Memaknai Kembali Pro Justitia
Oleh: Habib Aboe Bakar Alhabsyi,
Anggota Komisi III DPR RI
Beberapa waktu terakhir, sebagai anggota komisi III DPR RI saya banyak mendapat pertanyaan mengenai kondisi penegakan hukum di Indonesia. Kenapa seolah hukum tajam ke satu kelompok tertentu, namun tumpul kepada yang lain.
Banyak beredar surat pemanggilan ataupun berita penangkapan orang-orang yang berafiliasi dengan kelompok tertentu. Ada yang dijerat dengan tuduhan makar, pasal ITE atau bahkan tuduhan pencucian uang. Hal ini dianggap sebagai ketimpangan dalam penegakan hukum oleh sebagian masyarakat yang saya temui.
Pihak lain menilai ada kepincangan penegakan hukum, lantaran jika ada perkara serupa terjadi namun pelakunya dari kelompok tertentu tidak ada tindakan hukum yang dilakukan.
Jikalaupun perkara seperti itu dilaporkan, sepertinya laporan yang mereka sampaikan tidak mendapat respons sebagaimana perkara lainnya. Apa yang diadukan cenderung tidak ditindaklanjuti alias jalan ditempat. Hal ini tentunya membawa kekecewaan atas perlakuan yang berbeda dalam penegakan hukum.
Sebenarnya sebuah penegakan hukum memiliki tiga sifat. Pertama, penegakan hukum yang bersifat represif, hal ini ditujukan untuk menghentikan sebuah tindak pelanggaran hukum. Kedua, penegakan hukum yang bersifat kuratif, adalah penegakan hukum yang beraifat memulihkan situasi.
Ketiga, adalah penegakan hukum yang bersifat preventif, yaitu sebuah langkah yang dilakukan untuk mencegah adanya pelanggaran hukum. Ketiganya memiliki dimensi dan peran yang berbeda, tentunya pilihan langkah yang diambil harus sesuai dengan situasi yang ada.
Pada setiap proses penegakan hukum, baik pada proses penyelidikan maupun penuntutan, para penegak hukum selelu dibekali surat sakti. Surat-surat tersebut memiliki kekuatan hukum yang mengikat dengan subuah kepada surat bertuliskan “Pro Justitia” atau yang bermakna “Demi Keadilan”.
Artinya, bahwa setiap tindakan yang diambil dalam surat tersebut dilakukan atas dasar perlunya penegakan keadilan. Ini adalah landasan filosofis yang menjadi dasar kewenangan dari para aparat penegak hukum.
Sebagian ahli hukum membedakan teori keadilan dalam dua kelompok, yaitu keadilan substantif dan keadilan prosedural. Apabila dikaitkan dengan hukum pidana, maka keadilan substantif berkaitan dengan hukum materiil atau norma norma yang ada dalam hukum pidana.
Sedangkan keadilan prosedural, berkaitan dengan hukum formil atau hukum acara. Yaitu bagaimana hukum materiil itu dijalankan atau ditegakkan. Idealnya, penegakan hukum memiliki dua dimensi tersebut sekaligus. Keduanya seharusnya berjalan pararel, terpenuhinya keadilan subtantifnya sekaligus juga keadilan proseduralnya.
Penegakan hukum akan menciptakan keadilan prosedural jika hukum positif direaliasasikan untuk mencapai suatu kepastian hukum. Penegakan hukum tersebut, seringkali menimbulkan keresahan dalam masyarakat. Pasalnya, penegakan hukum prosedural tidak memberikan rasa keadilan bagi masyarakat dan seringkali tidak mempedulikannya.
Sepertinya situasi inilah yang saat ini terjadi ditengah masyarakat kita. Adanya perbedaan perlakuan atas satu kelompok dengan kelompok lain dipandang sebagai bentuk ketidakadilan prosesural. Tidak terpenuhinya keadilan prosedural mengakibatnan tidak dirasakannya keadilan ditengah masyarakat.
Memaknai Demi Keadilan
“Demi Allah, sungguh jika Fatimah binti Muhammad mencuri, aku sendiri yang akan memotong tangannya”, itulah jawaban Nabi Muhammad SAW ketika beliau dilobi untuk menghindarkan hukuman yang diberikan untuk seorang wanita Bani Makzum yang kedapatan mencuri. Ini adalah narasi keadilan yang dimiliki oleh Islam dan langsung diterapkan oleh Nabi. Memaknai keadilan berarti berlaku imparsial pada siapapun, tidak melihat kelompok, status sosial ataupun hubungan kekerabatan.
Jika ditelaah lebih lanjut, imparsial berasal dari kosa kata bahasa Inggris impartial dalam arti leksikal merupakan lawan kata dari partial (memihak), condong, dan prejudice (prasangka). Secara konseptual imparsial dapat didefinisikan sebagai sikap atau tindakan yang tidak memihak bila menghadapi dua kepentingan yang bertolak belakang. Dapat juga dikatakan bahwa imparsial merupakan sikap atau tindakan memperlakukan segala sesuatu secara sama, tanpa membeda-bedakan ataupun tanpa mengistimewakan.
Pandangan mitologi Yunani, menggambarkan pro justitia dengan dewi Themis. Personifikasi Themis adalah seorang perempuan membawa pedang dan timbangan dengan mata yang tertutup.
Maknanya, penegakan hukum dilakukan demi menjaga keseimbangan atau menjaga keadilan. Penegakan hukum dilakukan dengan mata tertutup, artinya keadilan diberikan dengan tanpa pandang bulu. Semua dipandang sama dalam dalam proses atau prosedur pemberian keadilan. Perlakukan sama inilah yang menjadi landasan filosofis dalam penegakan hukum, karena fokus utamanya adalah demi keadilan.
Pada kontek penegakan hukum, “demi keadilan” bermakna bahwa suatu tindakan harus diambil oleh penegak hukum untuk menyeimbangkan situasi. Artinya, tindakan prosedural dilakukan ketika ada situasi keadilan yang dilanggar dalam bentuk sebuah tindak pidana.
Pada situasi ini keadilan prosedural dimaknai dengan memberikan perlakuan yang sama terhadap semua orang saat berhadapan dengan hukum. Konsekuensinya, siapapun yang membuat hilangnya keseimbangan keadilan harus mendapatkan tindakan. Proses ini adalah bentuk dari keadilan prosesural yang dimaksud.
Penegakan hukum tanpa pandang bulu juga dicontohkan oleh Khalifah Umar bin Khattab. Ketika menjabat sebagai khalifah, Umar didatangi seorang Yahudi yang terkena penggusuran oleh seorang Gubernur Mesir, Amr bin Ash, yang bermaksud memperluas bangunan sebuah masjid. Meski mendapatkan ganti rugi yang pantas, sang Yahudi menolak penggusuran tersebut. Ia datang ke Madinah untuk mengadu kan permasalahan tersebut pada Khalifah Umar.
Seusai mendengar ceritanya, Umar mengambil sebuah tulang unta dan menorehkan dua garis yang berpotongan: satu garis horizontal dan satu garis lainnya vertikal. Umar lalu menyerahkan tulang itu pada sang Yahudi dan memintanya untuk memberikannya pada Amr bin Ash. Warga Yahudi itu kemudian menyampaikan tulang tersebut kepada Gubernur. Wajah Amr bin Ash pucat pasi saat menerima kiriman tulang tersebut, ia mengem balikan rumah Yahudi yang digusurnya.
Warga Yahudi tersebut heran dan bertanya pada Amr bin Ash yang terlihat begitu mudah mengembalikan rumah nya setelah menerima tulang yang dikirim oleh Umar. Gubernur Amr
menjawab, “Ini adalah peringatan dari Umar bin Khattab agar aku selalu berlaku adil seperti garis vertikal pada tulang ini. Jika aku tidak bertindak lurus maka khalifah akan memenggal leherku sebagaimana garis horizontal di tulang ini.”
Kisah tersebut adalah sebuah bentuk penegasan bahwa keadilan harus diberikan kepada siappun. Kekhalifahan Islam tetap menjamin hak dan memberikan keadilan kepada seorang Yahudi, meskipun Gubernur memerlukan tanah milik orang Yahudi untuk bangunan publik seperti masjid. Ini memiliki makna bahwa keadilan bersifat universal, diberlakukan kepada siapun, diberlakukan kapanpun dan diberlakukan dimanapun.
Pro Justitia dan Kedaulatan Negara
Empat belas abad yang silam, Nabi Muhammad SAW mengingatkan “Sesungguhnya hancurnya masyarakat sebelum kalian adalah lantaran bila ada orang lemah mencuri, mereka menegakkan hukum hudud atasnya.
Sedangkan bila orang mulia mencuri mereka biarkan”. Hal ini berarti penegakan keadilan memiliki kaitan erat dengan kedaulatan negara, atau bahkan berkaitan erat dengan keberadaan sebuah bangsa. Hancurnya masyrakat ketika sudah tidak ada lagi keadilan, adanya perbedaan perlakuan hukum antara yang lemah dan yang kuat.
Diskriminasi dalam penegakan hukum membawa kita pada problematika berbangsa dan benegara. Hal ini dapat menimbulkan public distrust terhadap organ penegak hukum. Yang tentunya akan membuat masyarakat jadi terbelah, akibatnya ada keretakan sosial. Kondisi ini akan dapat memicu tindakan main hakim sendiri atau eigenrechting. Situasi ini seolah yang sedang kita alami saat ini.
Mungkin banyak pihak harus segera melakukan interopeksi, apakah sudah menjalankan tugasnya dengan kaidah penegakkan hukum yang berkeadilan. Apakah memang semua warga negara telah diberikan hak dan kedudukan yang sama dihadapan hukum (equality before the law).
Jangan biarkan penegakan hukum berjalan dengan timpang, karena sama saja kita menyimpan bara dalam sekam. Sama halnya kita menabung potensi keretakan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Oleh karenanya, setiap penegak hukum yang bekerja berdasarkan pro justitia harus benar benar menyadari, bahwa setiap tindakan yang dilakukan hanya atas dasar untuk mewujudkan keadilan. Berlakukan semua orang sama di depan hukum, jangan lakukan diskriminasi dan jangan lakukan pengistimewaan. []