Ini 8 Pasal di RUU Omnibus Law Rugikan Tenaga Kerja Indonesia
JAKARTA – Presiden DPP Konfederasi Sarikat Buruh Muslim Indonesia (Sarbumusi), Syaiful Bahri Anshori, menilai Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Kerja yang belum lama draft dan naskah akademiknya diserahkan pemerintah ke DPR, sebagai bentuk penzaliman terhadap buruh.
Pasalnya, banyak hal atau ketentuan yang diatur dalam RUU inisiatif pemerintah ini merugikan buruh. Belum lagi, kata Syaiful, penyusunan RUU ini tergesa-gesa, tertutup dan tidak melibatkan seluruh stakholder.
Utamanya kalangan buruh yang dinilainya sebagai pihak yang benar-benar paham masalah ketenagakerjaan.
“RUU Omnibus Law Cipta Kerja ini penzoliman terhadap buruh karena banyak permasalahan yang menjerat buruh,” kata Syaiful Bahri Anshori di Jakarta, Rabu (26/2/2020).
Lebih lanjut Syaiful Bahri mengungkapkan bahwa pihaknya bersama organisasi koalisi buruhbeberapa kali mengajak pemerintah untuk membahas RUU Omnibus Law Cipta Kerja ini. Namun pemerintah terus berkelit untuk merealisasikan niat baik koalisi buruh itu.
“Konsepnya disimpan terus. Beberapa kali koalisi buruh batal rapat. Seharusnya dibahas dulu bersama-sama. Ini membuktikan, mereka (pemerintah-red) tidak serius,” ujarnya.
Menurut Syaiful, penyusun RUU ini tidak mengerti permasalahan buruh di Indonesia. Sebagai contoh ia menyebut dalam draft RUU ini tidak ada jaminan pensiun bagi buruh. Padahal hal itu sangat dibutuhkan buruh untuk keberlangsungan hidup kedepannya.
“Buruh ingin ada jaminan kerja yang jelas. Buruh takut dipecat, dimacem-macem. Jadi tidak jelas masa depannya,” tuturnya.
Ia memaparkan, pasal-pasal dalam draft RUU Omnibus Law Cipta Kerja yang menzolimi dan merugikan buruh/tenaga kerja Indonesia.
Pertama, Pasal 42 yang salah satu ayatnya menyebutkan tenaga kerja asing dapat dipekerjakan di Indonesia, namun hanya dalam hubungan kerja untuk jabatan tertentu dan waktu tertentu serta memiliki kompetensi sesuai dengan jabatan yang akan diduduki.
“Tenaga kerja asing bisa menduduki jabatan kecuali jabatan yang mengurusi personalia,” bunyi ayat (5) dalam pasal 42 tersebut.
Dijelaskan Syaiful Bahri, ketentuan Pasal di atas memberikan ruang beberapa posisi bisa langsung digunakan TKA. Yakni dewan direksi dan dewan komisaris, kegiatan mesin produksi keadaan darurat, vokasi, start up, kunjungan bisnis dan penelitian untuk jangka waktu tertentu.
“Ini meniadakan Permen 19/2012 yang mengatur 19 jenis pekerjaan yang dilarang menggunakan TKA,” jelasnya.
Kedua, Pasal 56 ayat 3 yang berbunyi “Jangka waktu atau selesainya suatu pekerjaan tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditentukan berdasarkan kesepakatan para pihak”.
Ketiga, Pasal 58 ayat (2) yang awalnya masa percobaan batal demi hukum dalam PKWT dan menjadi hangus, akan tetapi dalam RUU Ciptaker menjadi masa kerja dan tetap dihitung.
Keempat, Pasal 59 ayat (1) dengan dihapusnya persyaratan PKWT yang hanya dibuat untuk pekerjaan tertentu (jenis dan sifat dan kegiatan pekerjaannya yang akan selesai dalam jangka waktu tertentu yakni: pekerjaan sekali selesai/sementara, waktunya 3 tahun, bersifat musiman dan produk baru.
“Maka dihapusnya pasal ini menjadikan PKWT tidak ada batasan apapun dan tanpa batas,” katanya.
Kelima, Pasal 61 dengan penambahan huruf c yang memasukkan selesainya suatu pekerjaan tertentu, akan membuat adanya PHK yang terjadi tanpa batas karena PKWT diadakan atas kesepakatan dan tanpa ada syarat apapun dengan dihapusnya pasal 59.
Keenam, Pasal 77 ayat (2) berubah yang dulu diatur 7 jam sehari untuk 6 hari kerja dan 8 jam sehari untuk 5 hari kerja menjadi paling lama 8 jam 1 hari dan 40 jam seminggu.
Ketujuh, Pasal 78 ayat (1) mengubah ketentuan waktu kerja lebur dari 3 jam dalam satu hari dan 14 jam dalam satu minggu menjadi 4 jam dalam sehari dan 18 jam dalam satu minggu.
Kedelapan, Pasal 88 B menyebutkan upah ditetapkan berdasarkan: a. satuan waktu; dan/atau b. satuan hasil. Artinya, upah berdasarkan satuan waktu yang akan menjadi dasar penghitungan upah perjam.
Kesembilan, Pasal 88C ayat 1 menyebutkan Gubernur menetapkan upah minimum sebagai jaring pengaman. Ayat 2 Upah minimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan upah minimum provinsi.
“Dengan ditetapkannya upah hanya Upah minimum provinsi, sehingga ini akan menghilangkan jenis-jenis upah yang ada seperti upah minimum Kabupaten/kota dan upah sektoral,” katanya.
Dia menandaskan pada intinya RUU ini sangat liberal. Ia pun memastikan pembahasan RUU ini nantinya tidak akan selesai dalam waktu 100 hari seperti yang diinginkan Presiden Jokowi.
“Mustahil itu dalam 100 hari RUU Omnibus Law Cipta Kerja jadi. Banyak masalah itu,” ujarnya. (tribun)