Awas Politisasi Masjid, MUI: Hubungan antara Agama dan Negara Sangat Erat
BALIKPAPAN – Ketua Komisi Dakwah dan Pengembangan Masyarakat MUI Pusat, Kiai Cholil Nafis, PhD mengupas tentang hubungan antara agama dan negara tak bisa terpisahkan. Keduanya sebagai jangkar penyokong NKRI yang dikenal religius dan nasionalis.
Menurut Kiai Cholil, sapaan Cholil Nafis, jika hubungan keduanya itu retak maka tak mustahil sebelum tahun 2030 Indonesia benar-benar bubar. Namun jika hubungan antara kaum nasionalis bersinergi dengan kaum religius maka sangat mungkin pada tahun 2045, satu abad kemerdekaan Indonesia akan mancapai masa keemasan atau Indonesia Emas.
“Harmoni agama dan kebangsaan menjadi sesuatu yang niscaya. Agama membutuhkan kekuasaan untuk menciptakan keteraturan, demikian juga negara membutuhkan agama agar negara mempunyai nilai peradaban dan kemanusiaan,” kata Kiai Cholil dalam Acara Sosialisasi Peta dan Pedoman Dakwah di Balikpapa, Provinsi Kalimantan Timur, Selasa (24/4/2018) kemarin.
Kiai Cholil menyetir apa yang diungkapkan oleh Hujjatul Islam Imam Abu Hamid al Ghazali: “Agama dan kekuasaan itu bagai saudara kembar. Agama adalah pondasinya sedangkan kekuasaan adalah penjaganya. Sesuatu yang tanpa pondasi dan dasar maka ia akan roboh, demikian juga sesuatu yang tak ada penjaga akan mudah hilang digondol maling.”
“Agama dan kekuasaan menjadi saudara kembar. Menurut pengalaman Kiai Cholil punya anak kembar itu, jika keduanya selalu kumpul akan sering bertengkar dan ada yang terhegemoni. Begitu juga hubungan ulama dan umara’ harus sinergi pada posisinya masing-masing,” papar Kiai Cholil.
Untuk itu, lanjutnya, Pemerintah berkewajiban menciptakan keteraturan sedangkan ulama untuk memberi nilai langit dalam pementintahan. Namun juga antara ulama dan umara’ jangan saling berjauhan karena sama merindukan untuk kebaikan keduanya.
Lebih lanjut Kiai Cholil yang dosen Pascsarjana Universitas Indonesia (UI) ini mengurai tentang wacana politisasi Masjid. Menurutnya, Masjid itu rumah Allah yg harus sering dikunjungi oleh umat muslim.
Sesuai fungsinya, sambunnya, masjid selain sebagai rumah ibadah mendekatkan diri kepada Allah SWT juga sebagai sarana interaksi dan membangun solidaritas sosial
Ia menceritakan, sejak zaman Nabi SAW peran dan fungsi masjid adalah sarana membina hubungan vertikal dan khorizontal. Demikian pada zaman khulafaurrasyidin. Bahkan masa kerajaan Islam di Indonesia bangunan masjid sengaja dibuat bagian dalam dan serambi untuk menfungsikan yang bagian dalam adalah sarana ibadah. Sedangkan serambinya untuk musyawarah warga dengan berbagai topiknya, termasuk masalah politik.
“Apa arti politisasi masjid? Mungkin yg dimaksud adalah menjadikan masjid untuk sarana kampanye dukung mendukung calon atau bahkan untuk mencaci maki calon lain, tentu kalau artinya itu sangat setuju dilarang diserukan anti politisasi masjid karena tak pantas menggunakan sarana masjid bukan pada fungsinya,” jelas Kiai Cholil.
Meskipun, pikirnya, sebenarnya ketika bicara rumah ibadah dan politik dalam kontek di Indonesia bukan hanya masjid. Maka juga bicara rumah ibadah agama lainnya yg telah diakui di Indonesia demi keadilan. Jangan sampai kampanye anti politisasi masjid demi melancarkan kampanye politik di rumah ibadah non muslim atau untuk memenangkan calonnya yang jauh dari kehidupan dan aktivitas masjid.
Baginya, kegiatan pengajian dan ceramah di masjid itu wajib diantara temanya tentang politik. Namun yang dibahas tentang politik keadaban dan kebangsaan. Soal politik kekuasaan dan dukung mendukung calon cukup disampaikan di luar masjid agar tak memicu konflik bagi jemaah masjid yang beda pilihan.
“Allah menjadikan manusia sebagai khalifah (bukan khilafah) di muka bumi diantara tugasnya adalah memperbaiki orang lain. Tak cukup bagi manusia yang jadi khalifah hanya menjadi orang shalih (baik secara individu), namun selain shalih juga harus muslih (memperbaiki orang lain). Hal itulah diselaikan melalui sarana politik,” tegasnya.
Di akhir pemikirannanya, Kiai Cholil menyampaikan bahwa kagiatan masjid jangan dibungkam dan jangan didistorsi oleh kepentingan politik jangka pendek agar bangsa ini sejalan antara ruh agama dan spirit kenegaraan. Biarkan Masjid berperan menyuarakan kebenaran sedangkan penguasa adalah penjamin keteraturan dan stabilitas sosial.
“Jangan dibenturkan kedua suara kembar itu, yaitu agama dan kekuasaan sehingga menjadi konflik. Kalau agama dibenturkan kekuasaan politik Khawatir kebersamaan dalam bingkai NKRI menjadi bubar,” pungkasnya.
(Laporan Sekretaris Komisi Dakwah MUI Pusat Ahmad Zubaidi, MA langsung dari Balikpapan)