagai pemegang tanggung jawab, membantu mereka keluar dari persoalan banjir tersebut. Mencari solusi konkrit. Tidak seperti sekarang. Mereka diam tak punya program menyelesaikan persoalan-persoalan tersebut dengan melempar kesalahan pada rakyatnya.

Bisa dibayangkan, dari lahan pertanian dan tambak ikan kandeng yang memiliki potensi besar di Sulsel kena banjir 95 persen setiap tahunnya tergenang air banjir.

Saat tim redaksi kami menanyakan kepada para petani di desa ini terkait banjir yang merendam sawah mereka. Mayoritas dari mereka mengatakan, banjir seperti ini sudah biasa. Tak ada yang perlu dikhawatirkan. Ini bukti ketabahan mereka menghadapi banjir tahunan.

“Ya begini tiap tahun, setelah kita tanam padi. Banjir. Setelah banjir audur kita tanam lagi padinya. Mau apalagi,” ujar salah satu petani, dalam bahasa Bugis.

Terkadang, lanjutnya, selama musim tanam mereka tak menanami sawahnya. Alasannya, sawah mereka belum juga surut. Bagaimana mereka menghidupi keluarga mereka? Bagaimana dengan program pemerintah untuk mewujudkan swasembada pangan, kemandirian pangan dan banyak lagi?

“Kayaknya kita sudah terbiasa sama namanya banjir. Kapan kita hindari banjir pertama otomatis banjir kedua dan ketiga yang hantam (datang lagi, red) dan kapan kita hindari ke tiganya baru tanam padi. Kita tak bercocok tanam. Sementara Desa Panaikang (desa sebelah) sudah panen. Kita belum,” jelasnya.

Padahal, Kementrian Dalam Negeri (Kemendagri) baru saja menobatkan Gubernur Sulawesi Selatan Syahrul Yasin Limpo (SYL), sebagai Gubernur Terbaik dan Terpilih.

Penghargaan Leadership Award Tingkat Nasional Tahun 2017 dari Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tjahyo Kumolo ini diterima SYL melalui Sekretaris Daerah Provinsi Sulsel, Abdul Latif, di Hotel Sahid Jaya Jakarta, Senin, (18/12/2017) lalu.

Sekedar diketahui, untuk kategori Leadership Award diberikan kepada gubernur, bupati, wali kota yang dalam kepemimpinannya mampu memajukan daerah sesuai dengan harapan masyarakat.

Belum lagi pemerintahan Kabupaten Pangkep di bawah kepemimpinan Syamsuddin Hamid Batara belum bisa berbuat apa-apa di dua periode memimpin kabupaten tiga dimensi itu.

Padahal Batara sebagai Bupati Pangkep Pangkep sudah banyak banyak mendapatka penghargaan. Di antaranya Terbaik di Sulsel.

Bahkan Batara Masuk Daftar 55 tokoh “Wonderful People For Wonderful Tourism”. Wao luar biasa.

Ke mana keduanya saat rakyatnya tiap tahun menderita dengan kerugian yang tak terhitung jumlahnya?

Yang jadi pertanyaan, ke mana kedua pemimpin yang dinilai terbaik di era desentralisasi ini? Entahlah! (HMS)

 

Facebook Comments Box