Firman Soebagyo Minta Jokowi Belajar Tata Negara

 Firman Soebagyo Minta Jokowi Belajar Tata Negara

Dewan Pakar DPP Golkar dan Wakil Ketua Baleg DPR RI Firman Soebagyo

JAKARTA, Lintasparlemen.com – Indonesia adalah bangsa besar. Bangsa Indonesia yang suatu saat nanti menjadi bangsa yang disegani oleh negara-negara sahabat karena memiliki martabat tinggi.

Potensi Indonesia menjadi negara maju sangat besar. Tinggal bagaimana peran Pemerintah dan DPR sama-sama bersinerji dalam membuat UU dan menjalankan regulasi itu. Lembaga legislatif yabg memiliki fungsi pengawasan dan pemerintah sebagai lembaga eksekutif berfungsi menjalankan UU itu dengan baik untuk rakyat.

Karena itu, menurut Wakil Ketua Baleg DPR RI Firman Soebagyo, melalui UU yang dibahas di DPR sebagai aturan bernegara akan mampu membuat bangsa ini semakin dihargai bangsa lain. Namun, UU itu harus dijalankan oleh pemerintah sebagai pemangku kepentingan.

Sekjen Soksi ini juga mencermati pola sistem perpolitikan nasional antara dua peran vital antara partai politik dengan anggota DPR yang cenderung tumpang tindih kewenangannya. Sehingga perlu diatur kembali agar ketua umum atau presiden partai tak sewenang-wenang memecat kadernya yang duduk di lembaga legislatif.

Saat wawancara dengan Lintasparlemen.com Ketua Umum Ikatan Keluarga Kabupaten Pati ini juga tanggapan Presiden Joko Widodo yang meminta DPR membatasi pembuatan UU di Senayan. Jokowi meminta, agar pihak DPR jika membahas UU lebih mementingkan kualitas daripada kuantitas.

20160407_120729
Wakil Ketua Baleg DPR RI, Firman Soebagyo

Mau tahu seperti apa hasil wawancara Janah dan Mahabbahtaein dari Lintasparlemen.com dengan Wakil Ketua Fraksi Partai Golkar DPR RI Firman Soebagyo berikut ini:

Bisa dijelaskan kenapa aturan kita di Indonesia cenderung mengarah pada regulasi terpola pada mekanisme  korup?

Sistem ketatanegaraan kita ini, mengatur kekuatan atau menganut trias politika. Di mana ketiga lembaga seperti yudikatif, legislatif dan eksekutif memiliki kesetraan yang sama. Oleh karena itu, saya heran kenapa fasilitas yang dimiliki oleh DPR jauh dengan apa yang dimiliki oleh pemerintah sebagai eksekutif.

Bisa dibayangkan, seorang Dirjen atau Eselon 1 saja, ruangannya sangat luar biasa.

Bagaimana dengan partai politik atau parpol sebagai gambaran DPR sering disebut sarangnya koruptor?

Terus soal partai politik, tidak ada satupun partai politik yang mendoktrin kadernya untuk berkorupsi. Seseorang kader melakukan korupsi karena mungkin sebab-akibat, barangkali dia mempunyai keinginan lebih tapi kemampuannya terbatas. Ya seperti itulah kejadiannya. Jangan dikontraskan bahwa partai politik adalah orang-orang yang paling korup. Memangnya LSM-LSM (lembaga swadaya masyarakat) itu tidak korup?

Mereka dari LSM itu dengan menggunakan uang dari luar negeri itu dan tidak dilaporkan itu bukan uang korup juga? Mereka bekerja untuk siapa? Makanya saya setuju zaman orde baru, LSM yang tidak benar dibumi-hanguskan saja. (Mereka LSM tak benar, red) Hanya mengganggu kita dalam upaya membangun negeri.

Bagaimana Anda memaknai pembagian kekuasaan politik antara DPR dan partai politik yang sering melakukan pergantian antar waktu (PAW). Padahal, anggota DPR itu dipilih atas nama rakyat rakyat di daerah untuk mewakilinya di Senayan?

Begini, seorang menjadi anggota DPR itu tentu diusulkan oleh partai politik. Jika seorang menjadi anggota DPR memang wajib menjadi anggota partai politik. Ketika sudah terpilih, mereka bernanung bersama yang disebut fraksi. Tugasnya adalah melakukan tugas-tugas politik yang diinstruksikan oleh fraksi atau partainya.

Oleh karena itu keputusan yang diambil kawan-kawan di DPR ini adalah keputusan partai politik. Makanya, anggota DPR tidak bisa meninggalkan atau melupakan peran partai politiknya. Kita ini orang partai, mau tidak mau, suka tidak suka, kita harus patuh dengan ketua partai, siapapun ketua umum partainya.

Semuanya ada mekanisme dan aturannya. Di dalam tata tertib (UU) kita jelas. Seseorang berhenti dari jabatannya ketika meninggal dunia. Mengundurkan diri dan kemudian berhalangan tetap, seperti terkena kasus hukum, tiga bulan berturut-turut tidak hadir, anggota DPR itu mendapat sanksi.

Jika Anda melihat aturan seperti itu sudahkah regulasi itu sudah layak disebut baik?

Aturannya sebenarnya sudah cukup bagus, kalau itu dilakukan dengan baik dengan benar harusnya tidak ada masalah.

Bagaimana tanggapan Anda soal anggota DPR dipecat oleh parpolnya?

Kalau saat ini ada seseorang yang dipecat oleh partainya, tentunya itu sudah urusan internal partainya. Memang ada aturan dalam undang-undang partai politik yang perlu dikaji ulang bagaimana mekanisme pemecatan agar partai tidak sewenang-wenang memecat kadernya yang sedang berjuang di lembaga legislatif.

Seorang menjadi anggota DPR secara formal memang betul diajukan oleh partai, tetapi yang memilih adalah rakyat. Ada pemilih yang datang ke TPS (tempat pemungutan suara) untuk penecoblos, bukan karena partai, tetapi karena figur, orangnya yang dipilih dalam TPS.

Orang-orang yang menjadi anggota DPR adalah orang-orang yang dipilih oleh rakyat. Artinya memang ada anggota DPR yang benar-benar hasil dari perwakilan rakyat. Ketika ada suatu pemecatan anggota DPR tetapi tidak ada alasan yang kuat terkait pemecatan itu, saya rasa itu menjadi persolan.

Oleh karena itu, otoriterisme daripada partai politik harus dirumuskan kembali. Di mana partai apapun supaya ketua umum partainya tidak boleh sewenang-wenang memecat anggota DPR. Biasanya kalau sudah tidak suka dengan seseorang jalan keluarnya adalah dipecat saja. Karena kalau sudah dipecat, gugur semua hak-haknya. Karena anggota DPR merupakan perwakilan dari partai politik.

Ketika menjadi anggota DPR, jelas memiliki kartu anggota partai dan konsekuensinya mewakili partai di parlemen. Ketika sudah tidak memiliki kartu anggota, otomatis menjadi anggota DPR ikut gugur mengikuti dipecatnya jenjang kader di partai itu. Dia itu mewakili siapa (jika masih duduk di DPR setelah dipecat, red)? Anggota DPR kan sama-sama mewakili rakyat dan partai?

Kok bisa begitu?

Kalau sudah bicara politik, ya selalu ada pro kontra. Persoalannya kan DPR adalah lembaga yang mempunyai otoritas, sehingga DPR tidak boleh ikut pro kontra. DPR harus bicara sesuai hati nuraninya, keinginan rakyat. Naluri anggota DPR yang tidak benar ya kita benarkan. Anggota DPR harus memiliki jiwa negarawan dan mementingkan kepentingan masyarakat yang lebih besar, bukan urusan atau kepentingan pribadi yang diproritaskan dan mengindahkan aspirasi rakyat.

Oleh Karena itu, jangan terbawa permasalahan pro kontra, karena pro kontra itu ada di mana-mana. Duduk kita sebagai anggota dewan itu dituntut berjuang untuk rakyat. Dan di situlah kita diuji sebagai anggota perwakilan rakyat di sini. Apakah kita ini bisa disebut sebagai negarawan yang bekerja seadil-adilnya untuk kepentingan masyarakat jika tidak pro kepada kepentingan rakyat? Tepi kalau kita tidak berjuang di Senayan untuk rakyat, ya kita bisa disebut sebagai pecundang.

Karena pecundang itu, ya sudah, ini jadi permasalahan besar. Apa saja yang dilakukan semau saja, dan tentu bisa melanggar apa yang telah diatur dalam UU. Para pecundang itu idak lagi mengacu pada undang-undang.

Masih banyak UU yang dibahas di DPR bersama pemerintah. Namun terlihat terjadi tarik menarik seperti revisi UU Pilkada. Menurut Anda bagaimana?

Sebenarnya jika UU itu sudah menjadi inisiatif bersama, antara DPR dan Pemerintah, ya harus segera diproses bersama. Apakah inisiatif DPR, apakah inisiatif pemerintah sama saja dibahas bersam.

Saya minta vakcun politik antara 2 lembaga DPR dan pemerintah harus dibangun bersama-sama, antara Presiden dan DPR. Jangan pula undang-undang yang menjadi inisiatif pemerintah, supresnya harus segera dikeluarkan, dibahas. Ketika ada inisiatif yang terkait dengan inisiatif DPR, pemerintah menyuruh kita di Senayan menundanua. Contohnya, revisi atas undang-undang KPK.

Padahal revisi UU KPK itu belum tentu jelek. Karena itu vakcun politiknya yang harus dijaga. Presiden tidak bisa membatasi DPR membahas UU, memang tugasnya kita di sini membahas regulasi. Tidak usah baca undang-undang, terima saja. Faktanya pemerintah ketika itu pernah mengajukan 3 koper rancangan UU.

Jadi Pak Presiden jangan asal ngomong, ini konyol. (Pak Presiden Joko Widodo, red) harus belajar tata negara dulu kalau begini. Kalau memang seperti itu, kenapa menteri-menterinya ke sini membawa 3 koper rancangan Undang-undang (RUU). Bawa saja satu, DPR satu, DPD satu. Sudah, 3 RUU saja kita bahas bersama ya selesai. Padahal kalau kita bicara undang-undang, ada sejumlah UU yang perlu penyempurnaan agar pelaksanaan di masyarakat tidak ada masalah. Seperti ada undang-undang pemilu, undang-undang partai politik, undang-undang pilkada dan UU lainnya.

Kenapa Pak Presiden bisa bersikap seperti itu?

Saya tidak tahu, siapa pembisik-pembisik sampai presiden berbicara seperti itu. Lebih baik tanyak Pak Presiden. Tolong, jangan terlampau menilai DPR itu dari sisi negatif. Selama ini DPR bekerja secara maksimal sesuai dengan mekanisme peraturan perundang-undangan dan DPR tidak ada hal-hal yang lebih daripada itu.

Kalau DPR itu dapat honor iya, itu benar. Tapi honor itu didapatkan setelah undang-undang selesai. Tetapi undang-undang kan ada yang sampai setahun tidak selesai. Ada yang dua tahun tidak selesai UU itu, malah ada yang 3 tahun tidak selesa.

Artinya apa didapat (bila tiga tahun itu RUU tidak kelar, red) ya tidak dapat honor. Sedangkan pemerintah sendiri mengajukan hal yang sama. Pemerintah juga mempunyai anggaran yang besar untuk merancang undang-undang. Pemerintah jangan dicari-carilah (kesalahan kami di DPR, red) seolah-olah DPR itu lembaga jelek sekali.

Mereka harus tahu, Pemerintah tanpa DPR tidak bisa berjalan. Yang jelas kalau saya presiden, saya tidak akan berbicara seperti itu karena saya paham konstitusi. Karena (membuat UU, red) itu merupakan amanat konstitusi. Sistem ketatanegaraan kita mengatur seperti itu, kita harus hormati.

Apa kira-kira alasan Presiden mengeluarkan statemen membatasi DPR membahas UU?
Yang namanya presiden adalah orang nomor satu yang paling hebat di negara ini. Orang nomor satu itu atau presiden itu harus menguasai tentang sistem ketatanegaraan. Tugas kewajiban DPR itu apa? Tugas kewajiban presiden itu apa? begitu! Presiden harus tahu, kalau tidak tahu ya belajar.

Kita di DPR tidak pernah melarang Pak Presiden melarang pergi ke luar negeri pakai pesawat Indonesia Satu. Kalau Presiden mau, ya silakan saja pakai pesawat negara kalau itu tugas negara. Di sini kami merancang undang-undang juga sebagai tugas negara.

Di sini kami meminta vakcun politik antara DPR dengan pemerintah. Kalau pemerintah punya inisiatif, ayo selama RUU itu dibutuhkan. Kalau DPR punya inisiatif, ayo kita bahas selama itu dibutuhkan rakyat. Begitu mekanisme! Jangan dibatasi membuat UU untuk kepentingan rakyat.

Presiden atau pemerintah harus menghormati sesama lembaga negara lainnya. Justru selama ini sesama lembaga negara saling membully. Itu tidak boleh. Ke depannya kita saling menguatkan dan menghargai sesama lembaga negara.

(Janah dan Mahabbahtaein)

Facebook Comments Box