REFLEKSI HARI KARTINI: Menjadi Perempuan Hebat Tanpa Kehilangan Akhlak

Oleh: Munawir Kamaluddin,
Adakah yang lebih memesona daripada seorang perempuan yang tangguh dalam langkah, namun teduh dalam sikap?
Yang bicaranya menembus logika, namun bahasanya tetap mengalun dengan sopan dan beradab?
Yang memegang pena untuk mengguncang dunia, namun tetap menundukkan hati di hadapan Rabb-nya?
Saat ini kita mengenang Kartini, perempuan agung yang menulis bukan sekadar kalimat, tapi perlawanan. Yang melawan bukan dengan pedang, melainkan dengan pikiran yang tercerahkan.
Namun, di tengah hiruk-pikuk kemajuan zaman, masihkah kita memahami esensi kebangkitannya? Ataukah kita sibuk mengagungkan kebebasan hingga lupa menjaga kesantunan?
Di sinilah kita perlu kembali. Merenung dalam sunyi, bertanya pada hati:
Apakah menjadi hebat harus melunturkan akhlak?
Apakah menjadi terpelajar harus meninggalkan kelembutan?
Apakah menjadi vokal berarti menyingkirkan rasa malu?
Padahal Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“إِنَّ مِنْ أَحَبِّكُمْ إِلَيَّ وَأَقْرَبِكُمْ مِنِّي مَجْلِسًا يَوْمَ الْقِيَامَةِ، أَحَاسِنَكُمْ أَخْلَاقًا”
“Sesungguhnya orang yang paling aku cintai di antara kalian dan paling dekat tempat duduknya denganku pada hari kiamat adalah orang yang paling baik akhlaknya.”
(HR. At-Tirmidzi no. 2018)
Inilah cermin kehebatan sejati: akhlak yang baik, bukan semata gelar dan pencapaian duniawi.
Dan Al-Qur’an telah menyematkan keagungan akhlak Rasulullah sebagai pedoman umat:
“وَإِنَّكَ لَعَلَىٰ خُلُقٍ عَظِيمٍ”
“Dan sesungguhnya engkau (Muhammad) benar-benar berbudi pekerti yang agung.”
(QS. Al-Qalam: 4)
Kartini pun, dalam surat-suratnya, tidak sekadar menuntut hak, tapi menuntut peradaban yang menghargai perempuan sebagai manusia yang utuh.
Kartini ingin perempuan cerdas, namun tetap santun. Kuat, namun tetap lembut. Kritis, namun tetap tahu tempat.
1. Hebatnya Perempuan dalam Timbangan Islam
Islam tidak meminggirkan perempuan. Sejak awal, perempuan dihormati dalam Islam bukan karena rupa, tetapi karena takwa. Bukan karena suara lantangnya, tetapi karena kemuliaan sikapnya. Allah berfirman:
“إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِندَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ”
“Sesungguhnya yang paling mulia di antara kalian di sisi Allah adalah yang paling bertakwa.”
(QS. Al-Hujurat: 13)
Dalam sejarah Islam, kita mengenal Asma’ binti Abu Bakar yang berani, Aisyah yang cerdas, Khadijah yang dermawan, dan Fatimah yang lembut namun tegas. Mereka adalah simbol kehebatan perempuan yang tidak pernah kehilangan akhlak.
Ibnu Qayyim rahimahullah berkata:
“الدِّينُ كُلُّهُ خُلُقٌ، فَمَنْ زَادَ عَلَيْكَ فِي الْخُلُقِ، زَادَ عَلَيْكَ فِي الدِّينِ”
“Agama itu seluruhnya adalah akhlak. Maka siapa yang melebihi engkau dalam akhlak, berarti ia lebih tinggi darimu dalam agama.”
(Madarij as-Salikin)
Maka di sinilah letak ujian para perempuan hari ini: bagaimana menjadi hebat tanpa kehilangan adab, berpendidikan tinggi namun tetap menjunjung tinggi kesopanan, tampil percaya diri namun tetap dalam bingkai malu yang terpuji.
2. Antara Kebebasan dan Batasan: Di Mana Akhlak Ditempatkan?
Di zaman ketika kata “kebebasan” dielu-elukan bak mantra penyelamat, tak sedikit perempuan yang terjebak dalam ilusi bahwa menjadi bebas berarti lepas dari batas, bahwa menjadi kuat berarti tak perlu taat.
Padahal… Kebebasan sejati bukanlah berjalan tanpa arah, tapi menapaki jalan dengan cahaya petunjuk.
Bukan berkata sesuka hati, tapi menyusun kata dengan tanggung jawab ilahi.
Bukan membuka apa saja, tapi memilih mana yang patut dibuka dan mana yang harus dijaga.
Akhlak bukan penghalang kemajuan, justru dialah pagar keagungan.
Sebagaimana Allah Ta’ala berfirman:
“وَلَا تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ الْجَاهِلِيَّةِ الْأُولَىٰ”
“Dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliyah dahulu.”
(QS. Al-Ahzab: 33)
Ayat ini bukan larangan untuk tampil menawan, tapi peringatan agar jangan tergelincir dalam pamer dan penampilan yang melunturkan marwah.
Sebab perempuan dalam Islam bukan hanya simbol kecantikan, tapi pemilik peran agung dalam membentuk generasi.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“الدنيا متاع، وخير متاع الدنيا المرأة الصالحة”
“Dunia adalah perhiasan, dan sebaik-baik perhiasan dunia adalah wanita yang shalihah.”
(HR. Muslim, no. 1467)
Betapa luar biasa pujian ini. Dalam dunia yang penuh kilau harta dan tahta, wanita shalihah yang berakhlaklah yang justru disebut sebagai perhiasan terbaik.
Ia tidak harus teriak untuk didengar, tidak perlu telanjang untuk dilihat.
Saidatina Aisyah RA. wanita paling berilmu di zamannya, tak pernah kehilangan kelembutan. Ia berani menyampaikan ilmu di depan para sahabat laki-laki, namun tetap menjaga kesopanan dan kehormatannya.
Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu pernah berkata:
“العقل في القلب، والحياء في الوجه، واللسان ترجمانهما”
“Akal itu di hati, rasa malu itu di wajah, dan lisan adalah penerjemah keduanya.”
Maka di tengah derasnya arus media sosial, ketika perempuan mudah viral karena keberanian membuka aib atau tubuh, kita bertanya:
Adakah ruang untuk malu yang bermartabat?
Masihkah tersisa perempuan yang ketika bicara menggugah hati, bukan hanya menggoda pandangan?
Perempuan hebat bukan yang viral karena kontroversi, tapi yang tetap bijak meski disorot publik, yang tetap menjaga meski dilihat ribuan mata, karena ia yakin Allah selalu melihatnya.
“أَلَمْ يَعْلَمْ بِأَنَّ اللَّهَ يَرَىٰ”
“Tidakkah dia mengetahui bahwa sesungguhnya Allah melihat segala perbuatannya?”
(QS. Al-‘Alaq: 14)
3. Menjadi Kartini Masa Kini: Cerdas, Tangguh, Namun Tetap Bermaruah
Dalam lantunan sejarah, Kartini bukan sekadar nama. Ia adalah nyala lilin yang menembus gelap malam patriarki, cahaya yang menuntun perempuan menemukan makna dirinya, bukan sekadar bayang-bayang laki-laki.
Namun… di balik semangat emansipasi itu, adakah kita tetap menggenggam akhlak?
Kini, kita hidup di zaman yang lebih bising, lebih cepat, lebih terbuka. Namun, justru di sanalah letak ujian terbesar: bagaimana menjadi cerdas tanpa congkak, tangguh tanpa meninggalkan maruah, bebas tanpa mengabaikan adab.
Sungguh indah nasihat Nabi Muhammad SAW. yang menjadikan akhlak sebagai mahkota utama perempuan:
“ما رأيت من ناقصات عقل ودين أذهب للب الرجل الحازم من إحداكن”
“Aku tidak pernah melihat makhluk yang lebih mampu mempengaruhi hati laki-laki bijak dibandingkan salah satu dari kalian (perempuan).”
(HR. Bukhari)
Hadits ini bukan merendahkan, tetapi justru menunjukkan kekuatan pesona perempuan , yang jika tak dibingkai dengan akhlak, bisa meluluhlantakkan hati dan nalar.
Perempuan yang hebat di hadapan Allah bukanlah yang lantang di depan kamera, tetapi yang diam-diam berjuang memperbaiki keluarganya, mengasuh anak-anaknya, menanamkan nilai, dan mendoakan negeri ini dengan tulus dari sujud panjangnya.
Seorang ulama besar, Hasan al-Bashri rahimahullah, pernah berkata:
“أفضل النساء، امرأةٌ إنْ غِبتَ عنها حفِظتكَ في نفسها ومالك، وإنْ حضرتَ أسرتكَ بحديثها وخلقها.”
“Wanita terbaik adalah yang ketika engkau tidak di sisinya, ia menjaga kehormatan dirinya dan hartamu. Dan ketika engkau bersamanya, ia menawanmu dengan tutur dan akhlaknya.”
Betapa dalam makna nasihat ini. Kecantikan bukan hanya pada rias wajah, tapi pada senyum yang menyejukkan. Kecerdasan bukan hanya pada gelar akademik, tapi pada kemampuan memahami kapan harus bicara, kapan harus diam, dan kapan harus mendoakan.
“وَقَرْنَ فِي بُيُوتِكُنَّ وَلَا تَبَرَّجْنَ”
“Dan hendaklah kamu tetap tinggal di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliyah dahulu.”
(QS. Al-Ahzab: 33)
Ayat ini bukan pembatas gerak, tapi pelindung harga diri. Kartini masa kini bisa kuliah, bekerja, bahkan memimpin, tetapi bukan dengan menanggalkan jati diri, melainkan membawanya bersama iman dan akhlak yang tak pernah goyah.
Perempuan hebat tak kehilangan cinta di tengah perjuangannya. Ia tetap lembut saat kuat, tetap sabar saat cerdas, tetap bermaruah saat diberi kekuasaan.
4. Jejak Para Muslimah Mulia: Teladan Akhlak yang Abadi
Di sepanjang sejarah Islam, ada banyak perempuan yang menjadi teladan bagi kita, seperti bintang-bintang yang selalu bersinar, menerangi langit kehidupan. Mereka adalah ibu-ibu yang dengan penuh cinta menjaga keluarga, juga wanita yang memperjuangkan kebenaran tanpa merusak kehormatan diri.
Perhatikanlah Siti Khadijah RA, istri pertama Rasulullah SAW. yang bukan hanya wanita kaya, namun juga wanita yang penuh pengorbanan. Ketika suaminya menerima wahyu pertama, ia adalah orang pertama yang menenangkan, mendukung, dan memberi keyakinan. Khadijah bukan hanya wanita yang cerdas dan berani, tetapi ia adalah teladan utama dalam kesetiaan dan akhlak mulia.
Namun, Khadijah lebih dari sekadar pendukung, ia adalah pahlawan yang meneguhkan kebenaran dengan kerendahan hati dan kesabaran. Tidak ada yang lebih indah daripada mencontoh Khadijah dalam hal ketulusan, keikhlasan, dan pengorbanan.
Lalu, kita ingat pula Siti Aisyah RA. Ia adalah sumber ilmu, tokoh intelektual, dan ahli hadis yang hidup dalam zaman penuh gejolak, tetapi tetap menjaga akhlaknya dengan luar biasa. Aisyah menyampaikan sabda Rasulullah SAW, dengan begitu murni, seolah setiap kata yang keluar darinya adalah mutiara yang menggugah hati.
“إِنَّ أَحْسَنَ النَّاسِ فِي سَمْتِهِ وَحُسْنِهِ وَفِيهِ أَيْنَ أَعَمَّتِهِ مَنْ أَحَبَّ نَفْسَهُ فِي اللّٰهِ”
“Sesungguhnya manusia terbaik adalah yang terbaik dalam akhlaknya dan kesabarannya. Dialah yang mencintai dirinya karena Allah.”
(HR. Al-Bukhari)
Kepada Aisyah, Rasulullah SAW. memberi gelar yang tak ternilai harganya. Ia bukan hanya istri, tetapi murid yang paling utama bagi Nabi dalam hal ilmu, dan sekaligus, wanita yang paling mulia dalam menjaga akhlak.
Begitu juga Fatimah az-Zahra, putri Rasulullah SAW. yang dalam setiap peran yang dia mainkan, (sebagai istri, ibu, dan anak),selalu menjunjung tinggi akhlak yang mulia. Fatimah tidak hanya dihormati karena kedudukannya sebagai putri Rasulullah, tetapi juga karena kesabarannya, kedermawanannya, dan kesetiaannya pada ajaran Islam.
Fatimah menunjukkan bahwa kemuliaan seorang perempuan bukanlah diukur dari seberapa banyak pengikutnya, tetapi dari seberapa besar ia mengamalkan nilai-nilai yang telah diturunkan Allah dan Rasul-Nya.
Para wanita ini adalah bintang-bintang yang tak pernah redup, mereka menunjukkan kepada kita bahwa menjadi perempuan yang hebat bukanlah dengan melupakan akhlak, melainkan dengan meneguhkan prinsip dalam setiap langkah, menjaga kehormatan diri, dan mengamalkan ilmu dengan penuh tanggung jawab.
Penutup:
Dalam menghadapi zaman yang terus berkembang, di mana perempuan banyak diberi ruang untuk bersuara, berekspresi, dan mengukir prestasi, kita perlu bertanya pada diri sendiri: Apakah kita sudah menyelaraskan setiap langkah dengan akhlak yang mulia? Adakah kita tetap menjaga kehormatan diri, menjaga batasan yang Allah tentukan, dan terus berusaha menjadi perempuan yang bukan hanya cerdas, tetapi juga berakhlak?
Sebagai perempuan hebat, kita tak perlu melepaskan diri dari identitas kita, tetapi justru mempertegas siapa kita di mata Allah dan dunia. Kartini masa kini adalah perempuan yang sadar akan peran pentingnya, yang menuntut ilmu dan prestasi, tetapi tak pernah kehilangan nilai-nilai luhur yang diwariskan oleh Rasulullah ﷺ dan para sahabatnya.
Mari kita jaga diri, jaga hati, dan jaga akhlak. Sebab, seorang perempuan yang hebat adalah yang berhasil menjadi pribadi yang unggul, cerdas, dan tangguh, namun tetap bermaruah, menjaga akhlaknya dalam setiap langkah.
Semoga uraian ini dapat memberi inspirasi dan membuka refleksi mendalam mengenai bagaimana kita, sebagai perempuan, dapat menjadi pribadi yang luar biasa tanpa melupakan akhlak yang mulia.. Wallahu A’lam Bishawab