Pilih yang Mana, Pilkada Langsung vs DPRD?

 Pilih yang Mana, Pilkada Langsung vs DPRD?

Irwan adalah 1. Wakil Sekretaris Pengurus Pusat Badan Advokasi Hukum dan HAM Partai Golkar (PP BAKUMHAM Partai Golkar), 2017-2019

Oleh: Irwan, SH, Pengurus DPC Perhimpunan Advokad Indonesia (PERADI) Jakarta Pusat Periode 2018-2022

Selama 72 tahun kemerdekaan, pemilihan kepala daerah mengalami perubahan yang signifikan. Mulai kepala daerah dipilih presiden, lalu DPRD, sampai saat ini dipilih langsung oleh rakyat. Permasalahan pencalonan pun berkembang dengan diterimanya perseorangan menjadi calon kepala daerah adalah serba-serbi yang patut dicatat.

Open Legal Policy

UUD 1945 Pasal 18 ayat (4) pada pokoknya menyatakan gubernur, bupati dan walikota dipilih secara demokratis. Mekanisme demokratis yang dimaksud konstitusi tidak diatur secara tegas, sehingga alternatif mekanisme manapun yang dipilih Pemangku Kebijakan adalah konstitusional. Penentuan pilihan baik secara langsung maupun melalui DPRD merupakan kebijaksanaan (legal policy) yang menjadi wewenang pembentuk UU.

Meskipun beberapa kali perubahan sistem, akan tetapi melalui UU No.10/2016, pemangku kebijakan menghendaki pemilihan langsung. Asumsi dasarnya sebagai perwujudan demokrasi dengan penyerahan kedaulatan kepada rakyat menentukan pemimpinnya. Bahkan segala perangkat untuk melaksanakan pemilihan langsung sudah dibentuk dengan segala alur penyelesaian masalah sengketa.

Mana Yang Terbaik?

Polarisasi sistem pemilihan menjadi perdebatan berkepanjangan. Pemilihan kepala daerah secara langsung dengan pelibatan rakyat dalam kontestasi daerah adalah momentum rakyat menentukan pemimpinnya dalam kerangka demokrasi. Pertanyaannya sudah tepatkah mekanisme tersebut diberlakukan dalam kondisi masyarakat Indonesia saat ini.

Kebijakan regulator menutupi kelemahan direct election, terlihat sekedar tambal sulam. Karena regulasi yang ditujukan memperbaiki bugs ternyata tidak efektif, implikasi negatif yang ditimbulkan tetap muncul setiap tahunnya.

Secara kultur masyarakat Indonesia terlihat belum siap. Debat kusir saling menghina antar pendukung tetap muncul bahkan eskalasinya cenderung meningkat. Setiap tahun uang negara digelontorkan semakin membesar, otomatis diikuti peningkatan cost politic calon kepala daerah seiring pertumbuhan penduduk dan pertambahan Provinsi/Kabupaten/Kota karena pemekaran wilayah.

Beberapa kajian menyimpulkan direct election system adalah sistem terbaik dan harus dipertahankan dengan senantiasa melakukan inovasi, meskipun diakui sangat membebani keuangan negara.

Apalagi tahun politik ini tentu elit negeri sangat hati-hati dalam mengambil keputusan, karena tidak mau distigma perusak demokrasi pengkebiri hak rakyat, akibatnya pada perolehan suara Pileg maupun Pilpres 2019. Apakah jawabannya dengan mengembalikan sistem pemilihan kepala daerah melalui DPRD, harus dianalisis lebih jauh.

Untuk menganalisis kelemahan tersebut harus ditentukan skala prioritas, yang memberikan ruang perkembangan pemikiran untuk menyelesaikan permasalahan sistem pemilihan, secara sederhana 3 aspek yakni: Biaya, Partisipasi, dan Pasca Effect.

Analisis pertama yakni biaya. Tak dapat dipungkiri kebutuhan dana pemilihan langsung sangat besar dibandingkan dengan melalui DPRD, meliputi dana penyelenggaraan serta cost politics calon kepala daerah selama proses pemilihan.

Kedua, terkait partisipasi. Keterlibatan stakeholder sampai dengan partisipasi seluruh rakyat dalam menentukan pemimpin daerahnya adalah keunggulan Pemilihan langsung. Terakhir masalah pasca effect, pemilihan kepala daerah melalui DPRD sangat diunggulkan karena dapat menghilangkan kerawanan sosial dan konflik horisontal masyarakat sedangkan pemilihan langsung harus diperhadapkan pada perpecahan menjurus SARA yang merusak sendi persatuan bangsa.

Perbaikan Sistem Pemilihan

Apabila political will pemangku kebijakan mengarah ke pemilihan melalui DPRD dalam rangka penghematan, maka kelemahan Representation Election System harus diperbaiki. Tuduhan rawan akan korupsi harus dijawab dengan memberikan prosedur serta mekanisme yang tegas dan rigid dalam pelaksanaan pemilihan di DPRD. Pelibatan KPK, Kepolisian, dan Kejaksaan dalam pengawasan pemilihan mutlak dilakukan untuk menghindari praktik kotor gratifikasi dan jual beli suara anggota DPRD.

Terkait minimnya partisipasi masyarakat mesti ditemukan pendekatan yang tepat sehingga rumusannya dapat diterima seluruh pihak, dengan membuka selebar-lebarnya partisipasi aktif masyakat dalam penelitian latar belakang, program, dan visi-misi calon, ataupun mengharuskan adanya dukungan langsung dari masyarakat sebagaimana jalur perseorangan.

Begitu pun bila Pemerintah dan DPR masih mempertahankan sistem pemilihan langsung, kelemahannya harus diperbaiki. Partisipasi politik mesti dikelola maksimal demi menghindari implikasi negatif pasca pemilihan. Mekanisme pemilihan harus dibuat sekaku mungkin, dengan meminimalisir ruang fleksible yang dapat diekploitasi untuk mencederai demokrasi.

Misalnya keberpihakan penyelenggara atau keterlibatan ASN. Untuk menekan biaya, pembuat kebijakan harus segera mengaplikasikan pemilihan dengan sistem elektronik. Sistem berbasis Teknologi Informasi meringankan keuangan negara, dan calon kepala daerah tidak harus membiayai saksi TPS karena seluruh data terekam dan system online memberikan kemudahan pengawasan bagi stakeholder pemilihan kepala daerah.

Pendekatan pada aspek tersebut harus dikelola seksama, sehingga mendapatkan formula tepat mengatasi permasalahan pemilihan kepala daerah. Pemerintah dan DPR harus bijaksana menentukan sikap, setiap kebijakan harus berdasarkan analisis Filosofis, Sosiologis, dan Yuridis dengan mengutamakan keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum. Akhirnya semua tergantung kebijaksanaan Pemerintah dan DPR. []

Facebook Comments Box