Arsul Sani: Bir Bintang Sudah Lama tanpa Harus Melakukan “Liberalisasi” Kebijakan Investasi Miras
JAKARTA – Partai Persatuan Pembangunan (PPP) sebagai partai pendukung Pemerintahan Jokowi-Ma’ruf punya sikap tegas konsisten membela kepentingan masyarakat. Alasan itu PPP merasa perlu menolak sejumlah kebijakan pemerintah meski berada pada barisan Jokowi-Ma’ruf.
“Ketika PPP harus bersikap tidak setuju terhadap kebijakan Pemerintah…, iya kami katakan tidak setuju,” kata Wakil Ketua Umum PPP Arsul Sani di akun media sosialnya, dikutip Senin (1/3/2021).
Bagi PPP seperti disampaikan Arsul, tidak semua kebijakan pemerintah disetujui jika keputusan tersebut merugikan masyarakat luas. Ambil contoh, kebijakan membuka investasi minuman keras atau miras.
“Ketika ketidaksetujuan tersebut perlu dinyatakan terbuka, iya kami suarakan di ruang media,” kata Arsul.
Menurut Wakil Keta MPR RI Kebijakan membuka investasi miras, yang tersurat juga berlaku untuk propinsi-propinsi lain selain Papua, NTT, Bali dan Sulut asal dengan persetujuan Gubernur adalah kebijakan kebablasan.
“Jika untuk mengakomodasi kearifan lokal, tidak perlu hal itu tertuang dalam peraturan pada level Perpres, bisa dengan peraturan dibawah-nya, apalagi selama ini industri minuman dengan kandungan alkohol untuk keperluan “kearifan lokal” juga sudah berjalan di sejumlah daerah. Pada level nasional, PT. Multi Bintang yang memperoduksi Bir Bintang juga sudah ada bertahun-tahun tanpa harus melakukan “liberalisasi” kebijakan investasi minuman keras,” jelas alumni HMI.
“Berapa sih pajak yang hendak diperoleh? Berapa sih efek penyerapan tenaga kerja-nya?,” Arsul sambung Anggota Komisi III DPR RI ini.
Seperti diketahui kebijakan di atas yang akan berlaku secara resmi di Bali, Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Utara, dan Papua tertuang Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 10 Tahun 2021 tentang Bidang Usaha Penanaman Modal.
Di mana kebijakan tersebut tujuannya untuk mendatangkan investasi baru di 4 provinsi itu. Dan bisa dipahami kebijakan otu untuk menambah ketersediaan lapangan kerja di sejumlah daerah.
Namun bagi Peneliti dari Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia, Yusuf Rendy berkata lain. Jokowi-Ma’ruf perlu tahu ada hal penting yang harus diperhatikan. Mengingat Indonesia mayoritas beragama Islam yang akan sangat sensitif dengan kebijakan tersebut.
Andai kata, penolakan terus terjadi besar-besaran dari masyarakat yang memicu gejolak politik yang besar. Tak tertutup kemungkinan investor ujung-ujungnya ragu masuk ke Indonesia berinvestasi.
Bagaimana Jokowi-Ma’ruf?