Untuk Laju Ekonomi Indonesia, Perlukah Buy Back Saham BUMN?
Oleh: Helmi Adam*
Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) anjlok 2,37 persen. Tengok saja hari Ahad lalu tertanggal 20 Juni 2018 IHSG berada di level 5.851,67. Jika dibandingkan dengan bursa saham lainnya di kawasan Asia, performa IHSG paling buruk.
Bandingkan saja, indeks Nikkei menguat 0,49%, indeks Hang Seng menguat 0,41%, indeks Strait Times menguat 0,3%, indeks Kospi menguat 1,11%, indeks SET (Thailand) menguat 0,67%, indeks KLCI (Malaysia) menguat 0,15%, dan indeks Shanghai melemah 0,59%.
Sejak awal tahun 2018, koreksi IHSG sudah mencapai 7,93%. Lalu, apakah koreksi nilai saham membuat valuasi IHSG menjadi Murah ? atau valuasi IHSG perusahaan kita yang memang kemahalan ?
Menurut Reuters, valuasi IHSG masih terbilang mahal. Saat ini price-earnings ratio atau disingkat P/E Ratio adalah alat utama penghitungan harga saham suatu perusahaan dibandingkan dengan pendapatan perusahaan.
Jika hal itu dihitung maka IHSG memiliki P/ER, 16,79x, lebih tinggi dibandingkan indeks Nikkei (16,63x), indeks KLCI (16,54x), indeks SET (15,58x), indeks Shanghai (12,65x), indeks Kospi (12,1x) indeks Hang Seng (11,58x), dan indeks Strait Times (10,69x).
Itu artinnya valuasi saham kita yang kemahalan dan harus ada penyesuaian. Tanggal 20 Juni 2018 lalu, ketika pasar saham baru dibuka IHSG mengalami anjlok paling dalam hal ini berakibat P/ERnya menjadi lebih rendah.
Sebenarnya mahalnya valuasi IHSG tak lepas dari penguatannya yang sudah terjadi sepanjang tahun 2017. IHSG menguat hingga 19,99%, dan ini merupakan penguatan terbesar ketiga di Asia Tenggara setelah Vietnam dan Filipina.
Padahal perekonomian dalam negeri yang berada dalam tekanan (pertumbuhan ekonomi hanya naik 3bps, dari 5,04% menjadi 5,07%), laju IHSG terdongkrak naik oleh dinaikannya peringkat surat utang Indonesia oleh Standard & Poor’s dan Fitch Ratings.
Banyaknya bursa saham yang valuasinya lebih murah dari IHSG membuat investor asing mengalihkan dananya keluar dari tanah air. Uang asing yang kabur mencapai Rp 1,12 triliun dari pasar saham sampai hari ini.
Hal ini menyebabkan Investor menjadi waspada terhadap valuasi IHSG yang masih mahal. Pasalnya, dari dalam negeri tak ada faktor yang bisa mendongkrak kinerja IHSG.
Laju ekonomi Indonesia dapat dikatakan masih lambat. Pada bulan Mei kemarin, Badan Pusat Statistik (BPS) mengumumkan pertumbuhan ekonomi kuartal-I 2018 di level 5,06% YoY padahal dlam hitungan beberapa lembaga ekonomi kiat bisa tumbauh 5,18% YoY. Lemahnya laju ekonomi domestik salah satunya disebabkan oleh konsumsi rumah tangga yang belum bisa bangkit.
Sepanjang 3 bulan pertama tahun ini, konsumsi rumah tangga hanya mampu tumbuh 4,95% YoY, tak jauh berbeda dengan capaian periode yang sama tahun lalu sebesar 4,94%. Padahal, perbaikan konsumsi diharapkan mampu menopang laju ekonomi domestik.
Memasuki kuartal 2, laju konsumsi rumah tangga masih saja lambat. Sepanjang Mei, Bank Indonesia (BI) mencatat penjualan ritel hanya tumbuh sebesar 4,4% YoY, tak jauh berbeda dengan capaian Mei 2017 yang sebesar 4,3% YoY.
Padahal, bulan puasa tahun ini sudah dimulai sejak pertengahan Mei, sementara bulan puasa tahun lalu baru dimulai pada akhir Mei, sehingga seharusnya penjualan ritel bisa tumbuh lebih kencang.
Di sisi lain, BI malah mengindikasikan akan menaikkan suku bunga acuan. Namun Jika suku bunga acuan dinaikkan, maka laju ekonomi Indonesia bisa kian lambat. Dan tentunya akan menjadi sentimen “negatif” bagi bursa saham.
Oleh karena itu, pemerintah harus hati-hati dalam hal ini. Karena, jika salah langkah, negara akan mengakami kerugian yang signifikan.
Sebelum menaikkan suku bunga acuan pemerintah harus melakukan hitungan yang cermat untuk melakukan Buy Back saham BUMN di bursa saham agar menjaga valuasi saham BUMN tidak terus rontok dan merugikan.
Mengapa harus cermat menghitung? Karena koreksi global dan emerging markets, dan tidak ada terobosan domestik. Sedangkan kita ketahui sejumlah sentimen yang terjadi seperti, kenaikan suku bunga acuan Bank Sentral Amerika Serikat (The Fed), kembali memanasnya perang dagang antara China dan Amerika Serikat (AS), keputusan Bank Sentral Eropa (ECB) untuk mencabut stimulus (quantitative easing), serta menanti hasil keputusan rapat Organization of the Petroleum Exporting Countries (OPEC) pada 22-23 Juni di Wina yang cenderung bakal memangkas produksi minyak.
Oleh kerena itu, BUMN ini jangan sembarangan ambil langkah yang tidak bijak dan justru akan merugikan negara.
Saat ini gangguan pasar keuangan di eksternal cukup kuat. Bahkan di pasar spot global rupiah sudah tembus ke level Rp 14.100 per dolar AS. Oleh karena itu BI dan semuanya dalam hal ini Badan Usaha Milik Negara (BUMN) harus melakukan koordinasi buy back, untuk menahan harga saham.
Hal ini untuk mengantisipasi risiko jika harga saham anjlok pada perdagangan kamis, maka intervensi bisa dilakukan baik dari sisi pemerintah maupun Bank Sentral. Jadi saham-saham BUMN yang turun bisa di buyback. BPJS Kesehatan dan BPJS Tenaga Kerja juga bisa lakukan aksi beli.
Namun ini juga harus dengan kehati-hatian pasalnya, jika IHSG sukses tembus ke level support terdekat 5.650 maka bukan tidak mungkin akan berlanjut ke 5.500. Jika ini terjadi malah akan merugikan pemerintah. Tapi jika pengaruh eksternal tidka terlalu dalam bisa menyebabkan IHG rebound ke 6.000 kembali. Oleh karena itu kehati-hatian pemerintah penting dalam melihat pengaruh eksternal.
Penulis Adalah Direktur Syafaat Foundtion