Ini Alasan Kuat PPP Akan Tinggal Sejarah
JAKARTA – Sosiolog sekaligus Rektor Universitas Ibnu Chaldun Jakarta Musni Umar menilai Partai Persatuan Pembangunan (PPP) bakal ditinggalkan konstituen setianya khususnya saat dukung Ahok-Djarot di Pilgub DKI Jakarta dan Djarot di Pilgub Sumatera Utara. Itu artinya PPP akan tinggal sejarah.
“Sebagai sosiolog, saya merasa prihatin melihat praktik politik PPP yang tidak aspiratif terhadap pemilihnya,” kata Musni pada wartawan, Ahad (14/1/2018).
Menurut Musni, sejatinya setiap partai politik berusaha menjaga, merawat dan mempertahankan konstituennya. Hal ini berbeda dengan apa yang dilakukan PPP.
“PPP sebagai partai Islam suka tidak suka harus melakukan berbagai upaya untuk mempertahankan konstituennya. Pada saat yang sama, harus berusaha menambah konstituen baru sehingga PPP menjadi partai besar,” terang Musni.
“Akan tetapi praktik politik yang dijalankan PPP, sama sekali tidak tergambar di publik bahwa PPP ada upaya mempertahankan konstituennya, yang tidak lain adalah umat Islam,” sambungnya.
Alasan Musni, PPP melakukan politik bunuh diri karena partai Kabbah itu tak lagi aspiratif terhadap pemilihnya. Pertama, mendukung Ahok-Djarot dalam Pilgub DKI 2017. Suara umat Islam sangat keras menolak Ahok. Sangat mengejutkan, PPP sebagai rumah besar umat Islam, justeru mendukung dan mencalonkan Ahok. Praktik politik semacam ini adalah politik bunuh diri karena umat Islam sebagai pemilih PPP disakiti dan tidak dipedulikan aspirasi mereka.
“Dampaknya, umat Islam sebagai pemilih PPP akan meninggalkan PPP pada pemilu 2019. Sekarang saja sudah terlihat dari hasil survei berbagai lembaga, elektabilitas PPP sangat rendah, dibawah 3% pada hal PPP adalah partai politik lama seperti Golkar, PDIP,” paparnya.
Alasan Kedua, bagi Musni, PPP mendukung dan mencalonkan Djarot-Sihar dalam Pilgub Sumut. Padahal DPW PPP Sumut sudah menolak pencalonan Djarot-Sihar karena tidak mencerminkan aspirasi umat Islam di Sumut.
“Menurut saya, praktik politik PPP mencederai perasaan umat Islam di Sumut sebagai pemilih PPP. Dampaknya, hampir pasti umat Islam yang merupakan pemilih PPP di Sumatera Utara, tidak akan memilih pasangan calon yang didukung dan dicalonkan PPP. Selain itu, masyarakat akan meninggalkan PPP dan tidak akan memilih calon anggota legislatif PPP pada pemilu 2019, sehingga dapat dimaknai sebagai politik bunuh diri,” bebernya.
Selain itu, terangnya, perpecahan dalam tubuh PPP yang belum ada tanda-tanda akan selesai melalui musyawarah dan rekonsiliasi. Sangat menyedihkan imbas dari konflik, pagar kantor PPP di jalan Diponegoro Jakarta Pusat samping kantor PDIP selalu ditutup rapat dan dipagari kawat berduri karena kantor PPP masih diperebutkan antara dua kubu yang berseteru.
“Jika prilaku politik tidak diubah dan perpecahan PPP tidak segera disudahi, maka PPP akan tinggal sejarah pasca Pemilu 2019,” ulangnya. (HMS)