Mengakhiri Kecurangan Pemilu

 Mengakhiri Kecurangan Pemilu

Ilustrasi Kertas Suara pada pemilu

Oleh: Musni Umar, Sosiolog dan Rektor Universitas Ibnu Chaldun Jakarta

Salah satu persoalan besar yang dihadapi  setiap pelaksanaan  pemilihan umum di Indonesia ialah kecurangan.  Arti  kecurangan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia ialah perihal curang, perbuatan  yang  curang, ketidakjujuran, keculasan.

Ketidakjujuran dalam pelaksanaan pemilu selalu menjadi persoalan setiap kita melaksanakan  pemilu, tetapi sampai saat ini belum bisa diatasi, apakah pemilihan parlemen (legislatif), pemilihan Pesiden-Wakil Presiden, atau pemilihan Kepala Daerah.

Untuk menyempurnakan pelaksanaan pemilu termasuk mencegah kecurangan  dalam pelaksanaan pemilu,  menjelang pelaksanaan pemilu, DPR bersama Pemerintah, selalu selalu merevisi undang-undang pemilu.

Akan tetapi faktanya, kecurangan selalu terjadi dalam pelaksanaan pemilu.

Sumber Kecurangan

Sumber kecurangan dalam pemilihan umum setidaknya tiga faktor.  Pertama, faktor yuridis; kedua, faktor  teknis;  ketiga, faktor manusia.

Undang-undang (UU) yang dibuat adalah produk politik dari berbagai kepentingan yang sedang berkuasa, baik di pemerintah maupun di DPR. Oleh karena itu, UU apapun termasuk UU Pemilu selalu mempunyai kekurangan.

Pada umumnya mereka yang mempunyai berkepentingan, selalu mencari celah dari aspek kekurangan suatu UU untuk mewujudkan kepentingannya. Faktor pertama yang dilihat, apakah dari aspek yuridis (UU) ada celah untuk  dipergunakan guna mewujudkan kepentingannya.

Selain itu, mencari celah dari kelemahan dalam pelaksanaan secara teknis.  Persoalan teknis yang tidak pernah selesai mulai dari Daftar Pemilih Sementara (DPS) sampai Daftar Pemilih Tetap (DPT). Faktor teknis dalam penetapan siapa yang berhak menjadi pemilih selalu tidak bisa diselesaikan dengan baik.

Di masa pemerintahan SBY muncul gagasan untuk mewujudkan Single Identity Card untuk mengakhiri KTP ganda yang bisa dipergunakan memilih lebih dari satu  kali. Jika tidak salah, kemudian melahirkan gagasan E-KTP.  Akan tetapi, malangnya justeru dijadikan sarana korupsi berjamaah seperti diungkap Setya Novanto di pengadilan Tipikor bahwa para petinggi partai politik di parlemen (DPR) dan di Kementerian Dalam Negeri RI menerima suap dari proyek E-KTP.

Maka gagasan baik untuk memperbaiki sistem pemilu dengan satu kartu identitas berupa KTP sehingga kecurangan dari daftar pemilih bisa diatasi, akhirnya gagal.

Terakhir adalah faktor manusia yaitu  pelaksana dan pengawas pemilu   Ini paling berbahaya dan menjadi titik paling lemah dalam pelaksanaan pemilu di Indonesia.  Titik paling lemah ialah pelaksana di PPS dan PPK, dan Panwas.  Permainan dalam pemilu adalah ditingkat desa dan kelurahan serta di tingkat kecamatan.  Pelaksana pemilu di tingkat ini yang direkrut adalah para  pencari kerja.  Honor mereka kecil dan tidak dibayar tiap bulan.  Selain itu, bersfat Ad hoc – hanya dipekerjakan menjelang dan saat pemilu.

Oleh karena itu, maka mereka yang sedang bertarung untuk merebut kekuasaan atau mempertahankan kekuasaan,  menyogok panitia pelaksana ditingkat desa/kekurahan dan kecamatan serta para pengawas  untuk digelembungkan suara mereka.  Inilah praktik kotor dalam pemilu yang menurut saya masih akan dipraktikkan pada pemilu 2019 termasuk pilkada serentak 2018.

Menurut saya, cara mengakhiri atau mencegah kecurangan dalam pemilu 2019 dan pilkada serentak 2018,   panitia pelaksana dan pengawas pemilu di tingkat desa/kelurahan dan kecamatan harus direkrut mereka yang jujur dan rekam jejaknya yang baik.  Selain itu, mereka wajib diawasi ekstra ketat serta diberi honor yang memadai.

Allahu a’lam bisshawab

Facebook Comments Box