MUI Minta Hentikan Pembahasan RUU yang Timbulkan Kontroversi di Masyarakat

 MUI Minta Hentikan Pembahasan RUU yang Timbulkan Kontroversi di Masyarakat

JAKARTA – Di akhir masa bakti DPR RI majelis Ulama Indinesia atau MUI meminta kepada parlemen Indonesia untuk segera merampungkan beberapa pembahasan RUU yang belum selesai dibahas bersama pemerintah.

“Disamping itu MUI juga meminta untuk menunda atau menghentikan pembahasan RUU yang dianggap masih menimbulkan kontroversi di masyarakat,” kata Ketua Umum MUI Zainut Tauhid Sa’adi kepada wartawan, Rabu (18/9/2019) semalam.

“Beberapa RUU yang segera dituntaskan pembahasannya adalah RUU KUHP, RUU Pesantren dan RUU Perkoperasian. Sedangkan yang ditunda atau dihentikan pembahasannya adakah RUU PKS,” pinta Zainut.

Meskipun MUI meminta untuk segera dilakukan pengesahan terhadap beberapa RUU, MUI tetap mengajukan beberapa catatan usulan perbaikan sebagai berikut:

Terhadap RKUHP MUI mengusulkan beberapa catatan sebagai berikut ;

1. Mendorong penetapan hukuman mati. Hukuman mati dimasukan sebagai pidana alternatif dari tindak pidana yang bersifat khusus.

2.Perluasan delik zina.
Zina diperluas cakupannya meliputi hubungan laki2 dan perempuan yang salah satu dari keduanya terikat atau tidak terikat perkawinan, dan ;

3.Pemberlakuan hukum sosial, sebagai alternatif pemenjaraan.

Terhadap RUU Pesantren ; MUI mengusulkan catatan ;

1. Memperkuat fungsi pesantren antara lain fungsi pendidikan, fungsi dakwah dan fungsi pemberdayaan ekonomi umat.

2.Ciri khas pesantren tidak boleh dihapus, hal ini dimaksudkan untuk mempertahankan tradisi dan nilai2 yang hidup dan tumbuh di pesantren.

3. Menolak adanya formalisasi pesantren, hal ini untuk menjaga kemandirian pesantren.

Terhadap RUU Perkoperasian MUI mengusulkan agar diatur juga tentang koperasi syariah hal ini untuk mengakomodasi aspirasi masyarakat perkoperasian yang menggunakan sistem syariah.

Adapun terhadap RUU PKS MUI mengusulkan untuk ditunda atau dihentikan pembahasannya, dengan alasan karena lebih dari 50 persen materinya berbeda antara pemerintah dan DPR RI, sehingga perlu ada pendalaman lebih lanjut. Lebih dari itu juga menunggu pengesahan RUU KUHP karena beberapa pasal sanksi pidana akan merujuk pasal2 dalam KUHP agar sinkron.

Demikian dan terimakasih.
Wassalam,
ZAINUT TAUHID SA’ADI
Waketum MUI

Facebook Comments Box