Gereja Papua Larang Azan, MUI: Itu Ancaman Bagi Persatuan dan Kesatuan Indonesia

 Gereja Papua Larang Azan, MUI: Itu Ancaman Bagi Persatuan dan Kesatuan Indonesia

azan (ilustrasi; net)

JAKARTA – Majelis Ulama Indonesia (MUI) menyesalkan keluarnya surat pernyataan Persekutuan Gereja-Gereja di Kabupaten Jayapura (PGGJ). Karena delapan poin yang isinya jauh dari semangat persaudaraan, toleransi, kebersamaan, dan kekeluargaan.

“Pernyataan tersebut dapat mengancam persatuan dan kesatuan warga bangsa yang hidup bersama di Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan UUD NRI Tahun 1945,” kata Wakil Ketua Umum MUI Zainut Tauhid Sa’adi, Selasa (20/3/2018).

MUI mengingatkan kembali, kemerdekaan Indonesia adalah ikhtiar bersama oleh semua anak bangsa. Oleh sebab itu, tidak boleh ada perasaan satu golongan merasa lebih berhak dan lebih istimewa dari golongan yang lainnya.

“Karena hal itu dapat merusak dan menciderai nilai-nilai persaudaraan kebangsaan yang selama ini kita hormati dan kita junjung tinggi,” ujar Zainut yang juga Anggota Komisi IV DPR RI dari Fraksi PPP asal Dapil Jawa Tengah IX ini.

“MUI menilai hahwa kebhinnekaan adalah rahmat Allah yang harus kita syukuri bukan untuk diingkari. Sudah menjadi kewajiban kita bersama untuk merawat dan menjaganya dengan hidup berdampingan secara damai, saling menolong dan bekerja sama dalam membangun Indonesia yang merdeka, bersatu berdaulat, adil dan makmur,” paparnya.

Bagi Zainut, beragama adalah perintah Tuhan yang paling hakiki, dan setiap warga negara diberikan hak kebebasan untuk memeluk agama dan beribadah menurut agama dan kepercayaannya itu.

Untuk itu, MUI menyampaikan, tidak boleh ada orang atau kelompok orang yang melarang, menghalangi dan mengintimidasi orang lain dalam melaksanakan ajaran agamanya, karena hal itu bertentangan dengan konstitusi dan hak asasi.

MUI juga mengajak semua pihak khususnya tokoh-tokoh agama setempat untuk duduk bersama, melakukan dialog dan membangun komunikasi dari hati ke hati untuk mencari solusi agar tercipta kehidupan yang harmoni, dan persaudaraan sejati.

“Kami yakin melalui motto Kabupaten Jayapura “Khena Mbay Umbay” (Satu Hati Ceria Berkarya Meraih Kejayaan) dapat dicapai solusi yang maslahat dan bermartabat di Tanah Papua,” pungkas Zainut.

Berikut 8 tuntutan PGGJ yang ditandatangani 15 pendeta di Jayapura:
1. Bunyi Adzan yang selama ini diperdengarkan dari toa kepada khalayak umum harus diarahkan ke dalam masjid.
2. Tidak diperkenankan berdaqwa di seluruh tahan Papua secara khusus di Kabupaten Jayapura.
3. Siswa-siswi pada sekolah-sekolah negeri tidak menggunakan pakaian seragam/busana yang bernuansa agama tertentu.
4. Tidak boleh ada ruang khusus seperti mushala-mushala pada fasilitas umum, sekolah, rumah sakit, pasar, terminal, dan kantor-kantor pemerintah.
5. PGGJ akan memproteksi di area-area perumahan KPR BTN tidak boleh ada pembangunan mesjid-mesjid dan mushala-mushala.
6. Pembangunan rumah-rumah ibadah di Kabupaten Jayapura WAJIB mendapat rekomendasi bersama PGGJ, pemerintah daerah dan pemilik Hak Ulayat sesuai dengan peraturan pemerintah.
7. Tinggi bangunan rumah ibadah dan menara agama lain tidak boleh melebihi tinggi bangunan gedung gereja yang ada di sekitarnya.
8. Pemerintah Kabupaten Jayapura dan Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten Jayapura WAJIB menyusun Raperda tentang kerukunan umat beragama di Kabupaten Jayapura.
Berdasarkan 8 poin penting itu maka sikap PGGI terkait pembangunan Masjid Al-Aqsha:
1. Pembangunan menara mesjid Al-Aqsha harus di hentikan dan dibongkar.
2. Menurunkan tinggi gedung masjid Al-Aqsha sejajar dengan tinggi bangunan gedung gereja yang di sekitarnya.
Facebook Comments Box